Total Pengunjung

AYO MEMBACA ALQURAN SECARA BERMAKNA UNTUK MENATA KEHIDUPAN SEMESTA !!

Rabu, 13 Mei 2009

BERSAMA PASANGAN JIWA, BERHUBUNGAN SEKSUAL, MENGHADIRKAN REALITAS DZIKIR DAN SYAHADAT

Ketika seorang muslim mendengar firman Tuhan, "dan segala-galanya Kami ciptakan serba berpasangan agar kamu dapat merenungkan kekuasaan Kami" (QS.51:49). "Dia menciptakan pasangan, pria dan wanita" (QS. 53:45). Lalu ia merindukan seseorang yang telah ditetapkan sebagai pasangannya. Tapi itu tidak berarti ia merindukan sesuatu yang lain selain Tuhan. Baginya, tidak ada kerinduan kecuali Tuhan.

Allah meletakkan di hati seorang muslim kerinduan terhadap pasangannya sebagai bukti hanya Dia lah yang tunggal, selain-Nya ada berpasang-pasangan. Jadi, kerinduan tersebut meneguhkan kepasrahannya kepada Allah dengan segala ketetapan-Nya.

Ketetapan-Nya adalah apa yang disampaikan-Nya melalui perkataan Rosulullah saw seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, "perkawinan adalah sunnahku, barangsiapa tidak bertindak sejalan dengan sunnahku tidak termasuk golonganku." Dia juga berkata, "seseorang yang menikah telah mendapatkan separuh dari agamanya, maka hendaklah ia takut kepada Tuhan untuk mendapatkan separuh lainnya." Perkataannya yang lain, sebagian besar diantara penghuni neraka adalah para bujangan.

Saya sangat setuju dengan mereka yang berkata: Dzikir tidak hanya mengucap. Begitu pula berdzikir tidak hanya berpikir dan merenung. Pada makna puncaknya, berdzikir adalah mengalami sesuatu yang membuatnya teringat terus pada Tuhannya. Saya juga sangat setuju dengan mereka yang berkata: Bersyahadat tidak hanya mengucap. Bersyahadat adalah benar-benar menyaksikan sehingga bisa benar-benar membuktikan. Menyaksikan apa? membuktikan apa? Seperti makna dzikir, bersyahadat adalah mengalami sesuatu yang membuatnya mengetahui bahwa Dia adalah benar-benar Tuhan sedangkan aku adalah hamba-Nya, dan bahwa Muhammad adalah benar-benar Rosul-Nya sedangkan aku adalah pengikutnya.

Nah, perkawinan disyareatkan agar seorang muslim dapat mengalami dzikir dan syahadat itu. Kata "mengalami" perlu ditekankan sebagai sebuah aktifitas yang melibatkan secara penuh segenap indera, rasa dan nalar. Kita memiliki dua jenis pengalaman: (1) yang bisa diungkapkan melalui kata-kata, dan (2) yang hanya bisa dirasakan. Tidak jadi soal, manakah pengalaman berdzikir dan bersyahadat yang kita miliki, asalkan pengalaman itu dapat membuat kita kembali ingin mengalaminya berulang-ulang, karena di sanalah kita menemukan kehidupan surga.

Kehidupan surga? hhmm...tidak sedikit orang yang menampik kehidupan surga, hanya karena ingin menunjukkan cintanya kepada Allah semata. Tapi cobalah renungkan kembali, bahwa Allah menyediakan kehidupan surga untuk dimiliki oleh seorang muslim, karena di sanalah puncak penghambaan terjadi dan mulai dari sanalah seorang muslim bergerak menjadi khalifah-Nya.

Perhatikan, Rosulullah saw mengabarkan bahwa sebagian besar diantara penghuni neraka adalah para bujangan. Mengapa? karena para bujangan tidaklah benar-benar menjadi khalifah-Nya. Itu juga berarti, para bujangan tidak benar-benar berdzikir dan tidak benar-benar bersyahadat, lalu bagaimana para bujangan itu bisa merasakan kehidupan surga? Imam Ghazali menulis dalam kitab Kimiya-yi Sa'adat, bahwa kaum muslim di masa lalu dan para sahabat menganggap seseorang patut dicela jika ia mati dalam keadaan membujang. Demikian kuatnya keyakinan ini sehingga ketika kedua isteri Mu'adz meninggal akibat wabah penyakit dan ia sendiri terserang wabah itu, ia berkata, "berikanlah padaku seorang istri agar aku tidak mati membujang."

Kehidupan surga... dimanakah?

Seorang muslim berkata: baitii jannatii, rumahku adalah surgaku. Ya, di rumahnya ia membangun kehidupan surga bersama pasangan jiwanya.

Apakah yang paling menyenanghkan dari kehidupan surga?

Al-Qur'an sering mengabarkan bahwa perbuatan yang paling menyenangkan bagi penghuni surga adalah hubungan seksual bersama pasangan jiwa mereka. Bagi para penghuni surga, hubungan seksual yang mereka lakukan semata-mata untuk mendapatkan kesenangan, bukan untuk mendapatkan anak keturunan. Di dalam kesenangan itu, mereka mengalami penghambaan yang sesungguhnya kepada Tuhan.

Rumahku adalah surgaku, begitulah seorang muslim berkata. Bersama pasangan jiwanya, ia membersihkan diri dan hatinya dengan air dan sholat dua rakaat. Ia mengajak pasangan jiwanya berlindung kepada Allah dari setan yang dulu pernah merusak kehidupan surga Adam dan Hawa. Dengan doa itu, ia memohon kepada Allah agar ia tidak pernah dipisahkan dari pasangan jiwanya. Karena tanpanya, tidak ada lagi kehidupan surga yang bisa ditempati.

Memasuki kehidupan surga, ia mengajak pasangan jiwanya terus mengingat Allah melalui sholat dua rakaat dan berdoa. Dan ingatan itu menjadi ingatan keduanya yang terakhir. Tiada lagi ingatan-ingatan yang lain selain ingatan terakhir itu.

Di dalam kehidupan surga, sepasang jiwa itu saling memuja dan memuji, saling menampakkan keindahan dan kebaikan yang dimiliki, begitu juga mereka berdua saling menutupi apa yang perlu ditutupi, saling menyandarkan diri satu sama lainnya. Ia bagaikan pakaian bagi pasangan jiwanya, dan begitu juga sebaliknya. Mereka berdua saling mencampurkan hasrat dan kehendak menjadi satu perbuatan (QS. 2:187).

Ia terus menegakkan Dzikirnya (dalam bahasa biologi disebut Dzakar). Ia telah benar-benar menegakkan Dzikirnya. Pada saat Dzikir telah tegak sempurna, tiada lagi dualitas, segala yang berpasangan dan terpisah telah kembali menjadi satu. Ia telah menemukan bagian dari dirinya yang pernah terlepas. Pasangan jiwanya telah kembali ke tanah asal tempat ia diciptakan. Keduanya adalah satu dan kembali lagi menjadi satu. Duhai...begitu indahnya ketika semua yang terpisah telah menyatu kembali.

Pada puncaknya, Dzikir memancarkan air kehidupan. Kemanakah air kehidupan dzikir itu mengalir? Air kehidupan itu memerlukan tempat bersemai, bila tidak, ia menjadi sia-sia sudah itu mati. Karena itu, Dzikir seorang bujangan belum berfungsi bagi kelangsungan kehidupan. Ia memerlukan pasangan jiwanya sebagai tempat penyemaian buah Dzikirnya.

Rumahku adalah surgaku, begitulah seorang muslim berkata. Di sana ia mengalami kelemahan sebagai akhir dari kekuatannya. Kelemahannya adalah kelemahan benar-benar yang tiada berdaya upaya. Bukan kelemahan yang diinginkan, atau ditampak-tampakkan, atau dibuat-buat, atau dilemah-lemahkan. Tetapi, kelemahannya adalah benar-benar kelemahan yang disebabkan oleh penyerahan segenap kekuatannya. Sesungguhnya, ia ingin kekuatan itu kembali, tetapi sungguh, ia benar-benar tidak berdaya. Ia menjadi lemah tetapi bukan kelemahan yang menyakitkan. Ia memperoleh kelemahan yang begitu memuaskan.

Nah, pada saat itulah seorang muslim menyaksikan dirinya sebagai seorang hamba. Sebagai hamba, ia tidak lagi memiliki kekuatan untuk melakukan kesenangan-kesenangan yang diinginkannya. Ia menjadi tidak berdaya sama sekali. Tetapi di dalam ketidakberdayaannya itu, ia memperoleh kepuasan yang teramat sangat yang sulit dilukiskan oleh kata-kata. Kepuasannya itu selalu membuatnya berkeinginan, jika kekuatan itu hadir kembali ke dalam dirinya, ia ingin sekali bersungguh-sungguh menyerahkannya agar ia kembali merasakan kelemahan yang memuaskan itu. Begitulah, seorang hamba merasa puas dalam ketidakberdayaannya.

Suatu malam, sambil berbaring, ketika seluruh kekuatan telah menjadi lemah, pasangan jiwaku bertanya, "Ayah kok diam aja? kenapa senyum-senyum sendiri gitu?" Aku membalikkan badanku dan menatapnya penuh kasih, "Kasihan ya teman-teman kita yang masih bujangan. Mereka..." ups, ia tidak memberiku kesempatan menuntaskan kata-kataku. Ia ingin mencari sendiri tahu sendiri: bertanya-jawab tanpa media kata, suara dan udara. Kami pun kembali menyatu dalam ketakberdayaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar