Total Pengunjung

AYO MEMBACA ALQURAN SECARA BERMAKNA UNTUK MENATA KEHIDUPAN SEMESTA !!

Jumat, 08 Mei 2009

CERMIN TIDAK AKAN TERBAKAR OLEH API YANG MENYALA DIDALAMNYA

Ya Allah....
Apakah aku belum menjadi suami yang sholeh?

Itu yang kutulis disecarik kertas untuknya, ketika dia marah-marah terus sepanjang hari, tidak tahu kapan akan berakhir. Secarik kertas itu kuberikan setelah permohonan maafku tidak ditanggapinya. Saat itu aku bilang: "Bunda, maafin ayah ya?" dia tidak bereaksi malah berusaha menghindar, "Bunda masih ngantuk atau masih marah?" Tidak bereaksi juga. "Ayah pergi ya?" dia jawab, "Bodo!"

Ya Allah....
Apakah aku belum menjadi suami yang sholeh?

Itu yang kutulis disecarik kertas dan kuberikan kepadanya, kusisipkan kedalam genggamannya, kukecup pipinya sambil berbisik, "Assalamu'alaikum.."

Duhai...
Begitukah wanita?
Dunia melebar atau menyempit tergantung bentuk senyum di bibirnya?

Mendengar jawabannya, dadaku langsung terasa sesak. Amarah telah menguasai hatiku. Aku ingin meluapkan kemarahan kepadanya dengan seluruh kata, seluruh kalimat, dan seluruh pengertianku tentang bagaimana mengelola rumah tangga, tentang hak dan kewajiban suami-istri, tentang bakti bakti seorang anak kepada orang tuanya, tentang kehidupan yang seharusnya dijalani dengan rasa syukur dan sabar.

Aku ingin memulai kemarahan itu, tapi tetap saja kepalaku tertunduk menghujam dalam-dalam ke dasar bumi atau sesekali terlempar jauh coba melampaui batas-batas pandangan. Tetapi...bukankah kemarahannya ini diawali oleh kemarahanku sebelumnya? Dapatkah diakhiri oleh kemarahanku sesudahnya?

Saat itu...
"Sudah! Ayah ga suka bicarakan ini lagi!" Dengan marah aku berkata lalu pergi.
"Bunda juga ga suka dengan keadaan begini terus!" Katanya lebih marah lagi mengiringi langkahku yang menghilang.

Setelah itu, perang dingin dimulai....

Api kemarahan telah menyala-nyala di dalam dirinya. Aku terbakar di dalamnya. Api itu bukan api kemarahannya tapi api kemarahan diriku sendiri. Aku melihatnya menyala-nyala di dalam dirinya dan menyambar lalu membakarku.

Istriku menjadi menjadi cermin bagiku. Jika aku meluapkan kemarahanku kepadanya, aku menderita oleh kemarahanku sendiri yang terpantul darinya. Dan sebaliknya, jika aku bersikap baik kepadanya, pantulan kebaikan itu menyemangati hidupku.

Kalau begitu, apakah yang akan kuperoleh dari memarahinya selain menderita oleh karena kemarahanku itu sendiri? Maka biasanya, aku menyimpan rapat-rapat kematahanku. Biarlah ia menyala-nyala di dalam diriku sendiri. Dapatkah api yang menyala di dalam cermin membakar cermin itu sendiri? Dia menjadi cermin bagiku dan demikian juga aku menjadi cermin baginya. Jadilah ini yang kutulis disecarik kertas lalu kugenggamkan ke tangannya.

Ya Allah....
Apakah aku belum menjadi suami yang sholeh?

Melalui secarik kertas itu, aku ingin berkata kepadanya:
Bunda sayang....
apapun kekurangan Ayah, ketahuilah, ayah sedang bersungguh-sungguh menjadi suami yang sholeh. Dengan menjadi sholeh, ayah berharap memperoleh pendamping yang juga sholeh.
Bunda sayang....
Dengan keadaan begini, apakah memang kita adalah pasangan jiwa yang sama-sama belum menjadi sholeh? sehingga kita pantas berdampingan bersama kemarahan dan kebencian?
Bunda sayang....
Maukah engkau terus berusaha menjadi sholehah untuk ayah? karena Ayah juga terus berusaha menjadi sholeh untuk bunda. Bukankah kita berdua ingin terus berdampingan di sini dan di sana?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar