Total Pengunjung

AYO MEMBACA ALQURAN SECARA BERMAKNA UNTUK MENATA KEHIDUPAN SEMESTA !!

Senin, 30 Maret 2009

Muslim Memilih

Bagi seorang muslim, selalu ada niat yang mendasari perbuatannya. Ia tidak akan bertindak tanpa mengetahui niatnya terlebih dahulu. Ini dikarenakan niat lebih dihargai daripada tindakan. Rosulullah saw bersabda, setiap perbuatan harus disertai dengan niat. Begitu juga ketika muslim membuat pilihan.

Pada pemilu kali ini, seperti anda, saya mempunyai niat memilih caleg baik dari partai baik. Apakah ada caleg dan partai baik? itu menjadi persoalan yang membutuhkan pembahasan di tempat lain. Yang dibahas disini adalah, memilih atau tidak memilih haruslah didasari oleh niat.

Ketika seorang muslim telah berniat memilih, itu berarti ia mengetahui benar: 1) mengapa memilih? dan 2) siapa yang dipilih? Apapun jawabannya, pasti berharga baginya, sehingga ia bersungguh-sungguh mewujudkan niatnya itu. Begitu juga ketika ia telah berniat tidak memilih alias golput.

MENGAPA MEMILIH?

Saya tidak ingin berdebat, manakah yang lebih baik, memilih atau tidak memilih? saya percaya, muslim yang berniat memilih telah melihat masih ada caleg baik dari partai baik yang pantas dipilih, ia khawatir seandainya caleg dan partai yang ia anggap baik itu tidak terpilih. Begitu juga dengan muslim yang berniat tidak memilih, ia telah melihat tidak ada satu pun yang pantas dipilih.

Jadi, masih adakah yang pantas dipilih pada pemilu 2009 ini? ah, pertanyaan semacam itu selalu saja menggoda untuk dijawab. Tapi sungguh, saya benar-benar tidak ingin berdebat tentang baik-buruk, benar-salah, pantas-tidak pantas.

SIAPA MEMILIH SIAPA?

Saya percaya, sebuah pilihan menentukan kualitas pemilihnya. Pilihan yang buruk menunjukkan pengetahuan pemilih tentang pilihannya adalah seburuk yang ia pilih. Kalau begitu, kualitas parlemen yang selalu menjadi langganan berita acara KPK adalah cerminan dari kualitas pemilih pada pemilu 2004 lalu. Bagaimana dengan pemilu 2009? tergantung kualitas pemilih kali ini. Orang yang dengan sadar menerima uang panas dari seorang caleg pasti akan memilih caleg yang juga dengan sadar akan menerima uang panas dar i pihak lain. Begitulah, pemilih korup akan memilih politisi korup. Jika ada politisi busuk, itu karena ada pemilih busuk. Siapakah pemilih busuk itu? bisa siapa saja, asalkan bukan kita, karena kita adalah seorang muslim.

Seorang muslim akan memilih sesama muslim sebagai pemimpin, karena ia telah tunduk dan patuh pada ajaran Allah dan Rosul-Nya. Adakah seorang muslim yang rela dipimpin oleh non muslim? Bagi muslim, tidak ada perbedaan antara pemimpin negara dan pemimpin agama, pemimpin dunia dan pemimpin akhirat. Pemimpinn yang dibutuhkannya adalah pemimpin yang membimbing bagaimana bisa hidup didunia dengan baik agar bisa hidup diakhirat dengan baik pula. Pemimpin seperti itu hanya bisa dipenuhi oleh seorang muslim.

Ah, pertanyaan ini menggoda lagi, bagaimanakah membedakan antara pemimpin yang benar-benar muslim dan pemimpin yang mengaku muslim? Baiklah, barangkali kisah berikut ini bisa membantu menjawab,

Seorang sultan mengadakan perlombaan antara seniman Yunani dan Cina untuk menentukan siapa yang lebih baik. Keduanya diberikan sebuah ruangan untuk memperlihatkan bakatnya. Kedua ruangan itu berhadapan, pintunya terbuka. Orang cina mengambil salah satu, orang Yunani mengambil satunya lagi. Orang Cina meminta ratusan cat. Orang Yunani tidak meminta apa-apa karena telah berencana akan membersihkan dinding dari karat. Keduanya menutup pintu dan bekerja dengan rajin.

Setelah merampungkan pekerjaannya, orang Cina mulai memukul genderang gembira. Sang sultan dayang dan melihat lukisan mereka. Begitu melihatnya, ia tergetar oleh keindahan dan kemegahan seni itu. Lalu, ia pindah ke ruangan yang memamerkan keahlian orang Yunani. Orang Yunani menyingkapkan tirai sehingga pantulan lukisan orang Cina meneganai dinding yang telah dibersihkannya dari karat, sehingga dinding memantulkan karya orang cina. Apa yang dilihat sultan diruangan Cina tampak lebih indah di sini karena alih-alih mencoba meniru pekerjaan Pencipta, orang Yunani dapat memantulkan karya-Nya. Mata sultan sangat terkagum-kagum.

Dari kisah diatas, dan mengingat hati seseorang bagaikan cermin, saya menyimpulkannya begini,
Hanya dengan terus menerus memperbaiki diri kita bisa membedakan hal-hal baik dan hal-hal buruk.
Hanya dengan sungguh-sungguh menjadi muslim kita bisa membedakan antara muslim asli dan muslim palsu.
Nah, bagaimana dengan kesimpulan anda?

Kamis, 26 Maret 2009

Berhenti Sejenak...

Seandainya bisa, saya ingin mendatangi anda satu persatu, menjabat tangan anda sambil berkata, terima kasih terima kasih terima kasih telah menemani perjalanan MENJADI MUSLIM APA ADANYA sampai sejauh ini, dan kini kita telah menemukan identitas kita sebagai HAMBA ALLAH sekaligus juga WAKIL ALLAH, lalu selanjutnya apa?

Saya teringat pesan Bapak Syailendra Yunus, seorang penyembuh HOLISTICA di Yogyakarta, beliau bilang begini kira-kira, menerima amanat bukan berarti menjadi amanah...

Maka, menemukan diri sebagai HAMBA ALLAH bukan berarti telah benar-benar menjadi HAMBA ALLAH apalagi menjadi WAKILNYA...

Saya ingin mengajak anda berhenti sejenak...disini...merenun
gkan pertanyaan itu, dan jawaban anda boleh jadi akan memberi arah kemana kita melangkah selanjutnya...sampai akhirnya kita menemukan diri kita sebagai MUSLIM APA ADANYA...

SAMPAI DIMANA KITA?

Allah swt berfirman: "Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya mereka itu amat zalim dan amat bodoh." (QS. 33:72)

Laleh bahtiar, Presiden Institute for Traditional Psychoethics an Guidance, memahami ayat tersebut dengan membagi amanat itu menjadi 3 hubungan: antara diri manusia dan pengungkapan Diri Allah (teoetika), antara manusia dengan dirinya sendiri (psikoetika), dan antara diri dan seluruh alam, termasuk sesama manusia (sosioetika). Kita meringkasnya menjadi amanat sebagai hamba Allah dan Wakil-Nya.

Apakah amanat itu telah ditunaikan? Ujung ayat diatas memberi isyarat bahwa manusia telah berkhianat dengan berlaku zholim dan bertindak bodoh. Buktinya, penguasaan bumi tidak dianggap sebagai amanah, sehingga yang terjadi adalah eksploitasi habis-habisan untuk kepentingan sesaat dan golongan. Atau lihat saja diri kita sendiri? Sudahkan kita mensejahterakan diri kita sendiri? Lalu membuat orang lain sejahtera? Lihat keadaan keluarga kita, saudara, kerabat, teman, tetangga, apakah mereka telah hidup sejahtera? Mengapa belum? Padahal kita telah mengaku muslim, mayoritas penduduk negeri ini juga adalah muslim. Apakah kita ini adalah muslim yang berkhianat? Apakah kita telah menemukan diri sebagai hamba Allah dan Wakil-Nya yang berkhianat?

Kalau begitu, pantaslah kita selalu terpinggirkan, tercabut harga diri dan kehormatan. Lalu dimanakah kita bisa menyuarakan dengan lantang, isy kariiman aw mut syahiidan, hidup mulia atau mati syahid? Bagaimanakah kita memulai jihad? Bagaimanakah kita mewujudkan khilafah yang diyakini mampu memberikan kesejahteraan untuk semua? Bagaimanakah kita bisa menjadi wakil-Nya jika amanat penghambaan ini kita khianati?

Kalau begitu, pantaslah Allah mengazab bangsa yang mayoritas penduduknya adalah orang-orang munafik dan orang-orang musyrik (QS, 33:73). Menjadi munafik karena lebih banyak mengaku daripada berbuat memberi bukti. Mengaku benci pada kekerasan dengan menampilkan kekerasan lainnya. Mengaku benci caci maki dengan mengeluarkan caci maki lainnya. Mengaku rindu bersatu dalam jamaah dengan mengokohkan fanatisme kelompok. Dan menjadi musryik karena telah menghadirkan begitu banyak Tuhan pada kata-kata, atribut, ide, simbol, seragam, dll.

Kalau begitu, pantaslah kita menangis dengan airmata penyesalan Adam as, rabbana dzolamna anfussana waillam taghfirlana watarhamna lanakunna minal khoosyirin, atau meratap dengan ratapan Yunus as, laa ilaha illa anta subhanaka inni kuntu minazhholimin, semoga Allah mengampuni dan merahmati kita, amin.

Sabtu, 21 Maret 2009

Memasuki Permainan...

Setiap malam kamis, saya menyelenggarakan pengajian karyawan, dimulai dengan sholat Maghrib berjamaah dan ditutup dengan sholat Isya berjamaah. Hanya sebentar, tapi saya berharap keberkahan sholat berjamaah akan memberikan kesan-kesan pengajian yang berbekas pada aktifitas kerja sehari-hari.

Malam kamis itu, kami berkumpul duduk melingkar untuk menghilangkan kesan perbedaan status antara pimpinan dan karyawan, dan yang lebih penting lagi, menghilangkan jarak antara guru dan murid. "Di pengajian ini tidak ada guru dan tidak murid, semuanya bisa menjadi guru dan sekaligus juga bisa menjadi murid. Kita berbicara dan kita juga mendengarkan, malah kalau bisa usahakan lebih banyak mendengar agar kita bisa lebih banyak menerima. Berbicara hanyalah sekedar menguji batas pengetahuan yang bisa saja salah, lalu kita menjadi terbuka untuk mendengarkan masukan-masukan." Demikian saya sampaikan cara mengaji kepada mereka.

Sesungguhnya pengajian ini digelar bukan untuk mereka saja, tetapi untuk saya juga. Saya ingin menyampaikan kepada mereka tentang realitas kehidupan: dari mana, mengapa, bagaimana, untuk apa dan mau kemana. di samping itu, saya juga ingin mendapatkan dari mereka, karena bukan hanya saya yang telah bergumul dengan kehidupan, mereka juga. Saya berharap, pengajian ini akan melahirkan gagasan kehidupan dari perkawinan dua gagasan, yaitu gagasan kehidupan yang sedang saya rasakan dan gagasan kehidupan yang terpendam yang ingin saya bangkitkan dari mereka. Maka, tujuan pengajian ini adalah untuk menemukan. Bukan saya atau mereka yang menemukan, tetapi kami secara bersama-sama yang telah menemukan, sehingga kami bisa berkata, inilah kebenaran yang kami dapatkan, lalu kenapa kami enggan menerapkannya?

Malam kamis itu, kami berbicara tentang film, sinetron, dan sandiwara, yang begitu manarik perhatian untuk terus ditonton. kadang kita ikut hanyut terbawa aliran cerita. Kita ikut semangat, bersedih, dan emosi kita larut bersama emosi para pemain film itu. Padahal, film itu cuma cerita imajinasi, cuma pembagian peran yang disengaja. Di film, mereka yang kaya tidak benar-benar kaya, mereka yang miskin juga tidak benar-benar miskin. Mereka yang berperan sebagai orang baik atau orang hebat, pada kenyataannya tidak sebaik atau sehebat itu. begitu juga dengan peran jahat, kenyataannya mereka tidak sejahat itu.

"Itu karena mereka memainkan peran dengan sungguh-sungguh. Kalau mereka tidak sungguh-sungguh berperan, film tidak akan menarik ditonton, boleh jadi mereka pun akan dipecat sebagai pemain." Saya bilang begitu, dan saya lempar pertanyaan,"mengapa mereka mau dan bisa berperan dengan sungguh-sungguh?"

Beragam jawaban muncul: mereka dibayar, diberi imbalan. Mereka sudah tahu jalan ceritanya sudah baca skenarionya. Ada sutradara yang mengarahkan. Sudah melalui proses editing, acting yang jelek dibuang dan diambil yang bagus.

"Nah, hidup ini juga film seperti itu. Ada banyak peran yang dimainkan dalam hidup ini. Apa peran kita? Sudahkah kita sungguh-sungguh memainkan peran itu? Mengapa tidak sungguh-sungguh berperan? Atau malah kita belum tahu peran kita sebenarnya? Mengapa film kehidupan kita ini jadinya tidak menarik? padahal kita juga diberikan imbalan, diberikan skenario, ada sutradara yang mengarahkan, diberi kesempatan mengedit acting kehidupan kita sendiri. Seperti lazimnya setiap permainan, kita harus bermain dengan sungguh-sungguh, kalau sekedar main-main kita akan kalah, jeleknya kita akan dikeluarkan dari permainan dan akan digantikan dengan pemain lainnya. Hidup ini juga permainan, jadi bermainlah dengan sungguh-sungguh, jangan main-main.

Allah swt menyifati dunia sebagai permainan. Dan kita telah memasuki arena permainan ini, maka harus kita menangkan. Bagaimana caranya? Begini, Pertama, kita harus bertanya dengan jujur kepada diri kita sendiri, seandainya kita telah memainkan peran kehidupan ini dengan sungguh-sungguh, imbalan apa yang kita inginkan? Mereka, para pemain itu, mengetahui dengan pasti berapa besar bayaran mereka sehingga mereka sungguh-sungguh bermain dan bertekad memenangkan permainan atau membat permainan mejadi menarik dilihat. Nah, imbalan apa yang kita inginkan? Biarlah imbalan itu menjadi motivasi dari kesungguhan-kesungguhan yang kita persembahkan."

Pertanyaan itu mengetuk satu demi satu pintu hati para peserta pengajian. Ada yang berkata: saya ingin mendapatkan kesenangan. Apapun yang saya lakukan, hasilnya harus dapat membuat saya senang. Yang lain berkata: saya ingin terus mendapatkan hidayah dan rahmat-Nya. Saya ingin menggapai cita-cita. Saya ingin tetap hidup dalam kenangan orang lain sebagai orang baik. Saya ingin doa-doa saya dikabulkan. Saya ingin selalu diberikan kecukupan. Saya ingin... apapun itu, biarlah menjadi pamrih awal yang mendorong setiap perbuatan. Siapakah yang berbuat tanpa pamrih? Apapun pamrih yang muncul, itu pasti berasal dari kebutuhan dan pengetahuan yang berbeda-beda. Bentuk pamrih akan berkembang seiring dengan berkembangnya kebutuhan dan pengetahuan. Persoalan penting sekarang adalah mereka telah mengetahui apa yang akan mereka peroleh jika mereka berhasil memahami peran kehidupan mereka dan memainkannya dengan sungguh-sungguh.

Perjalanan menemukan identitas diri telah dimulai. Awali dengan Bismillahirrahmannirrahim karena kita membutuhkan hidayah-Nya, rahmat-Nya, kebersamaan-Nya, pengawasan-Nya, kedermawanan-Nya dan segala-galanya dari Dia, yaitu Tuhan yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Karena Dia dengan kasih sayang-Nya mengetahui ketidakberdayaan kita dan mengetahui kebutuhan kita. Maka kalimat Bismillahirrahmannirrahim menjadi mantra pemusnah kesombongan, sifat egois, dan sifat sok tahu.

Selasa, 17 Maret 2009

Menghamba dengan tulus, Menjadi Manusia Ilahi, Wujudkan Khilafah

Seorang muslim yang melakukan ziarah terus menerus kedalam dirinya akan mendapati sebuah fakta bahwa ia adalah HAMBA ALLAH dengan kewajiban mengabdi semurni-murninya sekaligus juga, pada waktu yang sama, ia adalah WAKIL ALLAH dengan kewajiban mengurusi kesejahteraan kehidupan bumi.

Menjadi HAMBA ALLAH menarik kita memasuki ruang sunyi kehidupan. Yang dilakukannya adalah berdiam diri dalam situasi dan kondisi yang hening. Ia khusuk menghamba, merendahkan diri, menjadi tak berdaya, tunduk dalam kuasa dan kehendak-Nya, lenyap dalam keesaan-Nya. Ia tak menyisakan sesuatu sedikitpun dari dirinya, olehnya dan untuknya. Ia mengharap jika diperkenankan, meminta jika dikehendaki, mengada karena diadakan, memiliki karena diberi. Perkataannya semata adalah la haula wa laa quwwata illa billah, tidak ada daya dan upaya kecuali dari Allah, bersama Allah, dan oleh Allah.

Dan menjadi WAKIL ALLAH membawa kita pada keramaian kata, hiruk-pikuk kebutuhan, lantas ia tidak menjadi terasing dari lingkungannya. Yang dilakukannya adalah terus berfikir, terus bergerak, dan terus bergumul dengan realitas kehidupan. Ia mengada dengan segenap potensi dan memberdayakan segala sumber potensi baik internal maupun eksternal. Aktifitas hariannya adalah: menatap, memperhatikan, melindungi, mencurahkan, mengatasi, mengurusi, memberi, dan membimbing dirinya dan sesamanya. Ia laksana mata air yang senantiasa menyemburkan air segar, menyegarkan dan menghidupkan sekitar.

Sebagai HAMBA ALLAH seorang muslim terus menatapi langit dengan mewujudkan semua sifat-sifat penghambaan agar ia mendapatkan perhatian dan pengurusan dari yang Maha Mengurusi. Pada saat itu juga ia tetap menapaki bumi sebagai WAKIL ALLAH dengan menjelmakan semua sifat-sifat ketuhanan, menjadi manusia ilahi (pinjam istilah Murtadha Muthahari) lalu mengurusi dirinya dan sesamanya.

Seorang muslim menampakkan penghambaannya melalui tindak perbuatan jasmaninya. Sifat penghambaannya muncul saat ia bertindak. Tidak ada yang mengetahui kepada siapa seorang muslim menghamba kecuali setelah melihat tingkah laku hariannya. Penghambaannya kepada yang Maha Lembut (Al-Lathif) muncul dalam caranya berhubungan dengan orang lain. Penghambaannya kepada Allah muncul dalam caranya menjelmakan sifat-sifat Allah. Pada saat itulah fungsi hamba dapat mengukuhkan fungsi wakil. Dengan kata lain, tidak bisa ia menjadi WAKIL ALLAH sebelum ia benar-benar menghamba kepada-Nya.

Sampai disini kita memahami bahwa kekhalifahan kita adalah menjadi HAMBA ALLAH sekaligus juga menjadi WAKIL ALLAH pada tempat dan waktu yang sama. Dan kekhalifahan itu bisa diwujudkan melalui penghambaan yang sungguh-sungguh kepada-Nya dan tak menyekutukan-Nya dengan apa pun (QS. 24:55)

-----------
Sumber bacaan:
1. Laleh Bakhtiar, Meneladani Akhlak Allah Melalui Al-Asma Al-Husna, penerjemah: Femmy Syahrani, Mizan: 2002, Cet.1
2. Murtadha Muthahari, Kumpulan Artikel Pilihan, penerjemah: M.J. Bafaqih, Lentera: 2003, Cet.1

Minggu, 15 Maret 2009

Mengapa Harus Cemburu ?

"Cemburu ya?" tanyanya sambil senyum-senyum.
"Ngga." aku jawab datar.
"iih...masa sih ga cemburu? itu namanya ga cinta." katanya agak kesal.

Gantian, sekarang aku yang senyum-senyum. Inilah saatnya: "Nda sayang..." aku hadapkan seluruh tubuhku kepadanya. Seperti biasa, aku ingin sharing sesuatu dan inilah momentnya. Pancing telah bergerak-gerak, umpan telah tersambar. Aku mulai berkata-kata selembut mungkin,

"Justru karena Aa mencintai Nda dengan teramat sangat, dengan semangat cinta memberi, bukan meminta. Dengan semangat cinta membebaskan bukan mengikat. Cemburu itu hanya untuk orang-orang yang meminta. Mereka gembira ketika terpenuhi tetapi marah ketika terabaikan. Mereka ingin mengikat segala pemberian terarah hanya kepada mereka, bukan kepada yang lain. Mereka merasa memiliki, oleh karenanya mereka takut sekali kehilangan. Pada saat merasa terabaikan, takut kehilangan, keinginan tak terpenuhi, cemburu datang menguasai. Lain halnya dengan mereka yang ingin memberi tanpa berharap terima kasih, bahkan tanpa berharap penerimaan sekalipun. Keinginan mereka hanya memberi, itu saja. Mereka telah terpenuhi, berkelebihan, oleh karenanya mereka ingin berbagi. Persoalan apakah orang yang diberi mau menerima atau tidak, tidak menjadi persoalan penting. Pemberian semacam itu adalah pemberian yang tidak mengikat atau memaksa. Pemberian yang membebaskan penerimanya untuk menerima atau tidak. Nah, cinta dengan semangat memberi seperti itu tidak perlu cemburu.

"Aa tidak takut kehilangan Nda?" tanyanya, menyelidiki.

"Bukan begitu Nda sayang. Aa merasa telah mendapatkan cinta yang begitu berkelebihan, meluap-luap, rasanya cinta itu ingin tumpah dan mengalir kemana saja. Dan Aa telah memilih Nda untuk berbagi. Maka kemarilah, tetap disini, tenggelam bersama dalam samudera cinta. Tapi jika Nda merasa cinta ini tak cukup memuaskan dahaga, kenapa Aa harus menahan. Bolehkah kita harus memaksa orang menerima pemberian? kalau pemberian itu tidak sesuai untuknya dan dia menolak menerima, apakah harus dipaksa?"

"Aa hanya ingin mencintai Nda dengan sepenuh cinta yang Aa punya tanpa ingin memaksa Nda menikmati cinta itu atau tidak. Apakah Nda merasakan ada cinta lain yang lebih indah?

Dia tidak menjawab, hanya merapatkan tubuhnya kepadaku. Tanganku pun menyambutnya kedalam pelukan. Sesaat suasana menjadi hening, menghadirkan bahasa cinta sesungguhnya.

"A.." tatapan matanya memanggil, menyampaikan kejujuran tanya, "Cinta Aa hanya untuk Nda kan?" Aku balas menatapnya, menyampaikan kejujuran jawab, melebihi dari sekedar berkata-kata. Sebuah pertanyaan rumit yang tak kuasa bibir ini menjawabnya. Aku hanya bisa menjawabnya dengan kecupan dalam di keningnya seraya berdoa, "ya Allah, biarkan aku mencintainya sepanjang hidupku."

Ya, semoga dia mengerti maksudnya. Semoga dia menangkap pesannya.

Cinta begitu luas untuk dicapai tepi-tepinya dan begitu dalam untuk dijangku dasarnya. Apakah yang bisa kukatakan kepadanya? Cinta ini dari-Nya dan tetap menjadi milik-Nya. Cinta-Nya telah datang menyapa hingga membuatku ingin tersenyum kepada semuanya, menyapa semuanya, dan mencintai semuanya. Jiwaku telah menikmati cinta-Nya hingga ingin sekali kucium semesta, kupeluk semesta. Cukuplah untukmu, istriku sayang, bibir yang selalu mengecupmu, tangan yang selalu melingkari tubuhmu, dan sebuah doa untukmu: Ya Allah, biarkan aku mencintainya sepanjang hidupku ini, hidupku disini dan hidupku disana nanti, amin.

Mengapa Kita Pantas Menjadi Wakil Tuhan? (2)

Hal kedua yang membuat manusia menjadi istimewa adalah Allah meniupkan ruh ke dalam diri manusia dari ruh-Nya sendiri. Allah swt berfirman: "Dan ingatlah, ketika Tuhanmu bergirman kepada para malaikat, "sesungguhnya aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering yang berasal dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya dan telah meniupkan di dalamnya ruh-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud." (QS. 15:28-29).

Bagian ini menarik dan penting dibicarakan. Manusia dalam pandangan Aristoteles adalah zoon logon echon, maksudnya: makhluk yang memiliki ruh, tetapi bukan makhluk rohani murni. Manusia memiliki jasmani yang membungkus kerohaniannya. Jadi, manusia adalah makhluk rohani-jasmani. Jadi sebenarnya, dalam diri manusia yang satu terdapat dua manusia, yaitu manusia rohani dan manusia jasmani.

Keduanya, yaitu manusia rohani dan manusia jasmani atau bisa juga disebut manusia spiritual dan manusia material berada didalam satu diri, yaitu manusia. Kita tidak bisa hanya mementingkan sisi material yang ada dalam diri kita, yang karenanya kita terus menjadi material oriented. Atau sebaliknya, kita juga tidak bisa mengabaikan sisi jasmani, sehingga kita hanya selalu berhubungan dengan dunia rohani dengan berperilaku asketisme.

Melalui pengetahuan, manusia mempunyai jalan untuk berhubungan dengan alam semesta, termasuk dengan sesama manusia di dalamnya. Dan dengan adanya ruh, manusia mempunyai jalan untuk berhubungan dengan Tuhan. Dengan memahami kedua potensi istimewa tersebut, kita dapat menerima alasan mengapa manusia terpilih sebagai pemelihara, pengatur dan bertanggung jawab atas segala urusan-urusan bumi.

Berkaitan dengan upaya mengenal diri, kini dapatlah kita menjawab pertanyaan-pertanyaan yang pernah kita ajukan, yaitu tentang siapa kita, mengapa kita ada di bumi.

Begini,
Kita adalah makhluk yang diciptakan Tuhan dengan beberapa keistimewaan yang tidak dimiliki oleh makhluk lainnya. Dengan keistimewaan itu, kita diberi amanat mengatur peradaban bumi, menjaga keseimbangan hidup, dan menyelesaikan problem-problem kemanusiaan.

Allah menciptakan setiap orang sebagai penanggung jawab bumi dalam batas dan ruang lingkupnya masing-masing. Tidak bisa setiap orang menjadi penguasa, tapi setiap orang bisa ikut bertanggung jawab dalam pengelolaan bumi sesuai dengan perannya masing-masing. Rosul saw bersabda: Setiap orang adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungan-jawab atas kepemimpinannya. Karena itu, setiap orang mempunyai peran untuk ikut andil mengatasi problema-problema kemanusiaan. Paling tidak, menagtasi problema kemanusiaannya sendiri. Dan untuk itu semua, setiap orang akan dimintai pertanggung-jawaban atas perannya masing-masing. Allah berfirman: Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya kami menciptakan kamu secara main-main saja, dan bahwa kamu tidak dikembalikan kepada Kami?" (QS. 23:115). "Tidaklah Engkau menciptakan semuanya dengan sia-sia." (QS. 3:191).

Berat! memang. Bahkan setiap makhluk menolak amanat ini. Mereka khawatir akan berkhianat (QS. 33:72) Dan kita, manusia, menerimanya. Sudahkah kita menunaikan amanat itu Pertanyaan lebih tepatnya: Sudahkah kita menjadi khalifah-Nya? Sudahkah kita menjadi wakil-Nya dalam menyelesaikan segala macam permasalahan bumi ini? Pada kenyataannya, kita masih melihat banyak orang kelaparan, menderita sakit tak terobati, terjerat hutang tak ada habisnya, kemiskinan, kebodohan , dan problem kemanusiaan lainnya.

Apakah ada yang salah? jelas ada yang salah. Berita tentang kekhalifahan langsung kita terima dari teks yang kita yakini asli dari Tuhan dan kita yakini pula suci dari kesalahan dan kebohongan. Dari teks tersebut kita memperoleh janji: "Dan Allah telah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dikalanganmu dan orang-orang yang melakukan kebaikan bahwa Dia akan benar-benar mengangkat mereka sebagai khalifah di bumi, seperti sebelumnya Dia pernah mengangkat khalifah, dan bahwa Dia benar-benar akan memantapkan agama mereka yang telah diridhoi-Nya untuk mereka dan bahwa Dia benar-benar akan mengganti ketakutan mereka sebelumnya dengan ketenangan....." (QS. 24:55)

Demikian janji Allah. Dengan adanya penanggung jawab bumisegala permasalahan bumi dan segala problema kemanusiaan seharusnya terselesaikan. Tapi itu dapat terwujud setelah kita memenuhi persyaratan yang diajukan-Nya dalam lanjutan ayat diatas, yaitu:"...hendaknya mereka tetap mengabdi kepada-Ku dan tidak menyekutukan Aku dengan apa pun."

Kedua syarat yang diajukan Tuhan, yaitu: (1) tetap mengabdi kepada-Nya, dan (2) tidak menyekutukan-Nya dengan apapun, mau tidak mau harus dipenuhi agar kita mendapatkan kesuksesan sebagai pengelola bumi.

Rabu, 11 Maret 2009

Jika Saya Seorang Caleg (1)

Ini tentang imajinasi saya, senadainya saya seorang caleg. Seperti para caleg lainnya, tentu saya juga kampanye. Untuk itu saya pasang baliho besar-besar, sebar stiker banyak-banyak, kontrak stasiun TV dan radio sering-sering, belanja iklan media cetak berlembar-lembar (ehm..apa lagi ya?) Di semua media iklan itu, saya tidak menyerukan orang memilih saya. Saya tidak katakan: mohon doa dan contrengannya, pilihlah saya, dsb. Sebab saya percaya bahwa tidak boleh memberian kekuasaan/jabatan/amanat kepada yang memintanya, karena disitu ada nafsu, dan sepanjang sejarah kehidupan nafsu selalu saja bad ending. Di media iklan itu saya ingin mengajak orang-orang mampir ke sutris.blogspot.com atau ke akaun facebook/sutrisno supaya meraka kenal saya melalui ide-ide yang saya tuliskan. Jika saya tidak terpilih, cukuplah ide-ide saya telah tersampaikan dan pada saat itu saya telah berhasil sebagai penyampai kebajikan. Apakah mereka setuju atau tidak dengan ide-ide saya itu, tidak jadi persoalan serius bagi saya. Tugas saya hanya menyampaikan.

Dengan menjadicaleg, saya hanya ingin ambil kesempatan lebih luas supaya saya bisa bicara lebih banyak tentang, salah satunya, perlunya memilih pemimpin yang baik. Saya percaya, pemimpin yang baik itu adalah:

1) seorang muslim. Bagi saya, muslim itu harus apa adanya sebagaimana konsep dan tujuan penciptaan, bukan muslim kira-kira, muslim prasangka, atau muslim ide. Nah, untuk mengetahui lebih jauh tentang muslim apa adanya, anda perlu bergabung di grup muslim apa adanya (klik lagi deh facebook/sutrisno).

2) hobi menulis. Bukan sekedar menulis, tetapi menulis sebagai bentuk perumusan diri. dengan menulis, seolah-olah kita ingin bilang: itulah saya, tau paling tidak: saya ingin seperti itu. Kita mengenal seseorang dari tulisan yang tidak hanya satu atau dua buah bukan? Kalau hanya bicara, banyak orang hobi bicara apa saja karena sudah itu menguap tanpa bekas. Saya suka dengan pemimpin yang pidato membaca teks. Tapi teks yang ditulisnya sendiri. Karena disitu ia telah melalui suatu pergumulan hebat antara potensi baik dan potensi buruk dalam dirinya. Pokoknya, pemimpin yang baik adalah yang hobi menulis, bukan hobi menyanyi atau mendongeng.

3)punya website/blog/beranda facebook. Nah, kalau ini tidak usah dijelaskan lagi, semua sudah paham kan? Itu adalah ruag tamu yang terbuka untuk siapa saja. Pemimpin yang baik pasti mau membuka diri dan kehidupannya secara jujur dan terbuka, karena dirinya adalah bukan miliknya lagi, tetapi sudah menjadi milik orang yang telah memilihnya.

Jadi, kalau anda memilih saya, diucapkan terima kasih banyak, kalau tidak, pilihlah orang baik sebab anda adalah orang baik. Saya percaya, orang baik akan dipimpin oleh orang baik pula. Perlu anda ingat, jika kehidupan bangsa ini bertambah baik, andalah penyebabnya, dan jika bertambah buruk, anda pula penyebabnya.

Bagi saya, menjadi caleg adalah awal prjuangan, dan harus dimulai dari sini, sekarang, meski baru jadi caleg, bukan nanti kalau terpilih. Perjuangan tidak perlu syarat. Kalau ingin memperbaiki bangsa ini ya dimulai saat ini, bukan nanti kalau terpilih.

Saya percaya, kalau bangsa ini akan menjadi baik bila dipimpin oleh orang-orang baik. Siapakah mereka itu? Nah, hanya orang baik yang dapat mengenali orang baik. Hanya orang baik yang ingin dipimpin oleh orang baik pula.

Ah, barangkali selama ini kita telah salah memilih. Dikiranya orang itu baik hingga layak dipilih, tapi ternyata? begitu mengecewakan. Mengapa kita bisa salah memilih? Mengapa kita tidak bisa melihat dengan benar, apakah orang itu benar-benr baik atau berpura-pura baik? Apakah karena kita juga berpura-pura dan mengaku baik? pas kalau begitu! kepura-puraan bertemu dengan kepura-puraan. akhirnya bangsa ini sesak dengan orang yang suka berpura-pura, suka mengaku-ngaku, munafik! Lihat saja sila pertama, ketuhanan YME, tapi pada prakteknya, sila-sila itu juga yang dijadikan sebagai Tuhan.

Kalau sudah begitu, yuk kita ikhlaskan saja bangsa ini menjadi bangsa pura-pura, karena pemimpin dan rakyatnya suka berpura-pura, suka mengaku-ngaku.

Bangsa ini belum sejahtera? jangan salahkan pemimpim, salah kita sendiri, karena kitalah mereka jadi pemimpin. Kita yang dulu memilih mereka atau kita yang dulu membiarkan mereka terpilih dengan menjadi golput. Bukankah pilihan menunjukkan kualitas sang pemilih?

Nah, saat ini adalah saat kita memulai kembali dengan benar. Pilihlah orang baik sebagai pemimpi. UNtuk dapat mengenali manakah pemimpin yang baik, kita harus menjadi baik terlebih dahulu. Jadi, kebaikan dimulai dari sini, dari diri kita sendiri. Bersihkan hati, maka kita kan mampu melihat tembus melampaui segala macam atribut, simbol dan kata-kata. Bersihkan hati maka kita tidak akan kecewa.

Hal-hal seperti itulah yang sedang saya perjuangkan. Untuk itu saya rela menghabiskan banyak uang, waktu dan tenaga. Seandainya saya tidak terpilih, uang waktu dan tenaga yang telah tercurahkan tetap tidak akan sia-sia. Saya berharap, perjuangan saya ini akan membuat orang lain ikut berjuang pula, menjadi baik untuk dapat memilih yang baik.

.....bersambung aja ya....

Selasa, 10 Maret 2009

Mengapa kita pantas menjadi Wakil Tuhan? (1)

Ada dua hal yang membuat manusia menjadi istimewa dari makhluk lainnya, yaitu:pertama, Allah mengajarkan kepada manusia pengetahuan tentang seluruh nama-nama. Manusia ketika itu adalah Nabi Adam as. Yang perlu dipahami disini adalah: bila kita menyebut nama Adam, maka berarti yang dimaksudkan adalah Adam sebagai manusia yang juga mewakili kemanusiaan kita, bukan Adam sebagai pribadi tersendiri yang berbeda dengan manusia lainnya.

Kepantasan Adam sebagai khalifah antara lain adalah karena ia beroleh pengetahuan tentang nama-nama seluruhnya. Malaikat tidak beroleh nama-nama kecuali yang diajarkan Allah kepada mereka. Oleh karena itu, Malaikat tidak mengetahui perbuatan selain perbuatan-perbuatan baik, seperti memuji dan bertasbih. Begitu juuga dengan setan, amal perbuatannya berseberangan dengan malaikat. Sedangkan manusia mengenal nama-nama , baik yang positif (nama-nama yang dikenal Malaikat) maupun negatif (nama-nama yang dikenal setan). Dengan mengetahui seluruh nama-nama itu, manusia mengenal perbuatan-perbuatan malaikat dan perbuatan-perbuatan setan.

Dengan pengetahuan tersebut, manusia mempunyai dasar kemampuan untuk menjaga keharmonisan alam semesta. Alam semsta dibangun dengan struktur yang berpasangan. Manusia mengerti bagaimana memahami struktur yangberpasangan itu. Manusia mengerti bagaimana harus memperlakukan siang dan malamyang datang silih berganti. Manusia mengerti bagaimana harus menyikapi kondisi baik-buruk atau hitam-putih kehidupan.

Dibumi, manusia menghadapi situasi dan kondisi kehidupan yang selalu berpasangan, seperti: suka-duka, manis-pahit dsb. Tanpa pengetahuan nama-nama seluruhnya, manusia akan kebingunan dengan situasi yang kadang senang dan kadang susah. Manusia belajar tentang hal-hal baik tapi tak jarang dia melihat kenyataan yang buruk. Untuk itu manusia beroleh pengetahuan nama-nama yang lengkap mencakup semua pasangan-pasangan itu.

Malaikat hanya beroleh sebagian nama-nama, begitupula dengan setan. Karenanya mereka hanya memandang baik diri mereka sendiri, selainnya tidak sebaik mereka. Setan berkata: aku lebih baik daripadanya. Dan Malaikat berkata: aku selalu bertasbih dengan memuji-Mu sedangkan mereka selalu menumpahkan darah dan berbuat kerusakan. Allah swt berfirman: sesungguhnya Aku lebih mengetahui apa yang tidak kamu ketahui. Allah telah mengajarkan manusia pengetahuan yang lengkap menyeluruh.

Nah, tugas kekhalifahan menuntut pengetahyan yang lengkap, maka Adam as diberikan pengetahuan selengkap-lengkapnya, dan pengetahuan yang menjadi dasar bagi berkembangnya pengatuan lainnya adalah pengetahuan tentang nama-nama.

Senin, 09 Maret 2009

Kenali Dirimu!

Pada saat kita mengenali diri sebagai muslim, kita mendapati tugas penciptaan, yaitu: sebagai hamba Tuhan dan sekaligus juga sebagai wakil Tuhan. Tidak ada masalah saat menjadi hamba Tuhan, karena yang ada hanyalah hening dalam kesendirian menikmati rahmat Tuhan yang begitu meliputi. Kita menjadi asyik dalam mihrab kita sendiri. Tapi, saat menjadi wakil Tuhan, kita mendapati begitu banyak masalah yang menanti penyelesaian. Saat itu, kita tidak sendiri, tapi ada di tengah orang-orang banyak. Bersama mereka, kita mendapati begitu banyak kebutuhan, keinginan dan kepentingan yang menuntut dipenuhi. Di tengah-tengah mereka, dimana kita ? siapa kita ? Apa peran kita ? Nah, saat itulah kita membutuhkan pengetahuan tentang diri kita sendiri.

Perkenalkan nama saya Sutrisno, lahir di Jakarta, berdomisili di Jl………, begitu ? Bukan, itu mah mengenal isi KTP. Mengenal diri sendiri bukan berarti mengenal isi KTP. Meskipun itu juga penting untuk urusan-urusan administrasi supaya tidak terkena razia yustisi.

Untuk hidup dan bergaul dalam kehidupan ini, tidak cukup hanya bermodalkan KTP dan hafal isinya. Buktinya, masih banyak orang bingung hidup ini buat apa ? Mau kemana ? Apa yang paling penting dalam hidup ini ? Kenapa ada orang yang sangat mencintai hidupnya atau sangat membencinya atau juga tidak peduli dengannya ?

Nah, mengenal diri berarti menemukan jawaban-jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tentang eksistensi diri, seperti : adakah aku ? Kalau ada, darimana dan mau kemana aku ? Itu berarti, mengenal diri adalah upaya melihat jauh ke dalam diri sendiri, diri sebagai manusia. Manusia yang bukan seorang manusia di satu tempat dengan identitas dan warna kulit tertentu, melainkan diri sebagai manusia secara universal, menyeluruh.

Mengenal diri berarti juga mengenal hakikat diri kemanusiaannya, maksud dan tujuan penciptaannya, menemukan di mana posisinya di antara makhluk-makhluk ciptaan Tuhan lainnya yang bukan manusia.

Siapakah kita ? Dia antara makhluk Tuhan yang tersebar di alam semesta ini, kita adalah manusia, makhluk yang yang diciptakan untuk mengurusi bumi, kita adalah penanggung jawab bumi.

Ingatlah ketika Tuhan berkata kepada para Malaikat :

Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang Khalifah di muka Bumi,”Mereka bertanya : mengapa Engkau hendak menjadikan seorang Khalifah di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau ?” Tuhan berfirman : “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. 2:30)

Dan, Dia benar-benar telah menciptakan Adam dan menjadikannya khalifah di bumi. Khalifah di bumi bisa kita pahami sebagai penanggung jawab segala macam urusan yang ada di bumi, yaitu membangun peradaban, menjaga keseimbangan ekosistem lingkungan hidup dan mengatasi problem-problem kemanusiaan seperi kemiskinan, pendidikan, keadilan, kesetaraan dan sebagainya,

Saat itu, Malaikat menyangsikan kemampuan manusia. Bagaimana mungkin manusia mampu menjaga harmonisasi alam semesta, sementara mereka suka berbuat kerusakan dan saling menumpahkan darah sesama mereka ? Mereka berkelahi meskipun mereka tidak saling mengenal. Allah tidak menyangkal dan juga tidak membenarkan kesangsian para malaikat. Dia hanya berkata, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”

Ada apa sebenarnya? Allah memiliki makhluk-makhluk yang senantiasa bertasbih dengan memuji dan mensucikan-Nya, tapi Dia hendak menciptakan makhluk lain, dan malah, memberinya tugas besar, bahkan para malaikat diperintahkan bersujud kepadanya ? Ada apa ? Tentu ada karunia Allah yang membuat manusia berada dan menjadi istimewa dari pada yang lain-lainnya, dan karunia itu pasti istimewa.

Jumat, 06 Maret 2009

Bekerja Tanpa Hati

Perushaan tempat saya bekerja adalah perusahaan keluarga. Di dalamnya banyak orang terhubung sebagai keluarga. Dalam menyelesaikan masalah kerja, kadang digunakan SOP dan seringnya digunakan ertimbangan keluarga.

Suatu ketika, seorang staff kantor mogok kerja, ngambek. Hatinya sempat tersayat oleh kata-kata yang sempat terlontar oleh sang owner. hubungan keduanya adalah keponakan dan bibi. Dua hari staff kantor itu tidak masuk kerja. Terpaksa saya harus menghandle tugas-tugasnya, repot juga.

Di hari ketiga, staf kantor itu masuk, tetap dengan wajah cemberut tak rela. Sebagai pimpinan, adalah wajar jika saya mendatanginya dengan nasehat:
Sudahlah...makanya kalau kerja jangan gunakan hati.
Dia protes... Loh kerja itu kan harus sepenuh hati! (seperti moto BRI ya?)
Itulah, karena hati ikut kerja jadi ikut tergesek-gesek lalu sakit hatisudah itu matilah gairah kerja.

Tinggalkan hati di rumah, diruang penghambaan kepada Tuhan. Biarkan ia terus menatap-Nya tiada henti. kasihan kalau hati dibiarkan ikut tergesek-gesek oleh kesibukan dunia. Hati itu harusnya tetap diam, duduk, bersimpuh, menunduk khusuk dihadapan-Nya. Biarkan raga yang sibuk bergerak di tengah-tengah kepentingan dan kebutuhan orang banyak, tenggelam dalam lautan keringat, luka tergores kerikil-kerikil kehidupan. Biarkan raga menjadi lelah dan letih asalkan hati tetap tak terusik, nyaman dalam damai bersama-Nya.

Hati harus selalu berada diruang sunyi: tanpa kata, tanpa gerak, khusuk dihadapan-Nya. Sedangkan raga harus selalu berada di kerumunan banyak orang: memberi-menerima, menangis-tertawa. Imam Ali ra pun bekerja tanpa hati. Ia berhenti mengadili oleh karena hatinya telah terusik oleh sang terdakwa.

Raga sudah cukup menderita oleh pekerjaan dunia yang tiada habisnya. Apakah hati juga harus turut menderita? Mengapa kekacauan dunia ini seperti tak ada habis-habisnya? apakah karena hati ikut terlibat dalam kerumunan masalah? Banyak hati terluka menjadikan raga tiada berdaya. Apakah yang dapat dikerjakan raga yang sudah tak berdaya ? seperti kamu? hati tersakiti, raga ikut meratap, akhirnya pekerjaan terbelengkalai.

Setelah hari ini, stop gunakan hati ketika bekerja! cukup raga saja yang aktif kerja dengan segenap indera dan pikiran, tegas saya.

Hari-hari berikutnya, staff keuangan itu sering berkata: terserah mau kata apa, hatiku sudah pulang ke Sumatera! saya angkat jempol: Good!

----
Note:
Apa yang saya tulis diatas, sebenarnya khusus mereka yang mudah sekali sakit hati, seperti karyawan saya itu. Apabila hati anda sehat, bersih dan bening, tentu saja anda harus membiarkan diri anda bekerja dibawah bimbingan hati. Bukankah kita diajarkan untuk selalu meminta fatwa kepada hati kita sendiri (kalau fatwa MUI sudah banyak yang tidak cocok), karena disanalah bersemayam kebenaran sejati.

Hati yang bersih akan menuntun lisan berkata benar, selanjutnya segenap indera akan melakukan kebenaran pula, kebenaran yang hakiki bukan kebenaran yang dibenar-benarkan.
Rosul saw pernah ditanya: siapakah yang paling baik diantara orang-orang? Rosul saw menjawab: setiap orang yang hatinya bersih dan lidahnya berkata benar. Tetapi siapakah yang hatinya bersih? dia adalah yang bertakwa dan bersuci, yang tidak mempunyai dosa, tidak berbuat salah, tidak mempunyai dendam, dan tidak menyimpan rasa iri. (Ibn Majah)

Jadi, bekerjalah dengan hati yang bersih, jika tidak, maka tinggalkan, atau minta ganti dengan hati yang baru.

Rabu, 04 Maret 2009

Siapkah Kita Menerima Rezeki-Nya?

Suatu sore, seorang karyawan di bagian pelayanan datang bertanya:
Pak, koq gaji saya tidak naik-naik ya?
Kamu mau gaji kamu naik lebihh besar lagi?
Ya mau lah pak?
Apakah kamu sudah siap?
Maksudnya pak?
Coba dengarkan baik-baik...

Saya ambil posisi serius dari sebelumnya. Ini masalah besar yang harus saya jelaskan. Bukan hanya soal gaji saja, tetapi juga soal kehidupan yang lebih kompleks dari sekedar berapa gaji yang diterima?

Begini,
Seberapa banyak yang kamu terima tergantung dari seberapa banyak kesiapan kamu untuk menerimanya. Jika kamu hanya menyediakan kedua belah tangan, dapatkan kamu menerima beras sebanyak 1 ton? Tidak! dengan kedua belah tangan, kamu hanya dapat menerima dua genggam beras saja.

Sebagai muslim, kita menuadari bahwa Allah swt maha kaya. Milik-Nya adalah langit - bumi dan apa yang terserak diantara keduanya. Kabar baiknya, Dia bukanlah sosok yang bakhil. Dia tidak meminta syarat untuk memberi dan tidak meminta ganti setelah memberi. Dia hanya melihat kesiapan kita sebelum memberi, agar pemberian tetap menjadi anugerah, bukan musibah.

Shadr Ad-Din Al-Qunawi berkata: "berlimpah dan berkurangnya bagian dari karunia Allah swt, dzatiyyah dan asma'iyyah, kembali pada sempurna dan tidak sempurnanya kesiapan penerima."

Jadi, sekali lagi, apakah kamu telah menyiapkan diri menerima gaji lebih besar?
Apa yang harus saya siapkan pak?

Pertama, tinggalkan dosa, baik itu dosa lahir atau dosa batin. Kedua, lakukan ketaatan, baik itu ketaatan lahir atau ketaatanm batin.

Sang karyawan diam....tanya urusan gaji koq larinya keurusan dosa?

Maksudnya pak?

Rosul saw bersabda: "Sesungguhnya seorang hamba mengharamkan rezeki dengan dosa yang dilakukannya." (At-Turmidzi, Ibn Hambal). Hati itu ibarat botol kecap. Semakin banyak kamu memasukkan air, semakin banyak pula kecap yang keluar. Jika kamu terus mengingat gaji maka ingatanmu kepada Allah akan tersingkir. Dan itu adalah dosa batin! Hapus dosa itu dengan memasrahkan batinmu dengan terus mengingat bahwa tidak Tuhan selain Allah. Selanjutnya di hati kamu akan tersebut: Allah, akan terdengar: Allah. Kemanakah soal gaji? musnah, tiada, tergantikan oleh Allah. Persis sama seperti kebinasaan Musa dan kehancuran gunung ketika Musa ingin melihat Allah.

Ingatlah Allah telah berfirman:"Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk." (Qs. Hud: 114). Dan Rosul saw telah bersabda: "Iringilah perbuatan buruk dengan perbuatan baik, karena (perbuatan baik) menghapus perbuatan buruk." (At-Turmudzi, Ibnu Hambal, Ad-Darimi).

Hapus dan gantikan dosa dengan ketaatan! Jika kamu terus mengingat Allah, kamu telah melakukan ketaatan batin. Jika kamu memasrahkan keadaan kamu, bahwa Allah, saat ini, telah menempatkan kamu sebagai karyawan, dengan melakukan kewajiban-kewajiban sebagaimana harusnya seorang karyawan, kamu telah melakukan ketaatan lahir. Apakah kamu pasrah Allah telah memilih kamu sebagai karyawan? kalau kamu menjawab: ya! kamu tidak akan bolos kerja atau malas bekerja. Pasrah = ya udah jalanin aja... Menentang = sekali-kali protes dan berontak.

Ketaatan yang kamu lakukan terus menerus, baik sebagai hamba Allah (hablumminallah) maupun sebagai karyawan (hablumminannas) akan menyucikan kamu dari dosa-dosa. Dengarkan Rosul saw bersabda: "Biasakanlah selalu dalam keadaan suci niscaya diluaskan rezeki bagimu."

Yang paling T.O.P.B.G.T. adalah kamu melakukan Ihsan, yaitu kamu melakukan kewajiban-kewajiban kerja melebihi dari standar yang dituntut darimu. Misalkan, status kamu saat ini adalah senior service, tapi kamu bekerja melebihi fungsi dan tugas senior service, kamu mampu melakukan pekerjaan Supervisor, maka gaji yang layak untukmu adalah gaji seorang Supervisor.

Nah, apakah kamu sudah siap menerima gaji lebih besar?

Karyawan itu menjawab dengan senyum getir.....mau naik gaji koq repot amat ya?

----
Sumber bacaan:
Shadr Ad-Din Al-Qunawi, Pancaran Spiritual, penerjemah: Iwan Kurniawan, Jakarta: Lentera, Cet.3, 2001