Total Pengunjung

AYO MEMBACA ALQURAN SECARA BERMAKNA UNTUK MENATA KEHIDUPAN SEMESTA !!

Selasa, 26 Mei 2009

BERSAMA PASANGAN JIWA, MENJADI RAHMAT SEMESTA

Pada saat yang tepat, setelah segala sesuatunya telah siap, seorang muslim dipertemukan dengan pasangan jiwanya. Keduanya dipertemukan atas dasar persamaan-persamaan yang dimiliki oleh keduanya (QS. 3:179, 24:26). Lalu hubungan seperti apakah yang dibangun oleh keduanya? Hubungan cinta!

Cinta seorang suami kepada istrinya adalah cinta seseorang kepada dirinya sendiri, karena itu cintanya tampak nyata dan terlihat jelas. Seperti kepada dirinya sendiri, ia tidak akan menyakiti atau berlaku jahat kepada istrinya. Ia melindungi, mengasihi, memenuhi kebutuhannya, berlaku sabar dan memaafkan kesalahan-kesalahan istrinya seperti pada dirinya sendiri.

Kemampuan itu diperoleh, karena ia telah menghambakan diri kepada Allah yang Maha Memaksa (Al-Jabbar) oleh karenanya ia mampu memaksa dirinya sendiri untuk terus menghamba kepada-Nya. Ia telah menghamba kepada Allah yang Maha Memelihara (Al-Muhaimin) oleh karenanya ia mampu memelihara dirinya dari perilaku syirik kepada-Nya. Penghambaannya yang terus-menerus dan murni kepada-Nya memberikannya kemampuan bersikap pemurah dan penyayang (Ar-Rahman Ar-Rahiim) kepada dirinya sendiri. Ia menjadi penguasa (Al-Malik) dan mengalahkan (Al-Qahhar) hawa nafsunya. Dengan keperkasaannya (Al-Aziz) ia merendahkan (Al-khafidh) sifat-sifat buruknya dan meninggikan (Ar-Rafi) sifat-sifat baiknya. Ia memuliakan (Al-Muiz) dirinya dan memberikan kesejahteraan (As-Salam) dan rasa aman (Al-Mu'min) kepada dirinya. Begitu juga ia menghinakan (Al-Mudzil) dirinya ketika ia berbuat dosa, ia mengadili (Al-Muqiith) lalu memberikan hukuman (Al-Hakam) kepada dirinya untuk menebus dosa itu. Kemudian ia menerima penyesalan (At-Tawwab) dan memaafkan (Al-'Afu) kesalahan-kesalahannya. Ia menjadi pengampun (Al-Ghaffar) dan memberikan ampunan (Al-Ghaffuur) dan mengasihi (Ar-Rauuf) dirinya sendiri hingga ia tidak lagi menjadi larut dalam penyesalan masa lalunya.

Ia menyucikan (Al-Quddus) dan membuka (Al-Fattah) hatinya untuk memperoleh pengetahuan dari Tuhannya (Al-'Alim). Dengan pengetahuan itu, ia membimbing (Al-Hadi) dirinya kepada Tuhannya dengan penuh kesabaran (Ash-Shobuur). Ia mensyukuri (Asy-Syakuur) kedekatannya dengan Allah dan menjaganya (Al-Hafizh) supaya tetap begitu, tetap berada di jalan Tuhannya. Dengan demikian, kebutuhannya terpenuhi (Al-Ghani Al-Mughni) maka ia tidak membutuhkan yang lainnya (Al-Qayyuum).

Dan begitu seterusnya sampai ia menemukan keagungan (Al-Azhim), kemuliaan (Al-Majid) dan keluhuran (Al-Jalil) pada dirinya sehingga ia sangat mencintai (Al-Wadud) dirinya sendiri.

Memang, seorang muslim akan menjadi seorang yang mencintai dirinya sendiri. Kecintaannya pada dirinya sendiri merupakan realisasi dari kecintaannya kepada Tuhannya. Ia telah melihat dirinya sebagai makhluk yang diciptakan berdasarkan citra Tuhannya (QS. 15:29) Dari sini kita bisa memahami kenapa seorang muslim selalu diajarkan untuk melihat kembali kepada dirinya sendiri, menemukan dirinya sendiri, mencintai dan memelihara dirinya sendiri. Setiap perbuatannya dimulai dari dirinya dan ditujukan kepada dirinya.

Tetapi meskipun begitu, ia tidak menjadi sosok yang induvidualis. Ketika seorang diri, Adam hanya melihat pada dirinya sendiri. Setelah Hawa dihadirkan sebagai pasangan jiwanya, ia melihat dirinya ada pada Hawa, lantas ia mencintai Hawa seperti ia mencintai dirinya sendiri. Rosulullah saw juga mengajarkan bahwa setiap muslim harus mencintai orang lain seperti ia mencintai dirinya sendiri. Itu dikarenakan diri yang dicintai itu, ternyata terdapat juga pada diri-diri yang lain.

Begitulah, seorang muslim telah melihat kehadiran dirinya pada diri pasangan jiwanya. Kemudian, ia memperlakukan pasangan jiwanya sebagaimana ia memperlakukan dirinya sendiri. Ia telah menemukan bahwa keagungan, kemuliaan, dan keluhuran yang terdapat dalam dirinya ternyata terdapat pula pada diri pasangan jiwanya.

Sedangkan cinta istri kepada suaminya adalah cinta seseorang kepada tanah asalnya, bagaikan cinta seorang hamba kepada Tuhannya. Bukankah seorang hamba berasal dari Tuhannya dan akan selalu kembali kepada-Nya? seorang hamba akan sangat menderita ketika ia berjalan semakin jauh dari Tuhannya. Penderitaan itu akan pulih kembali ketika ia telah menemukan jalan yang terus membawanya kembali kepada Tuhannya. Begitulah cinta seorang istri kepada suaminya.

Suami bagaikan Tuhan dan istri bagaikan hamba. Kalau boleh, kata Nabi, aku akan menyuruh para istri sujud kepada suaminya. Setiap saat Tuhan menjaga hamba, memberinya rizki, menunjukinya pada kebenaran, menegurnya bila menyimpang. Setiap saat, Tuhan mencintai hamba, cemburu, bahkan murka bila hamba menduakan cintanya. Mendengar keluh kesahnya, memenuhi kebutuhannya. Begitu sebaliknya hamba, setiap saat ia minta dijaga, dipelihara dan dilindungi. Hanya kepada Tuhan ia mengabdi dan hanya kepada-Nya pula ia menceritakan keluh kesah dan kebutuhannya. Setelah itu, ia tampil dihadapan yang lain dengan rasa kecukupan dan puas, semata-mata untuk menampakkan kebaikan Tuhan pada dirinya. Hamba hanya mencintai Tuhannya, merawat kesetiaan, bersikap sbar dan syukur kepada-Nya dan hanya dengan izin-Nya ia bisa bertutur kata dan bertingkah laku kepada yang lain.

Di dalam rumah tangganya, seorang muslim mendapatkan begitu banyak kebaikan dan keberkahan dari Allah. Lalu dengan itu semua, ia keluar dari rumahnya menyebarkan apa yang telah ia peroleh kepada sesamanya: para penduduk bumi. Ia tidak memerlukan apa-apa lagi dari mereka karena ia telah mendapatkan kecukupan dari Allah. Bahkan, kecukupan itu melimpah-ruah hingga mengenai sekitarnya.

Rumah tangga tidak sekali-kali membelenggu kehidupan seorang muslim. Ia terus bergerak menuju Tuhannya. Dari-Nya ia berasal dan kepada-Nya ia akan kembali. Perkawinan hanyalah sebagian jalan untuk kembali dan sebagiannya lagi harus ia cari di luar. Rasa syukurnya, membuatnya menggunakan yang sebagian itu untuk mencari sebagiannya yang lain.

Bagi seorang muslim, rumah tangga bukan tempat kembali. Meskipun ia telah membangunya laksana surga. Bahkan surga juga bukan tempat kembali. Surga hanyalah kenikmatan yang terasa tatkala hamba kembali kepada Tuhannya. Rumah tangga bukanlah surga sesungguhnya bagi seorang muslim hingga seluruh episode kehidupannya berhenti di sana. Ia memang berkata dengan bangga: "baitii jannatii, rumahku adalah surgaku." Tetapi perkataan itu hanyalah sekedar ingin menampakkan kebaikan dan keberkahan Tuhan yang diterimanya.

Rumah tangga baginya hanyalah tempat melatih jiwa-raga untuk siap menjadi penanggung jawab bumi (Khalifah). Dalam melaksanakan tugasnya, terkadang ia mampir sebentar mengisi kembali kesegaran hidup jiwa-raganya. Hanya dengan tetap hidup, ia bisa menebar kehidupan di sekelilingnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar