Total Pengunjung

AYO MEMBACA ALQURAN SECARA BERMAKNA UNTUK MENATA KEHIDUPAN SEMESTA !!

Minggu, 31 Mei 2009

MENJADI ROSUL (2)

MEMBACA AYAT

Sebagai saksi, seorang muslim harus dapat membuktikan kesaksiannya, jika tidak, ia akan disebut sebagai orang yang mengaku-aku saja, sebagai seorang pendusta yang akhirnya akan menyesatkan dirinya dan orang lain.

Kesaksian yang telah ia ikrarkan adalah: Asyhadu alla ilaaha illah wa asyhadu anna muhammad rosulullah. Bukti dari kesaksiannya yang pertama dapat dilihat dari kata dan perbuatannya sebagai seorang manusia ketuhanan, dalam makna: manusia yang meneladani sifat-sifat dan perbuatan Tuhan. Melaluinya orang akan mengenal siapa Tuhan yang menjadi tujuan pengabdiannya. Ia tidak berkata, berteori atau berdebat banyak tentang Tuhan, tetapi ia menunjukkan eksistensi Tuhan melalui tingkah laku hariannya. Tentang manusia ketuhanan ini telah saya bahas dalam tulisan-tulisan sebelumnya yang bertemakan BERSAMA PASANGAN JIWA...

Sedangkan bukti kesaksiannya yang kedua dapat dilihat dari kata dan perbuatannya sebagai manusia kerosulan, dalam makna: manusia yang meneladani sikap dan pandangan hidup Rosulullah. Seperti ia membuktikan keberadaan Tuhan, seperti itu pula ia membuktikan keberadaan Rosulullah kepada orang-orang disekitarnya. Jadi ia tidak sekedar berkata, dengan membaca shalawat, Rosulullah hadir di tengah-tengah kita, tetapi ia harus juga bisa membuktikan bagaimana kehadiran Rosulullah itu.

Pembentukan manusia ketuhanan dan manusia kerosulan yang kemudian terpadu secara utuh menjadi modal dasar pembangunan masyarakat muslim atau masyarakat madani. Ada yang berkata bahwa menyelesaikan problema-problema kemasyarakatan tidak cukup hanya dengan membacakan ayat-ayat karena bangunan masyarakat berdiri di atas ragam tradisi dan kepercayaan. Dalam konteks global, seorang muslim tidak bisa membangun masyarakatnya sendiri terpisah dari masyarakat yang lain. Ia harus terbuka dan berbaur bersama masyarakat bangsa, masyarakat dunia yang multi dimensi. Maka, ayat tidak bisa dibacakan kepada mereka yang memiliki tradisi iman yang berbeda. Pembangunan msyarakat muslim menjadi tidak relevan lagi pada saat ini dimana anggota-anggota masyarakat dari berbagai tradisi dan kepercayaan telah berbaur menjadi satu. Jadi, negara Islam adalah sebuah ilusi, demikian kesimpulan beberapa peneliti baru-baru ini yang dituangkan kedalam buku ILUSI NEGARA ISLAM.

Barangkali, pendapat seperti itu ada benarnya meski tidak seluruhnya. Dan tidak seharusnya membuat seorang muslim menjadi gerah dan senewen. Memang, seorang muslim seharusnya hanya membacakan ayat kepada sesama muslim sendiri, karena di luar itu, ayat hanya menjadi bahan olok-olokan saja.

Apapun yang disuarakan oleh banyak orang, dengan pesimis, tentang pembangunan masyarakat muslim, seorang muslim harus tetap percaya bahwa sejarah pernah mencatat tentang seorang Muhammad bin Abdillah yang telah berhasil membangun masyarakat muslim dengan sukses besar yang sampai saat ini belum tertandingi oleh siapapun. Seorang muslim harus percaya bahwa sukses besar itu dimulai dari membacakan ayat demi ayat.

Sebagai seorang Rosulullah, Muhammad bin Abdillah pertama sekali membaca ayat untuk dirinya sendiri (QS. 96:1). Pembacaan ayat itu begitu berpengaruh pada jiwanya, seperti ada sesuatu kekuatan yang maha dahsyat yang merasuki jiwanya. Setelah itu, ia berjalan seperti orang yang sedang ketakutan. Kecemasan tentang sesuatu telah melanda dirinya. Ia berbaring dengan tubuh menggigil hebat. Ia tertidur dengan raut muka yang tampak berat. Pembacaan ayat selanjutnya semakin membuat hidupnya menjadi tidak baik-baik saja. Hari-hari berikutnya adalah hari-hari yang menuntut pengorbanan dirinya, hartanya, dan seluruh waktunya. Setelah hari ini tidak ada lagi waktu istirahat, begitu ia berkata kepada keluarganya. Lalu ia bergegas membacakan ayat-ayat kepada masyarakatnya (QS. 74:1-7).

Begitulah seorang Rosulullah, dan begitu pula seharusnya seorang yang melakoni peran Rosulullah. Salah satu tugas seorang Rosulullah adalah membaca ayat demi ayat (QS. 2:151), untuk siapa? untuk dirinya, keluarganya, sanak kerabat, para sahabat, dan masyarakat sekitarnya. Sebuah ayat dibaca sebagai sebuah tanda yang menunjukkan kepada sesuatu yang harus diikuti. Sebuah ayat adalah sebuah petunjuk yang baru berfungsi jika dijadikan sebagai pedoman. Dengan membaca ayat, seorang muslim sibuk membangun kehidupan pribadinya dan masyarakatnya. Setelah membaca ayat, ia tidak lagi mempersoalkan apakah ayat-ayat yang ia baca berguna atau tidak bagi orang mati. Yang ia persoalkan adalah bagaimana menjadikan ayat-ayat yang ia baca bermakna dan berguna bagi kehidupan dan kemanusiaan, di sini dan saat ini.

Duhai... engkau yang begitu mencintai Rosulullah, menjadikannya idola dan teladan kehidupan, dapatkah engkau merasakan apa yang Rosulullah rasakan ketika ia membaca QS. 74:1-7? Apakah engkau juga bergegas seperti bergegasnya Rosulullah dan berkata: Tidak ada lagi waktu tidur dan istirahat...

Duhai... engkaukah itu yang masih saja terus berselimut? Engkaukah itu yang masih saja tetap diam dalam kenyamanan dan merasa baik-baik saja?

Bangunlah! temui keluargamu, sanak kerabat, para sahabat, dan masyarakat terdekatmu, lalu sampaikan firman Tuhanmu!

Ah, engkau merasa cemas dan takut mereka mengolok-olok dirimu, menistamu, dan menjauhimuj. Bertakbirlah: Allahu Akbar! niscaya kebesaran Tuhanmu menyelimuti dirimu.

Dan... di manakah pasangan jiwamu? Temui dan ajak bicaralah ia, agar ia menjadi sahabat yang mendukung perjuanganmu, agar ia menjadi orang tua yang menghapus duka lara dan kesedihanmu, agar ia menjadi kekasih yang menyegarkan jiwa-ragamu. Bersamanya, engkau mensucikan jiwa-raga dan menjauhi perbuatan-perbuatan dosa.

Persiapkanlah jiwa-ragamu karena sesungguhnya tugas kerosulan ini teramat berat dan begitu melelahkan bagimu, oleh karena itu bersabarlah, dan hanya kepada Tuhanmu saja engkau berharap. Tidak lama lagi engkau akan berhadap-hadapan dengan orang-orang kafir. Tahukah engkau siapakah orang-orang kafir itu? Ah, barangkali mereka itu adalah keluargamu sendiri, atau sanak kerabat, atau para sahabat, atau masyarakat yang selama ini bergaul dekat denganmu. Engkau tidak akan dapat mengenali siapa sesungguhnya orangt-orang kafir itu sebelum engkau benar-benar menjadi Muhammad Rosulullah. Sadarkah engkau? Ayat-ayat itu yang dulu pernah turun kepada Muhammad bin Abdilllah dan mengantarkannya kepada tugas kerosulan, kini ditujukan kepadamu! maka bangunlah! jadilah Muhammad Rosulullah! dan katakan kepada keluargamu: "waktu tidur dan istirahat sudah tidak ada lagi, ayat ini membawa perintah supaya aku memberi peringatan kepada umat, mengajak mereka dan supaya mereka beribadat hanya kepada Allah.

Kamis, 28 Mei 2009

MENJADI ROSUL (1)

Saudaraku....
Engkaukah itu yang merindukan kehadiran Rosulullah saw? Engkau selalu mengatakan: "Alangkah khusuknya kita beribadah, jika Rosul berada di tengah-tengah kita. Bersamanya, kita mereguk dari satu sumber mata air saja, kita tidak lagi perlu meributkan mata air manakah yang paling jernih.

Saudaraku...
Tidakkah engkau dengar Allah berfirman: "Sesungguhnya telah ada pada diri Rosulullah itu suri teladan yang baik bagimu, yaitu bagi orang yang mengharap rahmat Allah dan kedatangan hari kiamat dan dia banyak berdzikir kepada Allah" (QS. 33:21). Tidakkah engkau dapati bahwa ayat itu ditujukan kepada kita? untuk apa?

Setiap muslim meyakini bahwa ayat-ayat Alqur'an yang ia baca berfungsi sebagai petunjuk (QS. 2:2) yang ia gunakan untuk memelihara dirinya dari rasa takut dan sedih (QS. 2:38). Ketakutan itu berhubungan dengan sesuatu yang akan terjadi, sedangkan kesedihan itu berhubungan dengan sesuatu yang telah berlalu. Dengan membaca ayat-ayat Alqur'an, seorang muslim menjadi makhluk kekinian, di sini dan saat ini. Ayat-ayat Alqur'an dibacanya untuk menghadapi persoalan saat ini. Ia tidak terbuai oleh dongeng-dongeng masa lalu. Ayat-ayat yang menceritakan kisah masa lalu dijadikannya petunjuk untuk mengatasi persoalannya saat ini.

Ketika seorang muslim membaca QS. 33:21, ia mendapatkan petunjuk bahwa persoalan kehidupan umat Islam hanya bisa terselesaikan jika ia menjadi Rosulullah, menjadi utusan Allah yang membacakan ayat-ayat-Nya, mensucikan jiwa-raga, mengajarkan Alkitab dan Alhikmah, dan mengajarkan apa yang belum diketahui (QS. 2:151) untuk meyelesaikan persoalan kehidupan dan kemanusiaan.

Menjadi Rosulullah? Bukankah pintu kenabian sudah tertutup? Ya! Allah sendiri yang menyebut Muhammad bin Abdullah sebagai khataman nabiyyin (QS. 33:40) dan salah satu makna khatam adalah penutup (QS. 2:7). Ditambah lagi dengan pernyataan Rosulullah saw bahwa tidak ada lagi nabi yang akan datang setelahnya. Jadi, kita tidak akan lagi mendapati seorang nabi baru pun setelah Nabi Muhammad saw.

Lalu, mengapa dikatakan bahwa seorang muslim seharusnya menjadi Rosulullah? tidak cukupkah ia menjadi pewaris Rosulullah? Ah, engkau pasti akan bertanya begitu.

Sekarang ini, memang banyak orang yang mengaku-aku sebagai pewaris Rosulullah, dan mereka senang dipanggil begitu. Tetapi apakah kita benar-benar melihat mereka sebagai pewaris Rosulullah? Siapakah diantara mereka yang mewarisi kerja keras dengan keringat sendiri, tanpa perlu meminta atau menunggu pemberian dari umatnya? Siapakah diantara mereka yang mewarisi guratan-guratan bekas tikar di wajahnya yang telah membuat sahabatnya menangis? Siapakah diantara mereka yang gemar bergaul dan menolong orang miskin? Siapakah diantara mereka yang gemar menyatukan hati-hati yang terpecah-belah? Duhai.... mereka yang dianggap pewaris Rosulullah hanya senang mewarisi keadaan-keadaan Rosulullah saw yang disepakati oleh hawa nafsu mereka saja (QS. 2:87). Apakah hanya dengan berpakaian ala Rosulullah, menikahi beberapa wanita, makan dengan tiga jari, memanjangkan jenggot dan sifat manusiawi lainnya pantas disebut sebagai pewaris Rosulullah saw?

Menjadi Rosulullah adalah upaya sungguh-sungguh menapaki jejak-jejak kehidupan Muhammad bin Abdullah sebagai Rosulullah. Dengan begitu, kita sungguh-sungguh menjadikannya teladan kehidupan. Kita bersungguh-sungguh memainkan perannya sebagai Rosulullah yang membaca wahyu kemudian menyampaikannya (QS. 4:163, 6:165, 11:37, 12:109, 16:2, 16:43, 21:7, 21:45, 34:6, 42:52, 53:4, 69:40) bukan sebagai manusia biasa (QS. 14:11) yang memanjangkan jenggot, berpakaian sesuai dengan tradisi lingkungannya, makan dengan tiga jari, berpoligami dll. Sungguh, kita tidak akan mampu memerankan sosok Muhammad saw sebagai selayaknya manusia. Tetapi kita mampu dan memang harus memerankannya sebagai seorang Rosulullah yang membacakan wahyu. Oleh karena itu, Allah berkata: laqod kaana lakum fi rosulillahi uswatun hasanah... kepada siapakah ayat itu dibacakan kalau bukan kepada manusia? sesungguhnya, semua yang ada di langit dan di bumi adalah Rosulullah: utusan Allah yang menyampaikan kehendak-kehendak-Nya, tetapi siapakah yang dapat membaca ayat itu selain manusia?

Berperan sebagai Rosulullah memaksa kita untuk menjadi Rosulullah itu sendiri tanpa perlu mengakui bahwa kita adalah Rosulullah. Contohnya begini: Saya ingat, betapa orang sangat membenci HM Damsik seperti mereka membenci Datuk Maringgih (tokoh jahat dalam roman Siti Nurbaya) mengapa? karena HM Damsik benar-benar berperan sebagai Datuk Maringgih sampai orang mengira bahwa ia adalah benar-benar Datuk Maringgih, meskipun ia berani bersumpah bahwa ia adalah HM Damsik bukan Datuk Maringgih. Itu hanyalah sekedar peran yang ia mainkan. Cerita akan menjadi lain bila ia gagal menjiwai peran sang tokoh. Meskipun ia bersumpah dan mengaku-aku sebagai Datuk Maringgih, tetap saja orang tidak percaya, karena mereka tidak melihat sosok Datuk Maringgih pada dirinya. Begitulah, Acting is Doing something but not pretending, jawab Deemaz Priyo Pradono ketika saya bertanya tentang seni peran.

Duhai...
Engkaukah itu yang telah bersaksi bahwa Muhammad adalah Rosulullah? Dimanakah telah engkau buktikan kehadiran Muhammad Rosulullah saw? atau engkaukah yang malah telah menguburkan sosok Muhammad Rosulullah dalam dongeng-dongeng sebelum tidur?

Duhai...
Engkaukah itu yang mengaku sebagai umat Muhammad Rosulullah saw? Begitu cintanya engkau kepadanya hingga berteriak adu keras: "Jadikan Muhammad sebagai teladan kehidupan! tetapi mengapa kehadiranmu tidak membuktikan keberadaannya? malah engkau menjadikannya sebagai tokoh impian di negeri awang-awang yang sulit diwujudkan kembali, atau seorang tokoh yang sarat dengan cerita mistik, lantas engkau kultuskan ia sebagaimana orang-orang Yahudi dan Nasrani mengkultuskan orang-orang shaleh di antara mereka.

Saudaraku...
Biarkan dirimu menjadi Rosulullah sehingga kami dapat merasakan kehadirannya ketika kami bersamamu. Mereka berkata: "Berdirilah! sambutlah kedatangan Rosulullah! kami pun akan berdiri menyambut kedatanganmu, karena kami melihat sosok Rosulullah ada pada dirimu. Kami mendengar dan mentaati ucapanmu karena ucapanmu adalah ucapan Rosulullah. Kami mengikuti perbuatanmu karena perbuatanmu adalah perbuatan Rosulullah. Ketika kami memegang tanganmu, bukan tanganmu yang kami pegang tetapi tangan Rosulullah. Ketika kami berjuang bersamamu, bukan untuk kepentinganmu, tetapi untuk kepentingan Rosulullah.

Duhai engkau ya Rosulullah... teruslah hadir bersama kami karena kami begitu membutuhkanmu...Salamun 'alaika ya Rosulullah.

Selasa, 26 Mei 2009

BERSAMA PASANGAN JIWA, MENJADI RAHMAT SEMESTA

Pada saat yang tepat, setelah segala sesuatunya telah siap, seorang muslim dipertemukan dengan pasangan jiwanya. Keduanya dipertemukan atas dasar persamaan-persamaan yang dimiliki oleh keduanya (QS. 3:179, 24:26). Lalu hubungan seperti apakah yang dibangun oleh keduanya? Hubungan cinta!

Cinta seorang suami kepada istrinya adalah cinta seseorang kepada dirinya sendiri, karena itu cintanya tampak nyata dan terlihat jelas. Seperti kepada dirinya sendiri, ia tidak akan menyakiti atau berlaku jahat kepada istrinya. Ia melindungi, mengasihi, memenuhi kebutuhannya, berlaku sabar dan memaafkan kesalahan-kesalahan istrinya seperti pada dirinya sendiri.

Kemampuan itu diperoleh, karena ia telah menghambakan diri kepada Allah yang Maha Memaksa (Al-Jabbar) oleh karenanya ia mampu memaksa dirinya sendiri untuk terus menghamba kepada-Nya. Ia telah menghamba kepada Allah yang Maha Memelihara (Al-Muhaimin) oleh karenanya ia mampu memelihara dirinya dari perilaku syirik kepada-Nya. Penghambaannya yang terus-menerus dan murni kepada-Nya memberikannya kemampuan bersikap pemurah dan penyayang (Ar-Rahman Ar-Rahiim) kepada dirinya sendiri. Ia menjadi penguasa (Al-Malik) dan mengalahkan (Al-Qahhar) hawa nafsunya. Dengan keperkasaannya (Al-Aziz) ia merendahkan (Al-khafidh) sifat-sifat buruknya dan meninggikan (Ar-Rafi) sifat-sifat baiknya. Ia memuliakan (Al-Muiz) dirinya dan memberikan kesejahteraan (As-Salam) dan rasa aman (Al-Mu'min) kepada dirinya. Begitu juga ia menghinakan (Al-Mudzil) dirinya ketika ia berbuat dosa, ia mengadili (Al-Muqiith) lalu memberikan hukuman (Al-Hakam) kepada dirinya untuk menebus dosa itu. Kemudian ia menerima penyesalan (At-Tawwab) dan memaafkan (Al-'Afu) kesalahan-kesalahannya. Ia menjadi pengampun (Al-Ghaffar) dan memberikan ampunan (Al-Ghaffuur) dan mengasihi (Ar-Rauuf) dirinya sendiri hingga ia tidak lagi menjadi larut dalam penyesalan masa lalunya.

Ia menyucikan (Al-Quddus) dan membuka (Al-Fattah) hatinya untuk memperoleh pengetahuan dari Tuhannya (Al-'Alim). Dengan pengetahuan itu, ia membimbing (Al-Hadi) dirinya kepada Tuhannya dengan penuh kesabaran (Ash-Shobuur). Ia mensyukuri (Asy-Syakuur) kedekatannya dengan Allah dan menjaganya (Al-Hafizh) supaya tetap begitu, tetap berada di jalan Tuhannya. Dengan demikian, kebutuhannya terpenuhi (Al-Ghani Al-Mughni) maka ia tidak membutuhkan yang lainnya (Al-Qayyuum).

Dan begitu seterusnya sampai ia menemukan keagungan (Al-Azhim), kemuliaan (Al-Majid) dan keluhuran (Al-Jalil) pada dirinya sehingga ia sangat mencintai (Al-Wadud) dirinya sendiri.

Memang, seorang muslim akan menjadi seorang yang mencintai dirinya sendiri. Kecintaannya pada dirinya sendiri merupakan realisasi dari kecintaannya kepada Tuhannya. Ia telah melihat dirinya sebagai makhluk yang diciptakan berdasarkan citra Tuhannya (QS. 15:29) Dari sini kita bisa memahami kenapa seorang muslim selalu diajarkan untuk melihat kembali kepada dirinya sendiri, menemukan dirinya sendiri, mencintai dan memelihara dirinya sendiri. Setiap perbuatannya dimulai dari dirinya dan ditujukan kepada dirinya.

Tetapi meskipun begitu, ia tidak menjadi sosok yang induvidualis. Ketika seorang diri, Adam hanya melihat pada dirinya sendiri. Setelah Hawa dihadirkan sebagai pasangan jiwanya, ia melihat dirinya ada pada Hawa, lantas ia mencintai Hawa seperti ia mencintai dirinya sendiri. Rosulullah saw juga mengajarkan bahwa setiap muslim harus mencintai orang lain seperti ia mencintai dirinya sendiri. Itu dikarenakan diri yang dicintai itu, ternyata terdapat juga pada diri-diri yang lain.

Begitulah, seorang muslim telah melihat kehadiran dirinya pada diri pasangan jiwanya. Kemudian, ia memperlakukan pasangan jiwanya sebagaimana ia memperlakukan dirinya sendiri. Ia telah menemukan bahwa keagungan, kemuliaan, dan keluhuran yang terdapat dalam dirinya ternyata terdapat pula pada diri pasangan jiwanya.

Sedangkan cinta istri kepada suaminya adalah cinta seseorang kepada tanah asalnya, bagaikan cinta seorang hamba kepada Tuhannya. Bukankah seorang hamba berasal dari Tuhannya dan akan selalu kembali kepada-Nya? seorang hamba akan sangat menderita ketika ia berjalan semakin jauh dari Tuhannya. Penderitaan itu akan pulih kembali ketika ia telah menemukan jalan yang terus membawanya kembali kepada Tuhannya. Begitulah cinta seorang istri kepada suaminya.

Suami bagaikan Tuhan dan istri bagaikan hamba. Kalau boleh, kata Nabi, aku akan menyuruh para istri sujud kepada suaminya. Setiap saat Tuhan menjaga hamba, memberinya rizki, menunjukinya pada kebenaran, menegurnya bila menyimpang. Setiap saat, Tuhan mencintai hamba, cemburu, bahkan murka bila hamba menduakan cintanya. Mendengar keluh kesahnya, memenuhi kebutuhannya. Begitu sebaliknya hamba, setiap saat ia minta dijaga, dipelihara dan dilindungi. Hanya kepada Tuhan ia mengabdi dan hanya kepada-Nya pula ia menceritakan keluh kesah dan kebutuhannya. Setelah itu, ia tampil dihadapan yang lain dengan rasa kecukupan dan puas, semata-mata untuk menampakkan kebaikan Tuhan pada dirinya. Hamba hanya mencintai Tuhannya, merawat kesetiaan, bersikap sbar dan syukur kepada-Nya dan hanya dengan izin-Nya ia bisa bertutur kata dan bertingkah laku kepada yang lain.

Di dalam rumah tangganya, seorang muslim mendapatkan begitu banyak kebaikan dan keberkahan dari Allah. Lalu dengan itu semua, ia keluar dari rumahnya menyebarkan apa yang telah ia peroleh kepada sesamanya: para penduduk bumi. Ia tidak memerlukan apa-apa lagi dari mereka karena ia telah mendapatkan kecukupan dari Allah. Bahkan, kecukupan itu melimpah-ruah hingga mengenai sekitarnya.

Rumah tangga tidak sekali-kali membelenggu kehidupan seorang muslim. Ia terus bergerak menuju Tuhannya. Dari-Nya ia berasal dan kepada-Nya ia akan kembali. Perkawinan hanyalah sebagian jalan untuk kembali dan sebagiannya lagi harus ia cari di luar. Rasa syukurnya, membuatnya menggunakan yang sebagian itu untuk mencari sebagiannya yang lain.

Bagi seorang muslim, rumah tangga bukan tempat kembali. Meskipun ia telah membangunya laksana surga. Bahkan surga juga bukan tempat kembali. Surga hanyalah kenikmatan yang terasa tatkala hamba kembali kepada Tuhannya. Rumah tangga bukanlah surga sesungguhnya bagi seorang muslim hingga seluruh episode kehidupannya berhenti di sana. Ia memang berkata dengan bangga: "baitii jannatii, rumahku adalah surgaku." Tetapi perkataan itu hanyalah sekedar ingin menampakkan kebaikan dan keberkahan Tuhan yang diterimanya.

Rumah tangga baginya hanyalah tempat melatih jiwa-raga untuk siap menjadi penanggung jawab bumi (Khalifah). Dalam melaksanakan tugasnya, terkadang ia mampir sebentar mengisi kembali kesegaran hidup jiwa-raganya. Hanya dengan tetap hidup, ia bisa menebar kehidupan di sekelilingnya.

Rabu, 20 Mei 2009

DI MANAKAH ENGKAU, WAHAI JIWAKU? (2)

Sebagai hamba, tugas seorang muslim hanyalah membaca ayat-ayat-Nya untuk mengenali kehendak-kehendak-Nya. Setelah itu, apa yang ia lakukan merupakan realisasi dari kehendak-kehendak-Nya. Dengan demikian, seorang hamba tidaklah memiliki kehendak sendiri. Kehendaknya adalah kehendak Tuhan-Nya.

Keresahan sesungguhnya yang melanda seorang hamba adalah ketika ia tidak mampu mengenali kehendak-Nya sehingga tidak bisa bertindak selaras dengan kehendak-Nya. Keresahan itu dimulai pada saat ia tidak lagi membaca ayat-ayat-Nya. Kalaupun membaca, ia hanya memandangi lukisan huruf-hurufnya, tidak mencari tahu apa yang dimaksud oleh lukisan huruf-huruf itu. Keresahan bertambah parah ketika ia tidak mengetahui di manakah ia bisa membaca ayat-ayat-Nya. Maka, ada orang yang tekun membaca kitab dan menelusuri ayat-ayat halaman demi halaman. Ada orang yang gemar menjelajahi hutan, gunung, laut dan seluruh pelosok negeri untuk membaca tanda-tanda alam. Dan ada orang yang hanya duduk tenang merenungi keadaan diri. Keresahan semakin menjadi-jadi ketika keseluruhan ayat yang terdapat di dalam kitab, tersebar di persada bumi, dan terukir di dalam diri (QS. 41:53) tidak juga menjadi tanda yang menunjukkan ke arah mana ia harus menuju (QS. 2:78).

Seorang muslim seringkali membaca ayat: wamaa khalaqtul jinna wal insa illa liya'buduun, dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku (QS. 51:56). Apakah lantas ia menjadi hamba yang hanya mengabdi kepada-Nya? Ya, setelah iman merasuki jiwanya lalu menjadi ruh penggerak kehidupan raganya. Iman itulah yang menjadikannya mengabdi dengan sungguh-sungguh kepada Allah bersama Rosul-Nya (QS. 49:14-15).

Pada saat itu, ia berhenti melakukan apapun. Ia hanya menunggu kehendak-Nya. Ya Allah...jika Engkau ingin begitu maka aku akan begitu. Tapi jika Engkau ingin begini saja, ya aku pun begini saja. Engkau berkata: Dan segalanya Kami ciptakan serba berpasangan (QS. 51:49) berpasangan, pria dan wanita (QS. 53:45).

Duhai... mendengar kehendak-Mu, sungguh membuat hatiku bergetar. Getar-getar ini pun adalah getar-getar dari-Mu yang tiada kuasa aku menolaknya.

Maka, seorang muslim yang bergetar hatinya lalu merindukan pasangan jiwanya, ia menyadari bahwa getar kerinduan itu adalah anugerah Tuhannya dan itu sudah cukup menjadi tanda akan hadirnya seorang pasangan jiwa untuknya.

Duhai jiwaku... getaran ini sudah begitu membahagiakanku. Bagaimanakah rasanya jika aku benar-benar bertemu denganmu?

Apakah getar kerinduan itu lantas membuatnya berlari-lari kesana kemari sambil bertanya-tanya mencari: di manakah engkau, wahai jiwaku? Tidak! seorang muslim tidak diciptakan untuk sibuk mencari pasangan jiwa. Ia tidak tergesa-gesa berlari lalu menjadi lelah dan resah dalam pencariannya. Sementara pasangan jiwanya tak kunjung juga menghampirinya.

Seorang muslim adalah seorang yang telah tunduk agar iman dapat merasuki jiwanya, sudah itu ia menjadi tenang. Hatinya terjaga dari kerinduan kepada selain Tuhannya. Kerinduan yang ia rasakan adalah kerinduan kepada cermin bagi realitas dirinya sendiri, cermin bagi realitas Tuhannya. Hatinya menjadi tenang karena pandangan matanya terjaga, gerak lidahnya terpelihara. Hatinya menjadi tenang karena ia tahu bahwa Tuhan yang telah menciptakan segala sesuatu berpasang-pasangan pastilah telah menciptakan pasangan jiwa untuknya. Entah di manakah ia saat ini. Entah kapankah pertemuan itu akan tiba.

Di manakah engkau, wahai jiwaku?

Duhai... engkaukah itu yang merindukan aku, jiwaku?

Duhai... betapa letihnya engkau mencariku hingga tak ada bagimu samudra yang membentang luas, gunung tinggi menjulang, dan debu-debu jalan yang menghadang.

Duhai... berhentilah berlari dan mencariku, jiwaku. Tidakkah engkau lihat aku telah ada pada dirimu?

Duhai... dimanakah engkau menatap cermin? disitulah engkau temukan aku, jiwaku. Kemanakah engkau melangkah? disitulah tempat pertemuan kita, jiwaku. Karena, dulu kita pernah menyatu dan kelak akan menjadi satu, maka tenanglah jiwaku.

Duhai... begitu resahnya engkau ingin menemukanku dan membayangkan seperti apakah aku. Lihatlah keadaan dirimu sendiri, maka begitulah aku, jiwaku.

Begitulah, seorang muslim tidak disibukkan oleh upayanya menemukan pasangan jiwanya. Ia sudah begitu disibukkan oleh dirinya sendiri dan Tuhannya. Dengan tulus menjadi hamba, ia menyiapkan diri untuk menerima anugrah yang lebih baik lagi (QS. 2:103).

Menjadi hamba adalah anugrah, bila disyukuri, ia akan mendapatkan anugrah yang lebih baik, yaitu menjadi penguasa bumi dan semua urusan penghuni persada bumi dikuasakan kepadanya (QS. 24:55). Nah, siapkah anda? serahkan jiwamu kepada-Nya, setelah itu, jiwa yang lain akan datang kepadamu untuk menyerahkan dirinya, setelah itu, jiwa-jiwa yang lain akan berkumpul di bawah perlindunganmu, karena andalah sang Khalifah!

Senin, 18 Mei 2009

DIMANAKAH ENGKAU, WAHAI JIWAKU? (1)

Beberapa teman bertanya dengan nada sama, bagaimana menemukan pasangan jiwa? pertanyaan-pertanyaan itu mengingatkanku pada putri kecilku. 1 Mei lalu ia genap berusia dua tahun, tidak lama lagi ia akan beranjak menjadi seorang gadis. Duhai... akankah ia menderita memanggil-manggil pasangan jiwanya? Jiwaku... dimanakah engkau? ia gelisah... terus mencari. Ia gelisah... terus menanti. Duhai... ada di manakah aku saat itu? apakah aku penghalang baginya saat ia ingin kembali kepada asalnya? ataukah aku kawan seiring sejalan mengantarkannya kembali?

Pada sabtu pekan lalu, di dalam kereta Rangkas Jaya menuju Rangkasbitung, saat kereta masih lengang, istriku bercerita tentang anak kakaknya, masih usia SD kelas 6 sudah menerima surat-surat cinta. Umminya marah besar. Ia buang surat-surat merah muda itu, larang membalas dan larang bertemu. Kemarahan yang wajar bagi kebanyakan orang tua. Istriku pun cemas bagaimana seandainya nanti hal itu terjadi pada putrinya, apa yang harus dilakukan?

"Ayah, bagaimana kalau hal itu terjadi pada Aura?" Putri kecilku bernama Aura Aqluna Rahim.

"Bunda, barangkali kita juga akan mengambil surat-surat itu. Bila perlu membakarnya di hadapannya, sekedar untuk menunjukkan bahwa surat-suratan bersampul merah muda atau biru, pertemuan lain jenis bukan muhrim, dan berpacaran adalah hubungan terlarang dalam Islam.

Setelah menjawab begitu, aku diam sejenak sambil mengalihkan pandangan keluar jendela, memperhatikan kerumunan orang-orang. mereka berdiri rapat-rapat, saling berdekatan, tapi tidak saling mengenal. Menggantungkan pembicaraan seperti itu menjadi cara yang menyenangkan untuk memancing obrolan-obrolan lebih dalam bersamanya. Tapi ia sudah terlalu pandai mengenali caraku, karena itu ia diam menunggu. Ia sudah mengira, pasti ada kelanjutannya.

"Tetapi Bunda, apakah kita dapat membakar gambar-gambar indah yang mulai terukir di hatinya? mencabut bunga-bunga cinta yang mulai bersemi di taman hatinya? Dapatkah kita melarang hatinya menyimpan kata-kata cinta? dapatkah kita melarang hatinya untuk merindu dan mencinta? Kemarahan yang kita berikan hanya membuat nyaman diri kita sendiri, karena telah merasa melindunginya dari pergaulan yang merusak. tapi sesudah itu, apakah juga membuat dirinya merasa nyaman? Api cinta sudah dinyalakan, maka dadanya akan terus bergemuruh. Meski tanpa restu, ia akan terus mencari sendiri. Atau ia akan mematikan api cinta itu sama sekali. Duhai bunda...bagaimanakah rasanya menjadi dewasa tanpa cinta? menjadi manusia tanpa cinta?"

"Lalu apa yang harus kita lakukan?" tanyanya sudah tidak sabar lagi dengan gayaku yang tidak to the point. Istriku sayang... hasratku yang lain adalah menjadi larut bersamamu dalam obrolan-obrolan yang dalam.

"Bunda sayang... ingat ga kenapa kita memberinya nama Aura Aqluna Rahim? Nama itu adalah doa dan Allah akan mengabulkan doa itu melalui perbuatan-perbuatan kita sendiri. Dengan nama itu kita berharap bahwa ia akan selalu disapa, "Aura, ikatan di antara kita adalah cinta kasih, bukan yang lain." maka sudah seharusnya ia diperlakukan dengan cinta kasih. Sisa makanannya yang jatuh berantakan, atau piring makannya yang jatuh pecah berkeping-keping, atau air minumnya yang tertumpah di mana-mana, bisa dibereskan, dibersihkan dan dikeringkan seketika. Tapi kalau hatinya yang pecah berkeping-keping, dapatkah kita merekatkannya kembali menjadi utuh seperti semula?"

"Mendidiknya dengan cinta kasih berarti mengajarkan cinta kasih kepadanya dengan cara menemukan dan mengalami. Mendidiknya dengan cinta kasih berarti menyiapkannya menjadi seorang yangg memiliki cinta kasih, lalu dengan cinta kasih itu pula ia akan memperlakukan orang lain sebagaimana ia diperlakukan. Mendidiknya dengan cinta kasih berarti menyiapkannya untuk dapat kembali kepada seseorang yang menjadi tanah asalnya yang kelak menjadi pasangan jiwanya.

Rangkas Jaya sudah hampir satu jam berlari jauh meninggalkan beberapa stasiun. Ia berlari tergesa-gesa mendatangi malam, yang bagaikan seorang ibu, membentangkan tangannya agar ia dapat beristirahat dalam dekapan penuh cinta kasih.

Ya, setiap anak akan selalu pulang kembali kepada ibunya, lalu berada dalam pelukannya, dan mendengarkan harmoni jiwa yang menenangkan. Begitu pula istriku, seperti saat ini, saat ia menyandarkan kelelahannya di dadaku. Baginya, aku adalah seorang ibu tempatnya berasal dan tempatnya kembali.

Kucium ujung kepalanya dan kuresapi dalam-dalam kelelahannya.

Ya Rabb...
ia begitu lelah memelihara dan menyiapkan dirinya untuk mendapatkan ganjaran terbaik-Mu.
Ya Rabb...
Dalam kelelahannya, ia merasa cemas, dapatkah ia memelihara dan menyiapkan putri kecilnya untuk mendapatkan ganjaran terbaik-Mu?

Kucium ujung kepalanya dan kudapati hamparan sajadah terbentang menampung puji syukurku.

Terima kasih ya Rabb...
Dengan kehadirannya, seolah-olah Engkau mendatangiku dan berkata: "lindungi, kasihi, dengarkan keluhan-keluhannya, penuhi kebutuhannya, niscaya Aku akan berlaku sama kepadamu."
Terima kasih ya Rabb...
Dengan kehadirannya, Engkau lengkapi ibadahku.

Bersambung...

Minggu, 17 Mei 2009

KERESAHAN JIWA

Seorang teman bertanya, untuk maksud apakah Grup MENJADI MUSLIM apa adanya dibuat?

Saudaraku...
Ini adalah keresahan jiwa ketika seorang muslim tidak lagi menjadi muslim karena telah membuat saudara-saudaranya tersakiti oleh pikiran, kata dan perbuatannya.

Ini adalah keresahan jiwa ketika seseorang mengaku muslim tetapi ia tidak berdaya menjadi pemimpin menyelesaikan problema-problema kemanusiaan di sekitarnya bahkan problema kemanusiaannya sendiri. Mengapa seorang muslim yang senantiasa berdzikir dan bersyahadat, bahkan ia mengajarkan dan mengajak umat senantiasa berdzikir dan bersyahadat, tidak mampu menjadi pemimpin di negeri sendiri, padahal ia mempuanyai peluang dan kesempatan? Malah ia percaya bahwa pemimpin dari kalangan muslim tidak berkemampuan menyelesaikan persoalan-persoalan bangsa.

Ini adalah keresahan jiwa ketika seorang muslim mengaku muslim tetapi bacaan alqur'an haditsnya tidak mampu menghidupkan kemanusiaan dan menggerakkan kehidupan, malah ia mematikan kemanusiaan dan kehidupan itu sendiri dengan saling memperdengarkan ayat berebut keras. Mengapa tidak sama-sama khusuk menunduk saja dalam keheningan meresapi makna-maknanya?

Ini adalah keresahan jiwa ketika seorang muslim mengaku beragama tauhid tetapi enggan bersatu dalam menegakkannya. Mereka lebih suka berjalan sendiri-sendiri daripada bersama-sama. Mereka lebih suka sholat sendiri-sendiri daripada berjamaah.

Ini adalah keresahan jiwa karena seorang muslim tidak lagi bisa mengucap bismillah... sesuai maknanya.Bahkan ia menjadi pengkhianat, mengatas-namakan Allah tetapi tidak bertindak sesuai ajaran-Nya.

Ini adalah keresahan jiwa ktika seorang muslim tidak lagi bisa mengucap Assalamu 'alaikum... dengan bahasa doa yang sungguh-sungguh dan bertindak sesuai dengan doa yang ia panjatkan itu, lalu bagaimanakah kedamaian dan kesejahteraan bisa tersebar di bumi ini?

Ini adalah keresahan jiwa ketika seorang muslim mengaku menjadi saksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah tetapi ia tidak bisa membuktikan penghambaannya kepada Allah.Dan ia juga mengaku menjadi saksi bahwa Muhammad adalah Rosulullah tetapi ia tidak bisa membukti ketaatannya sebagai pengikut.

Ini adalah keresahan jiwa yang selalu bertanya-tanya, dimanakah engkau wahai pewaris kerosulan? Sesungguhnya kami ini bagaikan suku-sukuyang terpecah-belah, yang telah menyimpang jauh dari ajaran agama yang hanif, yang gemar menyebut Allah tetapi juga gemar mengumpulkan berhala-berhala. Sesungguhnya kami ini bagaikan anak-anak yatim yang berusaha menjadi dewasa sendirian tanpa bimbingan dan perlindungan seorang ayah, sedangkan ibu-ibu kami adalah janda-janda miskin yang jauh dari akses informasi, pekerjaan, apalagi kekuasaan di negeri kami sendiri.

Ini adalah keresahan jiwa yang selalu meratap, Duhai... bukankah engkau mengaku sebagai pewaris kerosulandan engkau senang dipanggil begitu? tetapi mengapa kami tidak melihat sosok seorang rosul pada dirimu? Manakah wahyu-wahyu Tuhan yang seharusnya engkau sampaikan kepada kami, dan dengan itu islam menjadi tegak di bumi ini? Duhai... kami tidak melihatmu berjalan-jalan di keramaian pasar memperbaiki timbangan-timbangan. Kami tidak melihatmu menyambangi orang-orang lemah, lalu memberikan kabar gembira bahwa sesungguhnya janji Allah itu pasti dan kemenangan sudah dekat. Kami juga tidak melihatmu menghampiri orang-orang jahat lalu memberikan ancaman bahwa sesungguhnya kiamat itu sudah dekat. Kami tidak melihatmu berkata kepada umat ketika orang-orang bodoh datang mencemari tempat-tempat suci, "jangan berlaku keras hingga engkau melukai hatinya, cukup sirami saja najis itu."

Begitulah saudaraku...
Keresahan jiwa ini telah datang dari seorang muslim kepada muslim lainnya. Dan melalui grup MENJADI MUSLIM apa adanya aku ingin meneruskan keresahan jiwa ini ke seluruh negeri, kepada setiap muslim di Barat dan di Timur.

Marilah saudaraku...
Kita bersatu dan bersungguh-sungguh menjadi muslim apa adanya sebagaimana yang dikehendaki Allah dan dicontohkan rosul-Nya. Sesungguhnya negeri ini telah diamanahkan kepada kita. Sesungguhnya bumi ini telah diamanahkan kepada kita. Allahu Akbar!

Kamis, 14 Mei 2009

BERSAMA PASANGAN JIWA, MENGALAMI KETUHANAN

Perkawinan adalah bagian dari jalan kepasrahan kepada Allah. Ditetapkan demikian, agar seorang muslim dapat mengalami ketuhanan. Pengalaman ketuhanan ini diperlukan oleh seorang muslim dikarenakan tugas yang diembannya sebagai wakil Tuhan di bumi. Memakmurkan bumi dan menyejahterakan penduduk bumi adalah tugas Tuhan. Dan Dia telah mendelegasikan tugas itu kepada manusia. Tugas itu teramat berat, maka ia perlu memperoleh pengalaman ketuhanan. Setelah pengalaman itu di dapat, barulah ia dapat melaksanakan tugas-tugas Tuhan. Untuk itu, ia harus menikah, agar mendapatkan pengalaman ketuhanan.

Mengalami ketuhanan bukan berarti hendak menjadi Tuhan atau mengaku-aku sebagai Tuhan ataupun melebur kepada Tuhan. Jika manusia adalah kegelapan (Zhulmatun) dan Tuhan adalah terang benderang (Nuur) seperti ditulis dalam kitab Al-Hikam, dapatkah kegelapan menjadi satu dengan terang benderang? Para penulis sufi juga sering berkata, manusia adalah yang tiada, sedangkan Tuhan adalah yang ada. Dapatkah yang tiada menjadi satu dengan yang ada?

Mengalami ketuhanan berarti mengalami pengertian tentang nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, dan perbuatan-perbuatan-Nya. Dalam bahasa Rosulullah saw disebut Takhallaq bi khuluqillah, berakhlaklah dengan akhlak Allah. Ketika seorang muslim mengucap bismillahirrahmannirrahiim, ia telah berhenti beraku dalam kehendak, perbuatan, dan sifat agar yang tampak pada dirinya hanyalah kehendak, perbuatan dan sifat-sifat arrahman arrahiim. Dari pasangan jiwanya ia belajar tentang arrahman arrahiim dengan merasakan dan mengalami.

Barangkali sudah merupakan fitrah, laki-laki lebih memiliki kekuatan, kepandaian, tegas dalam membuat keputusan dan sifat-sifat keagungan lainnya. Sedangkan wanita lebih memiliki cinta kasih, kelembutan, pemeliharaan dan sifat-sifat keindahan lainnya. Nah, perkawinan menyatukan sifat-sifat keduanya. Sifat-sifat keagungan dan sifat-sifat keindahan menjadi satu sehingga menyebabkan keduanya menjadi sempurna. Suami menyerap sifat-sifat keindahan dari istri. Dan sebaliknya, istri menyerap sifat-sifat keagungan dari suami. Lalu keduanya menjadi tanda sempurna bagi yang maha sempurna, menjadi cermin indah bagi kesempurnaan Tuhan. Begitulah, melalui perkawinan, seorang hamba menyatukan keseluruhan makna yang tercakup dalam seluruh nama-nama-Nya.

Ketika mengalami wahyu yang begitu berat, Rosulullah saw mencari istrinya, "selimuti aku, selimuti aku." Dengan penuh kasih sang istri menyelimutinya, memeluknya dan menghiburnya. Melalui seorang istri, Rosulullah saw mengalami kasih sayang Tuhannya, lalu ia keluar menebarkan kasih sayang itu di antara umatnya.

Kisah Adam dan Hawa, Muhammad dan Khadijah merupakan kisah sepasang jiwa mengalami ketuhanan. Di dalam, ia merasakan diri sebagai hamba Tuhan. Dan di luar, ia tampak melakukan pekerjaan-pekerjaan Tuhan.

Rabu, 13 Mei 2009

BERSAMA PASANGAN JIWA, BERHUBUNGAN SEKSUAL, MENGHADIRKAN REALITAS DZIKIR DAN SYAHADAT

Ketika seorang muslim mendengar firman Tuhan, "dan segala-galanya Kami ciptakan serba berpasangan agar kamu dapat merenungkan kekuasaan Kami" (QS.51:49). "Dia menciptakan pasangan, pria dan wanita" (QS. 53:45). Lalu ia merindukan seseorang yang telah ditetapkan sebagai pasangannya. Tapi itu tidak berarti ia merindukan sesuatu yang lain selain Tuhan. Baginya, tidak ada kerinduan kecuali Tuhan.

Allah meletakkan di hati seorang muslim kerinduan terhadap pasangannya sebagai bukti hanya Dia lah yang tunggal, selain-Nya ada berpasang-pasangan. Jadi, kerinduan tersebut meneguhkan kepasrahannya kepada Allah dengan segala ketetapan-Nya.

Ketetapan-Nya adalah apa yang disampaikan-Nya melalui perkataan Rosulullah saw seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, "perkawinan adalah sunnahku, barangsiapa tidak bertindak sejalan dengan sunnahku tidak termasuk golonganku." Dia juga berkata, "seseorang yang menikah telah mendapatkan separuh dari agamanya, maka hendaklah ia takut kepada Tuhan untuk mendapatkan separuh lainnya." Perkataannya yang lain, sebagian besar diantara penghuni neraka adalah para bujangan.

Saya sangat setuju dengan mereka yang berkata: Dzikir tidak hanya mengucap. Begitu pula berdzikir tidak hanya berpikir dan merenung. Pada makna puncaknya, berdzikir adalah mengalami sesuatu yang membuatnya teringat terus pada Tuhannya. Saya juga sangat setuju dengan mereka yang berkata: Bersyahadat tidak hanya mengucap. Bersyahadat adalah benar-benar menyaksikan sehingga bisa benar-benar membuktikan. Menyaksikan apa? membuktikan apa? Seperti makna dzikir, bersyahadat adalah mengalami sesuatu yang membuatnya mengetahui bahwa Dia adalah benar-benar Tuhan sedangkan aku adalah hamba-Nya, dan bahwa Muhammad adalah benar-benar Rosul-Nya sedangkan aku adalah pengikutnya.

Nah, perkawinan disyareatkan agar seorang muslim dapat mengalami dzikir dan syahadat itu. Kata "mengalami" perlu ditekankan sebagai sebuah aktifitas yang melibatkan secara penuh segenap indera, rasa dan nalar. Kita memiliki dua jenis pengalaman: (1) yang bisa diungkapkan melalui kata-kata, dan (2) yang hanya bisa dirasakan. Tidak jadi soal, manakah pengalaman berdzikir dan bersyahadat yang kita miliki, asalkan pengalaman itu dapat membuat kita kembali ingin mengalaminya berulang-ulang, karena di sanalah kita menemukan kehidupan surga.

Kehidupan surga? hhmm...tidak sedikit orang yang menampik kehidupan surga, hanya karena ingin menunjukkan cintanya kepada Allah semata. Tapi cobalah renungkan kembali, bahwa Allah menyediakan kehidupan surga untuk dimiliki oleh seorang muslim, karena di sanalah puncak penghambaan terjadi dan mulai dari sanalah seorang muslim bergerak menjadi khalifah-Nya.

Perhatikan, Rosulullah saw mengabarkan bahwa sebagian besar diantara penghuni neraka adalah para bujangan. Mengapa? karena para bujangan tidaklah benar-benar menjadi khalifah-Nya. Itu juga berarti, para bujangan tidak benar-benar berdzikir dan tidak benar-benar bersyahadat, lalu bagaimana para bujangan itu bisa merasakan kehidupan surga? Imam Ghazali menulis dalam kitab Kimiya-yi Sa'adat, bahwa kaum muslim di masa lalu dan para sahabat menganggap seseorang patut dicela jika ia mati dalam keadaan membujang. Demikian kuatnya keyakinan ini sehingga ketika kedua isteri Mu'adz meninggal akibat wabah penyakit dan ia sendiri terserang wabah itu, ia berkata, "berikanlah padaku seorang istri agar aku tidak mati membujang."

Kehidupan surga... dimanakah?

Seorang muslim berkata: baitii jannatii, rumahku adalah surgaku. Ya, di rumahnya ia membangun kehidupan surga bersama pasangan jiwanya.

Apakah yang paling menyenanghkan dari kehidupan surga?

Al-Qur'an sering mengabarkan bahwa perbuatan yang paling menyenangkan bagi penghuni surga adalah hubungan seksual bersama pasangan jiwa mereka. Bagi para penghuni surga, hubungan seksual yang mereka lakukan semata-mata untuk mendapatkan kesenangan, bukan untuk mendapatkan anak keturunan. Di dalam kesenangan itu, mereka mengalami penghambaan yang sesungguhnya kepada Tuhan.

Rumahku adalah surgaku, begitulah seorang muslim berkata. Bersama pasangan jiwanya, ia membersihkan diri dan hatinya dengan air dan sholat dua rakaat. Ia mengajak pasangan jiwanya berlindung kepada Allah dari setan yang dulu pernah merusak kehidupan surga Adam dan Hawa. Dengan doa itu, ia memohon kepada Allah agar ia tidak pernah dipisahkan dari pasangan jiwanya. Karena tanpanya, tidak ada lagi kehidupan surga yang bisa ditempati.

Memasuki kehidupan surga, ia mengajak pasangan jiwanya terus mengingat Allah melalui sholat dua rakaat dan berdoa. Dan ingatan itu menjadi ingatan keduanya yang terakhir. Tiada lagi ingatan-ingatan yang lain selain ingatan terakhir itu.

Di dalam kehidupan surga, sepasang jiwa itu saling memuja dan memuji, saling menampakkan keindahan dan kebaikan yang dimiliki, begitu juga mereka berdua saling menutupi apa yang perlu ditutupi, saling menyandarkan diri satu sama lainnya. Ia bagaikan pakaian bagi pasangan jiwanya, dan begitu juga sebaliknya. Mereka berdua saling mencampurkan hasrat dan kehendak menjadi satu perbuatan (QS. 2:187).

Ia terus menegakkan Dzikirnya (dalam bahasa biologi disebut Dzakar). Ia telah benar-benar menegakkan Dzikirnya. Pada saat Dzikir telah tegak sempurna, tiada lagi dualitas, segala yang berpasangan dan terpisah telah kembali menjadi satu. Ia telah menemukan bagian dari dirinya yang pernah terlepas. Pasangan jiwanya telah kembali ke tanah asal tempat ia diciptakan. Keduanya adalah satu dan kembali lagi menjadi satu. Duhai...begitu indahnya ketika semua yang terpisah telah menyatu kembali.

Pada puncaknya, Dzikir memancarkan air kehidupan. Kemanakah air kehidupan dzikir itu mengalir? Air kehidupan itu memerlukan tempat bersemai, bila tidak, ia menjadi sia-sia sudah itu mati. Karena itu, Dzikir seorang bujangan belum berfungsi bagi kelangsungan kehidupan. Ia memerlukan pasangan jiwanya sebagai tempat penyemaian buah Dzikirnya.

Rumahku adalah surgaku, begitulah seorang muslim berkata. Di sana ia mengalami kelemahan sebagai akhir dari kekuatannya. Kelemahannya adalah kelemahan benar-benar yang tiada berdaya upaya. Bukan kelemahan yang diinginkan, atau ditampak-tampakkan, atau dibuat-buat, atau dilemah-lemahkan. Tetapi, kelemahannya adalah benar-benar kelemahan yang disebabkan oleh penyerahan segenap kekuatannya. Sesungguhnya, ia ingin kekuatan itu kembali, tetapi sungguh, ia benar-benar tidak berdaya. Ia menjadi lemah tetapi bukan kelemahan yang menyakitkan. Ia memperoleh kelemahan yang begitu memuaskan.

Nah, pada saat itulah seorang muslim menyaksikan dirinya sebagai seorang hamba. Sebagai hamba, ia tidak lagi memiliki kekuatan untuk melakukan kesenangan-kesenangan yang diinginkannya. Ia menjadi tidak berdaya sama sekali. Tetapi di dalam ketidakberdayaannya itu, ia memperoleh kepuasan yang teramat sangat yang sulit dilukiskan oleh kata-kata. Kepuasannya itu selalu membuatnya berkeinginan, jika kekuatan itu hadir kembali ke dalam dirinya, ia ingin sekali bersungguh-sungguh menyerahkannya agar ia kembali merasakan kelemahan yang memuaskan itu. Begitulah, seorang hamba merasa puas dalam ketidakberdayaannya.

Suatu malam, sambil berbaring, ketika seluruh kekuatan telah menjadi lemah, pasangan jiwaku bertanya, "Ayah kok diam aja? kenapa senyum-senyum sendiri gitu?" Aku membalikkan badanku dan menatapnya penuh kasih, "Kasihan ya teman-teman kita yang masih bujangan. Mereka..." ups, ia tidak memberiku kesempatan menuntaskan kata-kataku. Ia ingin mencari sendiri tahu sendiri: bertanya-jawab tanpa media kata, suara dan udara. Kami pun kembali menyatu dalam ketakberdayaan.

Selasa, 12 Mei 2009

MENEMUKAN PASANGAN JIWA, MELENGKAPI TUJUAN PENCIPTAAN

Setelah Adam memperoleh pengetahuan dari Tuhannya, apakah ia lantas menjadi wakil-Nya mengatur urusan-urusan bumi? Tidak. Ia memang telah mendapatkan pengetahuan tentang nama-nama-Nya lengkap dengan pengertian-pengertian yang tercakup di dalamnya. Ia telah mengetahui kata-kata dan pengertian tentang kata-kata tersebut, tetapi pengetahuan itu belum cukup membuatnya melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan sebagai wakil-Nya. Untuk dapat bertindak, ia harus mengalami kata-kata dan pengertian-pengertian itu terlebih dahulu.

Seperti anda, ketika telah menguasai kata sabar dan memahami pengertian tentang sabar, apakah anda sudah pasti dapat bertindak sabar? Ya, setelah anda mengalami pengertian tentang sabar itu sendiri. Pengetahuan yang belum dialami hanyalah sekumpulan data yang belum berfungsi dan teruji, oleh karenanya belum dapat dijadikan dasar dan acuan tindakan.

Sebelum Adam berfungsi sebagai wakil-Nya, ia harus terlebih dahulu mengalami pengetahuan yang telah diperolehnya. Untuk itu, Hawa diciptakan sebagai pasangan jiwanya. Jiwa yang sendiri tidak bisa berfungsi sebagai wakil-Nya. Ia hanyalah hamba-Nya yang terus berada dalam kesunyian dan kehampaan yang memuaskan. Untuk dapat menjadi wakil-Nya, jiwa yang sendiri itu harus mencari, bertemu dan tetap bersama pasangan jiwanya.

Sampai batas tertentu, Adam menikmati kesendiriannya sebagai hamba-Nya. Ia mendapatkan segala perhatian, perawatan dan cinta. sampai pada waktunya, ia ingin memperhatikan, merawat dan mencintai, tapi kepada siapa? ia hanya seorang diri. Kembali kepada-Nya? Apalah rasanya menabur garam ke air laut? ia membutuhkan seorang untuk diperhatikan, dirawat dan dicintai. Selama kebutuhannya tak kunjung terpenuhi, selama itu pula ia menjadi gelisah mencari-cari, karena ia belum melengkapi tujuan penciptaannya, yaitu menjadi wakil-Nya. Untuk apakah ia dicintai? untuk mencintai. Untuk apakah ia menjadi hamba-Nya? untuk menjadi wakil-Nya. Maka Hawa dihadirkan untuk memulai proses menjadi wakil-Nya.

Maka, sudah sepantasnya seorang muslim terus merasa gelisah selama ia masih seorang diri. Ia tidak diciptakan untuk menyendiri, tetapi untuk bersama-sama dengan yang lainnya. Dalam dunia makna, Tuhan berkata: Jika kamu mencintai-Ku, teruslah bersama manusia itu, karena dengan begitu, aku akan terus mencintaimu. Cinta-ku akan selalu menjagamu untuk terus bersamanya (QS.3:31).

Jumat, 08 Mei 2009

CERMIN TIDAK AKAN TERBAKAR OLEH API YANG MENYALA DIDALAMNYA

Ya Allah....
Apakah aku belum menjadi suami yang sholeh?

Itu yang kutulis disecarik kertas untuknya, ketika dia marah-marah terus sepanjang hari, tidak tahu kapan akan berakhir. Secarik kertas itu kuberikan setelah permohonan maafku tidak ditanggapinya. Saat itu aku bilang: "Bunda, maafin ayah ya?" dia tidak bereaksi malah berusaha menghindar, "Bunda masih ngantuk atau masih marah?" Tidak bereaksi juga. "Ayah pergi ya?" dia jawab, "Bodo!"

Ya Allah....
Apakah aku belum menjadi suami yang sholeh?

Itu yang kutulis disecarik kertas dan kuberikan kepadanya, kusisipkan kedalam genggamannya, kukecup pipinya sambil berbisik, "Assalamu'alaikum.."

Duhai...
Begitukah wanita?
Dunia melebar atau menyempit tergantung bentuk senyum di bibirnya?

Mendengar jawabannya, dadaku langsung terasa sesak. Amarah telah menguasai hatiku. Aku ingin meluapkan kemarahan kepadanya dengan seluruh kata, seluruh kalimat, dan seluruh pengertianku tentang bagaimana mengelola rumah tangga, tentang hak dan kewajiban suami-istri, tentang bakti bakti seorang anak kepada orang tuanya, tentang kehidupan yang seharusnya dijalani dengan rasa syukur dan sabar.

Aku ingin memulai kemarahan itu, tapi tetap saja kepalaku tertunduk menghujam dalam-dalam ke dasar bumi atau sesekali terlempar jauh coba melampaui batas-batas pandangan. Tetapi...bukankah kemarahannya ini diawali oleh kemarahanku sebelumnya? Dapatkah diakhiri oleh kemarahanku sesudahnya?

Saat itu...
"Sudah! Ayah ga suka bicarakan ini lagi!" Dengan marah aku berkata lalu pergi.
"Bunda juga ga suka dengan keadaan begini terus!" Katanya lebih marah lagi mengiringi langkahku yang menghilang.

Setelah itu, perang dingin dimulai....

Api kemarahan telah menyala-nyala di dalam dirinya. Aku terbakar di dalamnya. Api itu bukan api kemarahannya tapi api kemarahan diriku sendiri. Aku melihatnya menyala-nyala di dalam dirinya dan menyambar lalu membakarku.

Istriku menjadi menjadi cermin bagiku. Jika aku meluapkan kemarahanku kepadanya, aku menderita oleh kemarahanku sendiri yang terpantul darinya. Dan sebaliknya, jika aku bersikap baik kepadanya, pantulan kebaikan itu menyemangati hidupku.

Kalau begitu, apakah yang akan kuperoleh dari memarahinya selain menderita oleh karena kemarahanku itu sendiri? Maka biasanya, aku menyimpan rapat-rapat kematahanku. Biarlah ia menyala-nyala di dalam diriku sendiri. Dapatkah api yang menyala di dalam cermin membakar cermin itu sendiri? Dia menjadi cermin bagiku dan demikian juga aku menjadi cermin baginya. Jadilah ini yang kutulis disecarik kertas lalu kugenggamkan ke tangannya.

Ya Allah....
Apakah aku belum menjadi suami yang sholeh?

Melalui secarik kertas itu, aku ingin berkata kepadanya:
Bunda sayang....
apapun kekurangan Ayah, ketahuilah, ayah sedang bersungguh-sungguh menjadi suami yang sholeh. Dengan menjadi sholeh, ayah berharap memperoleh pendamping yang juga sholeh.
Bunda sayang....
Dengan keadaan begini, apakah memang kita adalah pasangan jiwa yang sama-sama belum menjadi sholeh? sehingga kita pantas berdampingan bersama kemarahan dan kebencian?
Bunda sayang....
Maukah engkau terus berusaha menjadi sholehah untuk ayah? karena Ayah juga terus berusaha menjadi sholeh untuk bunda. Bukankah kita berdua ingin terus berdampingan di sini dan di sana?

Kamis, 07 Mei 2009

MEMBACA SYAHADAT: Menghormati Syiar-Syiar Agama (3)

Ketika kita berkata, "aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, " tiba-tiba semua tempat menjadi tempat perjumpaan kita dengan Allah. Kemana saja kita menghadapkan wajah kita, di sana kita akan selalu menatap wajah Allah (QS. 2:115). Tetapi hanya dengan mengatakan itu saja tidak cukup membuat kita menjadi muslim. Kita mesti melengkapinya dengan perkataan, "aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad saw adalah utusan Allah."

Bagi seorang muslim, setelah hati tunduk pasrah kepada Allah, giliran selanjutnya adalah ketundukan raga mengikuti jejak nabi Muhammad saw sebagai utusan Allah. Cermin ketundukan batin adalah ketundukan lahir, yaitu melaksanakan sholat, puasa, zakat dan haji.

Dengan batinnya, seorang muslim dapat naik ke atas langit hidup dalam kedamaian bersama para malaikat, mengabdi secara tulus murni kepada Allah. Pada saat yang sama, dengan lahirnya ia tetap tinggal di bumi dalam perjuangan mengentaskan kelaparan dan kemiskinan bersama-sama manusia lainnya. Kondisi itulah yang menjadikan manusia lebih unggul daripada malaikat. "Sujudlah kamu kepada Adam! perintah Allah kepada para malaikat, maka mereka pun sujud." (QS. 2:34).

Syiar-syiar agama Allah dibuat sedemikian rupa dengan segala syarat dan rukunnya untuk memenuhi kebutuhan lahir-batin manusia akan penyerahan diri secara total kepada Allah. Di antara syiar-syiar agama Allah yang paling utama adalah sholat. Ibnu Mas'ud pernah bertanya kepada Nabi, "amalan apakah yang paling utama?" beliau menjawab, "sholat sesuai dengan waktunya.' (mutafaq 'alaih).

Sholat bagaikan tiang agama, maka seorang muslim memperkuat agamanya dengan senantiasa mendirikan sholat. Agamanya adalah penyerahan diri lahir-batin kepada Allah semata. Ia melakukan sholat semata-mata ingin terus berhubungan dengan Allah. Baginya, sholat adalah simbol kepasrahan. Nabi saw bersabda, "beda antara muslim dan musyrik atau kafir adalah meninggalkan sholat." (Muslim).

Orang yang beriman kepada Allah adalah orang yang semua bilik di hatinya terpenuhi oleh keyakinan kepada Allah. Tidak sedikit pun hatinya sepi dari keterkaitan dengan Allah. Namun pada sifat dasarnya, hati suka berubah-ubah. Kadang begini, kadang begitu. Keyakinan itu tidak tumbuh dengan sendirinya, melainkan diletakkan dan disemaikan oleh Allah. Karena itu nabi saw sering berdoa, "wahai Dia yang membuat hati berubah-ubah, tetapkan hatiku pada agama-Mu." Salah seorang istrinya bertanya tentang hal itu dan beliau menjawab, "wahai Ummu Salamah, tidak ada putera Adam yang hatinya tidak berada di anatara dua jari Allah. Siapa pun yang Dia inginkan, dibuat-Nya berjalan lurus dan siapapun yang Dia inginkan, dibuat-Nya berbelok." (Tirmidzi).

Nah, Allah ingin membuat hati seorang muslim tetap berada di jalan kepasrahan kepada-Nya. Maka, sholat menjadi sarana sekaligus tujuan untuk itu. "Sesungguhnya sholat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang yang beriman." (Qs.4:103).

Sholat menjadi sarana pembinaan bagi manusia agar tetap menjadi muslim yang apa adanya, yaitu orang yang tunduk pasrah lahir-batin kepada Allah. Ajaran kepasrahan itu dimulai ketika Allah menyapa, "hayya 'alashsholah, dirikanlah sholat!" kita menjawabnya dengan ucapan, "laa haula walaa quwwata illa billah, tiada daya upaya dan juga tiada kekuatan kecuali bersama Allah." Kemudian kita sucikan anggota tubuh dengan airsuci dan menyucikan lalu berkata: "aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad saw adalah utusan Allah." kita ulangi lagi kesaksian yang menjadi awal kepasrahan kita kepada Tuhan.

Saat berdiri tegak dan menghadap arah yang ditetapkan Allah, kedua tangan kita terangkat, dan kita berkata: "Allahu Akbar, Allah maha besar." Saat itu yang ada hanyalah kebesaran Allah. Selain-Nya tertutupi oleh kebesaran-Nya. Sholat mengajarkan kepasrahan yang memberikan rasa aman dan kepuasan diri. Ketika kebesaran Allah ditampakkan maka tak ada lagi kebutuhan-kebutuhan yang menimbulkan rasa cemas, tidak ada lagi kecenderungan-kecenderungan yang melahirkan ambisi bahkan egoisme yang membinasakan atau ketakutan-ketakutan yang membelenggu. Semua hal itu lenyap tersingkirkan oleh kebesaran Allah. Dan, apakah masih ada yang lain selain Allah?

Setelah itu, perkataan yang disunnahkan nabi adalah, "saya hadapkan diriku kepada Engkau ya Allah yang telah menjadikan langit dan bumi. Benar-benar aku mengarah kepada kebenaran dan menyerahkan diri, tunduk dan patuh, dan sekali-kali aku bukan termasuk orang-orang yang musyrik. Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidup dan matiku adalah untuk Allah semata, pemelihara alam ini, tak ada sekutu bagi-Nya. Demikianlah aku diperintahkan Allah dan aku adalah salah seorang dari orang-orang yang pertama menyerahkan diri jiwa-raga untuk Allah." (Muslim). Perkataan itu adalah sebuah pengakuan bahwa kita tunduk, patuh dan menyerahkan diri secara utuh lahir-batin kepada Allah semata.

Dalam kepasrahan total, tidak ada lagi aku, baik dalam rasa, pikir, kata ataupun cara-cara bertingkah laku. Kita tunduk dan pasrah kepada apa mau-Nya dan bagaimana cara-Nya. Maka sholat membiasakan kita dengan isi dan makna Al-Fatihah. Mengenai pembacaan Al-Fatihah dalam sholat, Abu Hurairoh ra menyampaikan kabar dari nabi, "siapa yang melakukan sholat tanpa membaca ummul kitab (Al-fatihah), maka sholatnya tidak sah." (Ahmad). Menurut kabar dari Ubadah bin Shamit, nabi berkata, "tidaklah sah seseorang yang sholat tanpa membaca Al-Fatihah." (Jamaah). Maka, melalui sholat, Al-Fatihah membina pribadi muslim.

Ketika kita berkata,, "bismillahirrahmanirrahim." maka saat itulah kita mengakui bahwa kita melakukan segala sesuatu atas nama Allah. Karena itu, tujuan dan cara-cara adalah tujuan dan cara-cara Allah. Setelah bismillah tidak ada lagi aku dalam setiap tujuan dan cara-cara, yang ada hanyalah tujuan dan cara-cara-Nya semata. Cara-cara-Nya yang pertama kali Dia kenalkan adalah arrahman arrahim, yaitu cara-cara yang penuh kasih sayang. Maka setiap gerak laku dan perkataan muslim haruslah selalu berada di atas landasan kasih sayang. Setelah itu, alhamdulillahi rabbil 'alamin, segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam.

Jika cara-cara yang digunakan adalah cara-cara Allah, maka ucapan terima kasih pun hanya ditujukan kepada Allah. "Dan Dialah Allah, Tidak ada Tuhan melainkan Dia. bagi-Nyalah segala puji di dunia dan di akhirat." setelah alhamdulillah, tidak ada lagi aku dalam pujian ataupun ucapan terima kasih, mengapa aku yang harus dipuji padahal aku hanyalah melaksanakan kehendak-Nya?

Seluruh rangkaian gerak sholat dan perkataan-perkataan yang diucapkan di dalamnya adalah proses penempaan batin untuk senantiasa terkait denganAllah dalam ketundukan dan kepasrahan. Sholat merupakan ruang pribadi di mana seseorang menikmati perjumpaannya dengan Allah, tetapi sholat juga merupakan ruang publik di mana seorang muslim harus tetap saling bertemu antar sesamanya, sesama manusia.

Sholat tidak menjadikan muslim terasing dari dunianya dan dari semua penghuni dunia lainnya. Dia telah sampai ke langit dan dia harus segera turun kembali ke bumi. Awalnya adalah Allahu Akbar dan akhirnya adalah salam. Setelah berjumpa Tuhannya, dia menebarkan kesejahteraan di tengah-tengah masyarakatnya.

Muslim sesungguhnya adalah muslim yang benar sholatnya, sehingga benar pula tutur kata dan perbuatannya. Di bawah pengelolaannya, bumi menjadi damai dan sejahtera. Tidak ada lagi penjarahan harta benda dan harga diri. Tidak ada lagi pembunuhan jiwa dan karkter.

"Sesungguhnya sholat itu mencegah dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar." (QS. 29:45). "sesungguhnya manusia itu diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir. Kecuali orang-orang yang mengerjakan sholat yang mereka itu tetap mengerjakan sholatnya." ((QS. 70:19-23).

Sholat merupakan tiang agama, jika seorang muslim menegakkannya dengan benar maka benar pula syiar-syiar agama yang lainnya seperti puasa, zakat, dan haji. Karena semua syiar-syiar agama bertemakan penyerahan diri kepada ketetapan-ketetapan Allah. Syiar-syiar agama itu harus dilakukan sebagaimana Allah tetapkan melalui nabi-Nya, tiada pembangkangan dan juga pengkhianatan. dan keseluruhan tema penyerahan diri terkumpul dalam penegakkan sholat.

Rabu, 06 Mei 2009

MEMBACA SYAHADAT: Menghormati Syiar-Syiar Agama (2)

Sejauh ini, tampaknya kita hanya berjalan mondar-mandir antara lahir dan batin. Tapi memang begitulah ziarah yang dilakukan oleh seorang muslim, yaitu ziarah bolak-balik antara lahir dan batin. Baginya, tidak cukup hanya dengan menatap batin lalu mengabaikan lahirnya, atau pun sebaliknya. Baginya, batin adalah tempat pertemuannya dengan Tuhan. Sedangkan lahir adalah tempat mewujudkan hail pertemuan itu kepada sesama manusia. Atau sebaliknya, lahir merupakan tempat mengenali tanda-tanda keberadaan-Nya sampai kesadaran menyemaikan cinta di dalam batin hingga siap menemukan-Nya. Jadi, tidak ada masalah dari mana jalan penemuan itu dimulai. Allah berfirman: "Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda Kami di segenap ufuk dan didalam diri mereka sendiri sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Dia itu adalah yang nyata." (QS. 41:53).

Dikarenakan manusia terdiri dari struktur lahir dan struktur batin, maka penyerahan diri dilakukan melalui keduanya. Di dalam batin terjadi penyerahan kecenderungan-kecenderungan, sehingga tidak ada satupun kecenderungan yang tersisa kecuali Allah. Dan pada lahir terdapat penyerahan gerak-gerik dan tingkah laku anggota tubuh.

Dalamnya laut dapat diukur, tapi dalamnya hati siapa tahu? Menurut kabar dari Ibnu Majah, Nabi pernah ditanya, "siapakah yang paling baik diantara orang-orang?" dia menjawab, "setiap orang yang hatinya bersih dan lidahnya berkata benar. Tetapi siapakah yang hatinya bersih? nabi berkata, "dia adalah yang bertakwa dan suci, yang tidak mempunyai dosa, tidak berbuat salah, tidak mempunyai dendam, dan tidak menyimpan rasa iri." Allah berfirman: "barang siapa menghormati syiar-syiar agama Allah, maka sesungguhnya itulah ketakwaan hati." (QS. 22:32). Alhasil, seorang muslim dapat dikenali dari penghormatannya terhadap syiar-yiar agama Allah, yaitu sholat, puasa, zakat, dan haji.

Tidak ada kesia-siaan dalam ciptaan atau ketetapan Allah. Begitu pula dengan penetapan sholat, puasa, zakat dan haji sebagai syiar-syiar agama Allah. Ada tujuan yang sangat penting di balik penetapan keempat rukun agama tersebut, yaitu untuk membantu manusia mencapai tujuan penciptaannya.

Manusia menjadi pusat perhatian Allah dibanding makhluk-makhluk lainnya. Semua yang ada dilangit dan dibumi serta apa yang ada di antara keduanya diciptakan dan ditundukkan untuk keperluan manusia. (QS. 22:65, 23:17-22). Apabila kehidupan dunia ini digambarkan tidak lebih dari sekedar lakon sandiwara, maka manusialah pemeran utamanya.

Manusia dan jin diciptakan hanya untuk mengabdi kepada Allah (Qs. 51:56). Tapi dari keduanya, hanya manusialah yang dipilih Allah untuk menjadi wakil-Nya mengatur urusan-urusan bumi. Sementara manusia diciptakan selalu dalam kondisi susah payah (QS. 20:4). Jadi, bukankah tugas pengelolaan bumi, sesungguhnya adalah tugas yang teramat berat bagi manusia?

Berat, karena di satu sisi, manusia dituntut untuk melakukan pengabdian yang tanpa putus sesaat pun kepada Allah. dan di sisi lain, manusia dituntut untuk merawat bumi, mengatasi permasalahan-permasalahan dari komunitas yang ada di dalamnya dan menjaga hubungannya yang hamonis dengan langit. Di satu sisi, manusia dituntut untuk tunduk pasrah, melenyapkan segala kelebihan, keutamaan, kekuatan, daya dan upaya hingga yang tinggal pada dirinya hanyalah kekurangan, kelemahan, ketidak-berdayaan, dan kebutuhan yang amat sangat dan teramat banyak. Di sisi lain, manusia dituntut tampil dengan kekuatan, kemampuan mengatur urusan-urusan, kedermawanan, memenuhi kebutuhan-kebutuhan dirinya dan juga orang lain. Di antara semua makhluk ciptaan Allah, adakah yang menerima beban amanah yang begitu berat selain manusia?

Tuntutan sisi pertama adalah untuk ruang pribadi kita dengan Allah dan tuntutan sisi kedua adalah untuk ruang publik antara kita, sesama manusia dan alam semesta. Untuk yang pertama, kita telah membahasnya sebelum ini. dan untuk yang kedua, ternyata Allah tidak tinggal diam. Dia membantu manusia dengan disediakannya syiar-syiar agama sebagai fasilitas manusia bermainn di ruang publik.

----Aduh! bersambung lagi aja deh.........

Senin, 04 Mei 2009

MEMBACA SYAHADAT: Menghormati Syiar-Syiar Agama (1)

Pada tahun 90-an, ada sekelompok orang yang mengusung slogan Spirituality, Yes; Organized Religious, No. Gerakan mereka dikenal dengan gerakan New Age. Gerakan ini berangkat dari kesadaran bahwa telah terjadi berbagai krisis kemanusiaan yang disebabkan oleh alasan-alasan material. Mereka melihat bahwa praktek eksploitasi terhadap lingkungan dan masyarakat terjadi karena manusia tidak lagi menatap ke dalam batinnya hingga menjadi terabaikan, dibandingkan dengan kepentingan jasmaninya. Struktur batinnya tenggelam tertutupi oleh struktur lahir.

Oleh karena struktur lahir yang menonjol, bahkan mendominasi kehidupan manusia, maka pola pikir dan tingkah laku materialitas menjarah habis-habisan nilai-nilai kemanusiaan dan mencabut manusia dari fitrah kemanusiaannya. Materialitas manusia dipuja, sedangkan spiritualitas manusia terabaikan. Dan yang terjadi adalah: kemanusiaan tidak lagi menjadi utuh. Kehidupan manusia berjalan timpang. Dan yang terlihat adalah: proses dehumanisasi.

Mereka kembali merindukan perdamaian, toleransi, persamaan, keadilan, kesadaran ekologi, keseimbangan alam, dan kearifan hidup dan kehidupan. Oleh karenanya mereka bersemangat melakukan pencarian jati diri manusia. Mencari jati diri berarti melakukan ziarah batin hingga menemukan fitrah kemanusiaan.

Manusia perlu kembali kepada fitrahnya sebagai manusia, kembali kepada the sacred self yang abadi, yang tidak memiliki identitas apa-apa karena non-material, karena itu ia tidak kehilangan apapun. Namun dalam ketiadaan apa-apa itu, secara paradoksal, termuat kecukupan yang merupakan dasar dari semua rasa keamanan batinnya sebagai manusia. Rasa aman itu membawa manusia kepada kepuasan, penuh kedamaian, penuh cinta, hingga menapai puncak keadaan yang penuh kebahagiaan secara rohani.

Menarik dan luar biasa! Mereka, gerakan New Age, menawarkan kita suatu sikap pasrah yang berkekuatan dengan merealisasikan hakikat dari yang original, fitrah. Dan dengan itu, keharmonisan kosmis yang bersifat universal tercapai.

Tetapi yang perlu kita catat di sini adalah mereka berusaha mengeluarkan manusia dari agama, tepatnya agama yang terlembagakan. Mereka beranggapan bahwa kita dan sebagian besar orang di dunia telah terjebak dalam agama yang terlembagakan. Dan nyatanya, agama sebagai suatu lembaga telah membuat masyarakat dunia terkotak-kotak dengan klaim kebenarannya masing-masing.

Agama yang terlembagakan dengan segala warna ritual dilihat sebagai sumber konflik masyarakat secara luas, karenanya agama harus ditinggalkan. tanpa agama secara ritual pun, manusia bisa saja hidup berdampingan, selama mereka senantiasa berziarah kedalam batinnya itu.

Mereka berpandangan bahwa manusia, apapun agamanya bahkan yang mengaku tak beragama sekalipun, dengan ziarah batin tersebut akan menemukan hakikat diri kemanusiaan apa adanya yang dianugerahkan oleh Tuhan apa adanya. Tuhan apa adanya adalah Tuhan yang terlepas dari penamaan atau definisi apapun. Tuhan ya Tuhan, apa adanya. Dia telah menciptakan manusia apa adanya pula. Pertemuan antara keduanya akan melahirkan nilai dan makna yang lepas dari penamaan khas agama tertentu. Demikian gerakan New Age.

Tetapi kita adalah seorang Muslim! Muslim apa adanya adalah orang yang telah memasrahkan jiwa-raganya kepada sang pencipta dan pemilik jiwa-raga itu. Ziarah batin yang dilakukannya adalah untuk menemukan Tuhan, di mana segala kepasrahan akan diletakkan. Penemuan akan Tuhan itu bersifat kognitif yang akan menimbulkan kesadaran dan akhirnya: cinta! Cinta yang menggerakkan untuk senantiasa bertemu.

Oleh karenanya, batin seorang muslim senantiasa meratap, memanggil-manggil nama-Nya. Kita ingin menemukannya dan Dia ingin ditemukan. Karena itu, Dia memilih beberapa di antara manusia untuk mengenalkan driri-Nya, untuk mengenalkan nama-nama-Nya agar Dia ditemukan. Dia berkata: Ssungguhnya yang kamu sebut Allah itu ya Aku, tidak ada Tuhan selain Aku maka mengabdilah kepada-Ku.

Pengabdian manusia kepada Allah, sejatinya dilakukan setelah pengucapan ikrar dua kalimat syahadat. Ikrar itu penting untuk menjaga pengabdian agar dilakukan secara utuh, yaitu pengabdian lahir-batin sekaligus pada saat yang sama. Namun sekali lagi, jangan dilupakan bahwa pengabdian lahir seseorang hanya diakui berdasarkan suasana batin orang itu. Dan bagaimana suasana batin itu, akan terlihat dari tampak lahirnya. Demikianlah bagi orang yang memasuki penyerahan yang utuh, suasana batin akan mempengaruhi suasana lahir.

----
Supaya ga kepanjangan, bersambung aja deh...