Rabu, 08 Juni 2011
MENGAPA UMAT ISLAM TERPECAH-BELAH?
Sebuah uraian menarik yang ditulis oleh seorang sahabat pemerhati Alquran tentang Mengapa Umat Islam Terpecah-Belah? Silakan kunyah perlahan-lahan kata demi katanya, lalu perhatikan bagaimana reaksi alami jiwa-raga anda. Apakah kata-kata yang telah anda kunyah itu akan membuat anda memuntahkan seluruh isi perut anda? atau apakah anda akan semakin sehat wal afiat di tengah-tengah para pesakitan? Nah selamat menikmati:
Saya dengar ada sebuah Hadis yang mengatakan bahwa agama kita akan pecah menjadi 73 golongan. Benarkah?
Bila yang anda tanyakan Hadisnya, memang benar ada Hadis yang mengatakan hal seperti itu, dan perpecahan itu memang sudah terjadi. Tapi bila bicara soal jumlah pecahan agama kita, seorang teman mengatakan bahwa menurut data yang ditemukannya di internet, jumlah pecahan agama kita itu mencapai 3000an.
Bukan main! Tapi, mengapa bisa begitu? Maksud saya, mengapa berita Hadis – perkataan Rasulullah – bisa berbeda dengan kenyataan?
Sebenarnya tidak ada perbedaan. Justru perkataan Rasulullah itu tepat sekali, karena menurut para ahli, dalam bahasa Arab angka tujuh itu sering digunakan untuk menyebut jumlah yang banyak atau sangat banyak. Jelasnya, angka tujuh ada kalanya dijadikan ungkapan untuk menyebut jumlah yang banyak atau banyak sekali.
O, begitu! Kemudian soal perpecahan itu, saya pernah mendengar seorang alim besar mengatakan bahwa perpecahan itu tidak perlu membuat kita berduka cita, karena walaupun berpecah menjadi banyak aliran, semua tetap disebut Rasulullah sebagai umatku.
Itu pemikiran yang menggelikan. Mungkin orang alim yang anda maksud itu sedang bercanda. Bila “umat-ku” (ummatï) itu saya umpamakan se-buah gelas, lalu gelas itu jatuh di lan-tai dan pecah menjadi banyak beling, apakah anda akan tetap mengatakan beling-beling itu sebagai gelas?
Tentu tidak. Paling banter saya akan menyebutnya sebagai mantan gelas.
Ya! Bekas gelas berarti bukan gelas lagi. Bila kita gunakan gelas sebagai contoh, Rasulullah mengata-kan “gelasku” akan pecah menjadi “73” beling, dan beliau tidak mengatakan bahwa “73 beling” sebagai “gelasku”.
Tapi, saya kira, perumpamaan gelas itu kurang tepat; karena katanya dalam hadis itu disebutkan ada satu golongan yang selamat, tidak masuk neraka.
Anda benar. Perumpamaan gelas saya gunakan hanya untuk menegaskan bahwa perpecahan itu adalah sesuatu yang disesali oleh Rasulullah, bukan sesuatu yang dibenarkan atau dianggap sah-sah saja. Tegasnya, dalam Hadis itu sebenarnya Rasulullah sedang memberikan peringatan bahwa menurut sejarah (historis) perpecahan itu sesuatu yang niscaya (hampir pasti) terjadi, dan beliau tidak bisa mencegah, apalagi setelah beliau wafat. Jadi, boleh dikatakan bahwa perpecahan itu sesuatu yang bakal terjadi sebagai perulangan sejarah.
Apakah Rasulullah menyebutkan bahwa perpecahan itu memang merupakan perulangan sejarah?
Dalam Hadis tersebut, beliau memulai dengan menyebutkan Yahudi di urutan pertama, kemudian Nasrani, setelah itu baru disebutkan umatnya sendiri. Bila hal itu merupakan perulangan sejarah, berarti Hadis itu hanya berisi berita, bukan peringatan. Beliau mengatakan bahwa pada saat umatnya pecah menjadi 73 golongan, ada satu golongan yang selamat. Selainnya celaka! Di situlah letak peringatannya.
Maksud anda?
Dengan mengatakan bahwa ada satu golongan dari 73 pecahan, maka kita diingatkan oleh Rasulullah agar kita masuk ke dalam golongan yang satu itu.
Nah! Justru di situ sulitnya. Semua golongan, apakah jumlah-nya 73 atau 3000an, masing-masing kan mengaku sebagai pihak yang benar, pihak yang selamat! Saya jadi bingung.
Karena itu, jangan bicara masalah pengakuan, atau mengaku-aku. Pengakuan itu kan kata dasarnya “aku”, atau “ego” dalam bahasa Latin, atau “ana” dalam bahasa Arab. Pengakuan itu subyektif, yaitu berhubungan dengan segala gagasan dan perasaan yang ada dalam batin kita (ideas, feelings that exist in the mind), yang belum tentu ada dalam kenyataan. Selagi kita bersikap subyektif, maka selama itu kita akan merasa bahwa kitalah yang benar, orang lain salah semua. Tidak ada yang benar kecuali aku!
Apakah Rasulullah, dalam Hadis itu, memberikan batasan atau kriteria untuk pihak yang selamat itu?
Ya. Batasannya begitu jelas; dan saya kira tidak membuka peluang bagi masuknya “setan aku-aku”, yang suka mengaku-aku bahwa dirinya be-nar dan orang lain salah. Jelasnya, mari kita perhatikan Hadisnya! Saya menemukan beberapa Ha-dis yang berkaitan dengan masalah perpecahan tersebut. Ini Hadis Abu Daud:
“Camkanlah bahwa orang sebelum kalian dari kalangan Ahli Kitab telah terpecah menjadi 72 millah dan sungguh millah ini (agama Islam) akan pecah menjadi 73 golongan. 72 golongan di Neraka dan satu golongan di Jannah, yaitu Al-Jama’ah.”
Ini Hadis Ibnu Majah:
“Yahudi telah pecah menjadi 72 firqah (golongan). Satu firqah di Jannah, dan 70 firqah di Neraka. Nasrani juga pecah menjadi 72 firqah. 71 firqah di Neraka, dan 1 fir-qah di Jannah. Sungguh, demi Dia yang menguasai diri Muhammad (Allah), umatku ini benar-benar akan pecah menjadi 73 firqah. Satu firqah di Jannah, dan 72 firqah di Neraka.” Maka Rasulullah ditanya, “Siapakah mereka (yang di Jannah itu)?” Jawab Rasulullah, “Al-Jama’ah.”
Itulah contoh-contoh dari sejumlah Hadis yang bernada sama; yaitu berbicara tentang perpecahan yang terjadi pada Yahudi dan Nasrani, yang juga terjadi pada umat Islam. Dalam kedua Hadis yang anda kutipkan itu disebutkan bahwa yang selamat dari neraka adalah al-jama’ah.
Adakah penegasan dari Rasulullah tentang apa yang disebut dengan istilah al-jama’ah itu?
Dalam sebuah Hadis lain , Rasulullah menggambarkan al-jama’ah itu sebagai ma ana ‘alaihi wa as-hãbi (ما أنا عليه و أصحابى), yaitu “sesuatu”, yang di dalamnya terdapat Rasulullah bersama para sahabat beliau.
O, jadi yang dimaksud adalah jama’ah yang dibentuk oleh Rasulullah sendiri?
Ya! Itulah jama’ah yang sebenarnya, jama’ah teladan.
Tapi, identitas jama’ah Rasulullah itu kan sudah tidak jelas lagi, karena sudah terkubur dalam waktu belasan abad.
Para pembangun jama’ah awal, yang selanjutnya harus diteladani itu memang merupakan umat yang sudah lewat selama belasan abad dari kita. Tapi, bila anda katakan bahwa identitas mereka sudah tidak jelas lagi, itu salah besar. Identitas mereka masih ada, dan amat jelas, karena direkam Allah dalam Al-Qurãn.
Benarkah? Bisa anda sebutkan ayat-ayat yang merekam identitas jama’ah Rasulullah itu?
Ada banyak ayat. Untuk sementara kita ambil salah satunya, yaitu gambaran yang terdapat dalam surat Al-Fath ayat 29:
Muhammad, Rasulullah, serta para pengikutnya, bersikap tegas terhadap kaum kafir seraya berkasih-sayang dengan sesama mereka. Kamu lihat mereka rukuk dan sujud mencari ka-runia dan ridha Allah. Ciri mereka tampak pada penampilan mereka, yang membuktikan bahwa mereka adalah orang-orang yang patuh (su-jud). Begitulah gambaran mereka dalam Taurat maupun Injil (yaitu sama dengan gambaran mereka da-lam Al-Qurãn). Mereka berkembang (menjadi besar dan banyak) seperti halnya tanaman mengeluarkan tunas-nya, yang kemudian bertambah kuat dan besar; lalu batangnya pun tegak lurus menjulang, sehingga menakjub-kan para penanamnya; dan dengan pertumbuhan mereka itu Allah mem-buat dongkol orang-orang kafir. (de-ngan demikian) Allah menjanjikan kepada orang-orang beriman, yakni mereka yang berbuat tepat (sesuai ajaran Allah) bahwa dari mereka pasti muncul perbaikan hidup serta anugerah yang besar tiada tara.
Saya lihat dalam ayat ini ada enam ciri jama’ah Rasulullah. Pertama, sikap tegas terhadap orang kafir. Tapi harap dicatat bahwa tegas atau keras di sini lebih dititikberatkan pada ketegasan pendirian yang tidak kenal kompromi dalam menegakkan kebenaran. Namun dalam pergaulan sebagai sesama manusia, siapa pun diperlakukan secara ba-ik oleh setiap muslim. Dengan kata lain, tegas di sini juga berarti adil, baik terhadap diri sendiri, golongan sendiri, maupun orang dan golongan lain.
Tapi, bisakah dikatakan baik dan adil bila kita bersikap keras?
Tadi sudah saya katakan bahwa keras yang dimaksud adalah tidak kenal kompromi dalam menegakkan kebenaran. Harap anda catat bahwa kebenaran itu, bila ditegakkan, pasti akan menguntungkan semua orang. Sebaliknya, bila sudah ada kompromi dalam penegakan kebenaran, celakalah semua orang.
Saya masih belum mengerti maksud anda.
Contohnya adalah pelaksanaan hukum cambuk di Aceh b eberapa yaktu lalu, yang menimbulkan perdebatan, antara lain karena hukum itu tidak berlaku bagi semua orang yang terbukti bersalah. Jelasnya, ada sebagian dari mereka yang bersalah tidak dikenai hukum cambuk karena mereka bisa membayar denda. Dengan demikian, timbul kesan bahwa hukum itu hanya berlaku bagi orang-orang miskin. Di sinilah saya melihat ada semacam kompromi dalam penegakkan kebenaran. Kalau memang ada pilihan antara dicambuk dan membayar denda, uang dendanya tentu harus mahal, sehingga benar-benar memberatkan pelaku.
Bila contohnya kasus hukum cambuk di Aceh, saya kira itu tidak cocok dengan karinah (konteks) ayat tersebut, karena yang disebut dalam ayat itu adalah sikap tegas atau keras terhadap orang kafir.
Dalam sebuah Hadis disebutkan bahwa seseorang tidak akan berzina atau mencuri bila pada saat ia berbuat itu dia dalam keadaan beriman. Jelasnya, kekafiran itu pada hakikatnya melekat pada orang yang melakukan pelanggaran hukum.
Jadi, yang disebut kafir itu bukan orang yang menolak da’wah Islam?
Secara umum, dari sudut pandang Islam, orang kafir adalah mereka yang menentang atau menolak da’wah Islam. Begitu juga bila anda menggunakan sudut pandang lain. Dari sudut pandang Kristen, misalnya, tentu saja orang kafir adalah orang yang menolak agama Kristen. Kemudian, secara khusus, dalam konteks internal umat Islam itu sendiri, orang Islam yang melakukan pelanggaran hukum pada hakikatnya telah berperilaku seperti orang kafir. Dengan demikian, sikap tegas atau keras itu pada hakikatnya ditujukan pada perilaku kafir itu sendiri, yang kadang justru hinggap pada orang yang mengaku mu’min.
Tapi, barangkali ajaran inilah yang menyebabkan sebagian orang Islam bersikap garang terhadap orang-orang non-Islam!
Oh! Jangan keliru! Nabi Muhammad memberikan contoh bahwa ketegasan itu harus diberlakukan secara tidak pandang bulu, tapi juga harus proporsional (pada tempatnya). Dalam Piagam Madinah, misalnya, beliau menegaskan bahwa setiap penjahat harus dihukum, walau dia adalah keluarga sendiri. Karena itulah beliau juga menegaskan bahwa seandainya putri beliau mencuri, maka beliau akan memotong tangannya (Fathimah). Di Madinah, beliau memimpin penyerangan dan pengusiran terhadap Yahudi, karena mereka sebelumnya sudah terikat dalam peraturan yang disepakati bersama, yaitu Piagam Madinah. Nabi bersikap tegas dan keras terhadap mereka karena mereka melanggar kesepakatan itu.Saya kira, apa yang dilakukan Nabi itu pastilah akan dilakukan oleh setiap orang yang memahami arti penegakan hukum.
Jadi, orang Islam yang melakukan tindakan teror adalah orang yang tidak memahami hukum itu?
Ya. Gampangnya begitulah. Tapi, ingat, perkara terorisme bukan masalah sederhana. Ini sudah menyangkut politik internasional, berkaitan dengan trik-trik militer, bahkan mungkin tidak terpisahkan dari isu benturan peradaban yang diungkapkan Samuel Huntington dalam bukunya yang terkenal itu.
Wah, jadi melantur nih!
Ya. Sekarang kita kembali kepada pembicaraan kita tentang ciri-ciri al-jama’ah yang dibentuk oleh Rasulullah bersama para sahabatnya. Saya ulangi, ciri pertama, ketegasan terhadap orang orang kafir atau kekafiran. Itu sudah kita bahas. Ciri kedua adalah berkasih-sayang dengan sesama muslim. Ini tuntutan mutlak untuk membuktikan iman. Dalam hal ini Rasulullah sampai harus menegaskan bahwa kita belum berhak mengaku mu’min sebelum kita mencintai saudara seiman seperti mencintai diri sendiri. Kemudian, ciri ketiga, ruku’ dan sujud mencari karunia dan ridha Allah. Ini bukan ruku’ dan sujud dalam shalat ritual, tapi gambaran sikap keseharian seorang mu’min yang serba penuh kepatuhan terhadap Allah dalam setiap geraknya, yang di sini dilambangkan dengan ruku’ dan sujud. Ciri keempat, bekas sujud pada wajah. Ini juga tidak bisa dipahami dalam pengertian harfiah. Kata wajhun, yang jamaknya, wujuhun (وجح) tidak selalu berarti paras, tapi bisa juga berarti jalan, arah, pihak, maksud, segala yang tampak (= segi atau aspek). Bahkan juga bisa berarti pemimpin kaum.
Lalu, dalam konteks ayat itu, pengertian mana yang cocok?
Karena yang dibicarakan di sini adalah ciri-ciri al-jama’ah yang dibentuk Rasulullah bersama para sahabatnya, maka wujuh (jamak dari wajh) di sini tentu segala segi atau aspek dari ‘tampilan’ mereka secara keseluruhan, yang merupakan pancaran dari kepatuhan (sujud) mereka terhadap Allah.
Jadi bukan warna hitam pada muka seseorang, sebagai bukti bahwa ia banyak bersujud?
Saya kira, bukan! Sebab, yang begitu sih bisa direkayasa, bisa dibuat-buat.
Maksud anda?
Ada orang yang pernah mengikuti suatu aliran tasauf mengatakan bahwa tanda itu bisa dibuat dengan cara menggosok dahi dengan buah kelapa. Cara lainnya, mungkin dengan menekankan kepala agak keras di lantai ketika bersujud, dan waktunya diperlama dengan mengulang bacaan sujud puluhan kali.
Apakah hal itu pernah dilakukan Rasulullah?
Sayangnya, tidak! Kita belum menemukan Hadis yang menceritakan bahwa di dahi Rasulullah ada tanda hitam bekas sujud. Selain itu, ciri shalat Rasulullah adalah berdirinya yang lama, bukan sujudnya.
Terus, apa ciri yang kelima?
Ciri kelima dari jama’ah Rasulullah adalah bahwa mereka mempunyai kesamaan dengan jama’ah Musa (Taurat) dan Isa (Injil), dan tentu juga dengan jama’ah para rasul yang lain. Dengan demikian, jelaslah bagi kita bahwa jama’ah para rasul Allah itu mempunyai ciri yang sama, meskipun mereka hidup di zaman-zaman yang berbeda. Terakhir, dan saya kira ini yang paling penting untuk digaris-bawahi; jama’ah Rasulullah itu, apakah rasulnya bernama Adam, Idris, Nuh, Hud, Shalih, Ibrahim, dan seterusnya sampai Muhammad, semua tumbuh dan berkembang seperti tanaman.
Jelasnya bagaimana?
Bila tanaman tumbuh dan berkembang biak dari satu benih atau biji, jama’ah Rasulullah juga demikian. Mereka bermula dari satu benih, menjadi sebatang pohon, yang selanjutnya melahirkan tunas-tunas baru, yang semakin lama semakin banyak. Ketika dari satu pohon itu telah berkembang biak menjadi banyak pohon yang menutupi sebidang tanah, maka tanah itu pun berubah menjadi kebun, yang dalam Al-Qurãn disebut dengan istilah jannah; dan kita menerjemahkannya menjadi sorga.
Wah, saya jadi bingung. Dari uraian anda, saya menangkap gambaran bahwa sorga itu adalah kumpulan manusia.
Tepat! Memang itu yang saya maksud.
Tapi, bukankah sorga itu adalah nama sebuah tempat di alam akhirat nanti?
Ya, itulah konsep yang kita terima selama ini. Dalam kaitan dengan alam setelah kita mati, mungkin benar bahwa jannah itu adalah sebuah tempat, yang kita belum tahu di mana letaknya. Tapi dalam konteks kehidupan kita sekarang, di dunia ini, jannah itu mempunyai dua arti. Pertama, istilah jannatun atau al-jannatu berasal dari kata kerja janna, yang berarti menutupi. Kemudian, mengapa jannatun atau al-jannatu belakangan jadi berarti kebun atau taman? Menurut sahibul hikayat, yang direkam dalam kamus Al-Munjid, seperti yang saya katakan tadi, yang disebut kebun atau taman itu pada hakikatnya adalah sebidang tanah yang tertutup berbagai tumbuhan. (الجنة ج جِنان و جنّات: الحديقة ذات الشجر قيل لها ذلك لسترهاالأرض بظلالها).
Baiklah, itu asal-usul istilah kebun atau taman. Tapi, saya tidak mengerti bila anda menyamakan jama’ah dengan kebun atau taman.
Anda salah tanggap. Saya tidak menyamakan, hanya mengibaratkan. Pengibarat itu juga bukan berasal dari saya, tapi dari Allah, dari ayat yang sedang kita bahas. Allah mengibaratkan proses pertumbuhan dan perkembangan jama’ah Rasulullah seperti proses tumbuh kembangnya tanaman; yaitu bermula dari benih, jadi sebuah pohon, lalu pohon itu menghasilkan tunas-tunas, yang selanjutnya tumbuh menjadi pohon-pohon baru. Setelah menjadi banyak, pohon-pohon itu akhirnya menutup sebidang tanah. Tanah yang tertutup pepohonan itu kemudian disebut kebun atau taman.
Kenapa disebut kebun atau taman? Kenapa tidak disebut hutan, misalnya?
Ini ada kaitan dengan urusan rekayasa. Hutan terbentuk semata-mata karena kehendak Allah; walau sekarang ada juga hutan buatan manusia. Kebun atau taman adalah hasil rekayasa manusia; walau fasilitasnya bersal dari Allah juga.
Lalu, apa hubungannya dengan jama’ah?
Pertama, kebun atau taman berasal dari satu benih. Begitu juga jama’ah. Kedua, kebun atau taman adalah hasil rekayasa manusia. Begitu juga jama’ah.
Mengapa jama’ah harus diumpamakan seperti kebun atau taman?
Supaya kita menyadari bagaimana proses terbentuknya sebuah jama’ah, dan selanjutnya memahami pula manfaat jama’ah itu. Yaitu, ibarat kebun atau taman, jama’ah itu harus menghidangkan buah-buahan dan umbi-umbian yang bisa dimakan dan menyehatkan. Selain itu, ia juga harus menimbulkan kesejukan, keteduhan, kenyamanan, keserasian, dan keindahan.
O, begitu ya? Saya baru mengerti di mana letak persamaan jannah dengan jama’ah. Kemudian, bila benih tanaman berbentuk biji, benih jama’ah berbentuk apa?
Ini pertanyaan yang menarik! Benih, dalam bahasa Arab, adalah bazrun. Dalam percakapan, orang Arab mengucapkannya bazr. Ada kemungkinan kata bazr inilah yang dipelesetkan orang Indonesia menjadi biji. Tapi Allah sendiri, dalam Al-Qur-ãn, menyebut benih dengan istilah habbun (حبّ) dan habbah (حبّة), yang huruf-huruf dasarnya sama dengan hubb (حبّ), yang berarti cinta. Nah, benih sebuah jama’ah adalah hubb alias cinta.
Cinta?
Ya! Tepatnya cinta terhadap sebuah konsep.
Cinta terhadap sebuah konsep?
Ya! Cinta terhadap sebuah konseplah yang membuat manusia berhimpun menjadi sebuah jama’ah. Dan benih jama’ah Rasulullah adalah cinta Rasulullah dan para sahabatnya terhadap konsep (ajaran) Allah, yakni Al-Qurãn.
Ya Allah! Bulu kuduk saya merinding!
Mengapa?
Karena selama ini saya tak pernah berpikir bahwa sebuah jama’ah itu terbentuk dari cinta terhadap sebuah konsep, dan bahwa jama’ah Rasulullah terbentuk dari cinta Rasulullah serta para sahabatnya terhadap Al-Qurãn.
Surat Al-Baqarah ayat 165 bahkan menegaskan bahwa cinta yang dimaksud bukanlah sembarang cinta tapi cinta yang luar biasa terhadap ajaran Allah (اشدّ حبّا لله) , yang mengalahkan segala kecintaan mu’min terhadap segala sesuatu yang lain.
Sekarang saya mengerti apa masalah yang paling inti dari perpecahan umat Islam itu! Hal itu terjadi karena mereka tidak mencintai Al-Qurãn. Atau karena kecintaan mereka terhadap Al-Qurãn berbaur dengan cinta terhadap yang lain. Begitu kan?
Mungkin!
Lalu, bila kecintaan terhadap Al-Qurãn berbaur dengan kecintaan terhadap yang lain, apakah itu tidak berarti musyrik?
Secara harfiah, seorang manusia disebut musyrik ketika dia mencampur-aduk sesuatu dengan sesuatu yang lain. Dengan kata lain, musyrik itu pada hakikatnya adalah sikap mendua, sikap berbagi cinta.
Saya jadi semakin mengerti mengapa perpecahan itu bisa terjadi. Tapi apakah itu terjadi semata-mata karena kecenderungan manusia yang suka mendua hati, atau karena ada faktor-faktor lain?
Tentu ada perpaduan antara kecenderungan manusia dan faktor-faktor lain. Faktor-faktor lain itu, gampangnya adalah kerja syetan.
Apakah yang anda maksud dengan syetan itu adalah makhluk gaib?
Pertama, ya! Selanjutnya, faktor manusia itu sendirilah yang menentukan. Tepatnya adalah sesuatu yang disebut human error. Kelemahan atau kelalaian manusia. Nah, kalau bicara peran syetan sebagai makhluk halus yang merupakan lawan malaikat, maka human error itulah bidang permainan syetan.
Jelasnya bagaimana?
Kita akan coba melihatnya secara gamblang. Sebagai alat bantu, mari kita pelajari dulu dialektika Hegel.
Apa itu delektika Hegel?
Sebuah teori yang bersumber dari Hegel, filsuf sekaligus ahli sejarah, yang terkenal dengan filsafat sejarahnya.
Apa inti ajaran Hegel?
Hegel mengajarkan bahwa “sejarah bukanlah kejadian tanpa arti, tapi merupakan sebuah proses yang melibatkan peran otak manusia, tepatnya merupakan perwujudan dari semangat manusia untuk meraih kebebasan”. (History is not meaningless chance, but a rational process – the reali-zation of the spirit of freedom). Nah, harap dicatat, semangat manusia untuk mencari kebebasan juga adalah bidang permainan syetan!
O ya? jelasnya bagaimana?
Manusia diciptakan untuk mengabdi. Dus, menjadi makhluk yang terikat, bukan makhluk bebas. Dalam rencana Allah, manusia harus mengabdi kepadaNya. Ingat ayat wa ma khalaqtul- jinna wal-insa illa liya’buni. Ketika ia tidak mau menjadi abdi (hamba) Allah, maka otomatis ia menjadi abdi dari “tuhan-tuhan” lain, meski dalam pemikirannya ia menggap dirinya bebas.
Merasa bebas dari aturan Allah, mengabaikan agama Allah, tapi secara otomatis membudak pada konsep yang lain, di antaranya konsep Hegel, begitu?
Ya!
Kembali pada teori Hegel. Apakah ajarannya mempunyai pengaruh besar bagi manusia di dunia?
Pengaruh Hegel dalam kajian filsafat dan sejarah mungkin sama besarnya dengan pengaruh Freud dalam psikologi. Teori Hegel mewarnai pemikiran semua orang yang memimpikan kebebasan. Tepatnya, teori Hegel amat digandrungi oleh mereka yang tidak menyukai keterikatan pada suatu ajaran baku, karena bagi mereka kebakuan itu tidak ada. Yang ada cuma perubahan dan perubahan. Karena itu mereka selalu mengatakan bahwa di dunia ini tidak ada yang kekal, kecuali perubahan.
Jelasnya bagaimana teori Hegel itu?
Dia bilang, segala sesuatu yang ada di alam ini selalu berubah. Segala sesuatu yang ada itu, disebut Hegel sebagai these. Kata Hegel, dalam setiap these selalu ada unsur-unsur yang menentangnya, yang disebutnya antithese. Akibat pertentangan these dan antithese itu, timbullah synthese. Selanjutnya, synthese menjelma menjadi sebuah these baru yang di dalamnya terkandung antithese pula, yang selanjutnya akan melahirkan synthese baru lagi. Begitulah seterusnya. Bagi Hegel, hidup ini pada dasarnya adalah rangkaian these, antithese, dan synthese yang terus sambung-menyambung tak ada hentinya. Belakangan, istilah these atau thesis dalam ejaan Inggris, dibatasi pengertiannya menjadi teori, atau konsep saja. Jadi, dalam satu teori (thesis), terkandung unsur yang menjadi lawan teori itu (antithesis). Ketika thesis bertumbukan dengan antithesis, lahirlah synthesis, yang kemudian menjadi thesis baru lagi, yang di dalamnya terkandung antithesis pula. Begitulah seterusnya.
Kenyataannya memang begitu kan?
Ya. Teori Hegel dianut banyak orang justru karena “sesuai dengan kenyataan”. Tapi perlu dicatat bahwa teori dialektika itu sebenarnya bukan murni teori Hegel.
Maksud anda?
Hal itu sudah ditegaskan Allah dalam Al-Qurãn, dan tentu juga dalam kitab-kitab Allah sebelumnya. Tapi, karena kita baru mengetahuinya dari Hegel, kita lantas sepakat mengakui bahwa yang disebut dialektika itu adalah teori Hegel.
Benarkah bahwa teori itu memang ada dalam Al-Qurãn?
Ya. Pertama, harap dicatat bahwa these atau thesis itu dalam bahasa Arab disebut risãlah, dan pembawa risalah disebut rasul. Dalam surat Al-Furqan ayat 30-31, ketika Nabi Muhammad mengeluh karena menyaksikan kaumnya meninggalkan risalahnya, yaitu Al-Qurãn, Allah menegaskan bahwa setiap nabi memang mempunyai musuh, yaitu para mujrim, alias penjahat, pendosa, gajingan, atau pelanggar hukum.
Lalu apa hubungannya dengan teori Hegel?
Rasul itu dikutus Allah untuk menyampaikan sebuah risalah, yang dalam bahasa Hegel disebut these atau thesis. Nah, risalah atau thesis Allah itu pada dasarnya berisi penjelasan tentang al-haqqu (kebenaran) dan al- bãthilu (kesalahan). Harap diingat bahwa secara harfiah, al-bãthilu itu adalah pembatal, yaitu pembatal kebenaran (al-haqqu). Dalam bahasa Hegel, al-bãthilu itu adalah antithesis!
Mengapa Allah harus menjelaskan kebenaran sekaligus juga kesalahan?
Tentu supaya manusia memilih yang benar dan meninggalkan yang salah.
Tapi yang benar dan salah itu selanjutnya kan menjadi thesis dan antithesis, yang cenderung berbenturan.
Ya. Itu kan sunnatullah. Segala sesuatu diciptakan Allah mempunyai pasangan dan atau lawan. Ketika Allah menjelaskan kebenaran dan kesalahan, tujuanNya tentu supaya manusia memilih kebenaran dan menolak kesalahan.
Tapi ternyata kebanyakan manusia memilih kesalahan!
Melalui penjelasan Allah dalam Al-Qurãn, kita tahu bahwa di situ ada peran mujrimun. Merekalah yang mengembangkan antithesis dan kemudian membenturkannya dengan thesis.
Oh, begitu! Lantas, bila mujrimun mengembangkan kesalahan (antithesis), siapa yang mengem-bangkan synthesis?
Tentu saja si mujrimun juga, cuma kelasnya lebih tinggi. Jelasnya, pengembang kesalahan adalah bajingan kelas teri, yang semata berbuat jahat secara lugu, tanpa polesan apa pun. Pokoknya dia tidak mau yang benar, maunya yang salah saja. Maka dia mengambil yang salah dan menolak yang benar. Sementara pembuat synthesis adalah penjahat berotak, bajingan yang jenius. Mereka tahu bahwa kebenaran yang diajarkan Allah itu beranfaat bagi kehidupan manusia, tapi bila dijalankan secara utuh, apa ada-nya, nafsu jahat tidak bisa bermain di situ. Maka, supaya nafsu jahatnya bisa bermain, diambillah sebagian kebenaran untuk dijadikan selubung kejahatan. Dalam Al-Qurãn, tindakan demikian itu disebut dengan istilah talbisul-haqqa bil-bãthil – meracik al-haqqu dengan al-bãthilu – dengan teknik tu’minûna bi-ba’dhin wa takfurûna bi-ba’dhin, yaitu mengambil sebagian kebenaran yang menunjang kepentingannya, dan mencampakkan bagian lain yang tidak mendukung kepentingannya, yaitu menciptakan adonan yang bernama synthesis itu.
Kalau begitu, synthesis itu adalah kesalahan berselubung kebenaran?
Ya. Dalam konteks risalah Allah, sintesis adalah kesalahan berselubung kebenaran. Itulah yang oleh si mujrim dipromosikan sebagai “kebenaran baru”, yang diajukan sebagai pengganti “kebenaran lama” (risalah Allah).
Kapan kebenaran baru itu diperkenalkan oleh si Mujrim?
Setiap saat; kapan saja mereka melihat kesempatan.
Maksud saya, apakah mereka mengajukan sintesis itu pada saat rasul Allah masih hidup atau seteah sang rasul tiada?
Kalau kita merujuk pada surat Al-Furqan ayat 30-31 tadi, ternyata Nabi Muhammad, di masa hidupnya, sudah mengeluhkan (sebagian) kaumnya yang meninggalkan Al-Qurãn.
Dengan kata lain, para mujrim itu ternyata sudah giat bekerja menyesatkan orang selagi Rasulullah masih hidup. Dan setelah Rasulullah wafat, tentu mereka bekerja lebih giat lagi?
Ya. Buktinya, sebelum jasad Rasulullah dikuburkan, sebagian umatnya sudah ribut masalah kekuasaan. Kaum Muhajirin dan Anshar nyaris saling bunuh, karena masing-masing ingin mengangkangi kekuasaan yang ditinggalkan Rasulullah. Kemudian, ketika Abu Bakar terpilih sebagai khalifah pertama, muncullah nabi-nabi palsu dan para pembangkang yang tidak mau lagi membayar zakat. Lebih lanjut, setelah masa Rasulullah dan para sahabat berlalu, di tataran konsep, dalam hal ajaran Islam itu sendiri, muncullah ilmu tauhid dengan berbagai cabangnya, ilmu fiqih dengan berbagai cabangnya, dan ilmu tasauf dengan berbagai cabangnya.
Dengan kata lain, bila dilihat melalui dialektika Hegel, semua itu adalah rangkaian dialektika belaka?
Ya. Itulah rangkaian perubahan yang sambung-menyambung secara berkelanjutan dan berkepanjangan. Rangkaian thesis, antitheis, synthesis; thesis, antitheis, synthesis; thesis, antitheis, synthesis; …
Sungguh menakjubkan! Kalau begitu, Islam yang ada di kepala saya sekarang ini Islam apa sebenarnya? Mungkinkah hanya buyut sintesis kesekian ratus dari moyang antitesis yang pertama?
Mungkin! Ha ha!
Lalu bagaimana caranya supaya saya bisa keluar dari lingkaran syetan ini?
Tentu saja anda harus menempuh suatu proses belajar.
Tapi dari mana memulainya bila keadaannya sudah seperti benang kusut begini?
Bila anda diberi benang kusut, apa yang akan anda lakukan?
Mungkin saya harus berusaha mengurainya dulu, sebelum bisa menggunakannya.
Tidak. Kalau saya diberi benang kusut, saya akan membuangnya, dan kemudian saya cari benang lain yang tidak kusut.
Tapi, bila yang anda maksud dengan benang kusut itu adalah ajaran Islam, apakah anda akan membuangnya, lalu mencari agama lain?
Tidak. Umat agama lain juga sama kusutnya. Pada Islam saya masih melihat ada unsur terpentingnya yang tidak tersentuh kekusutan.
Apa itu?
Kitabnya, Al-Qurãn. Dia tidak tersentuh kekusutan. Bahkan menurut seorang teman, Al-Qurãn itu masih perawan.
Maksudnya?
Maksud dia Al-Qurãn itu belum benar-benar dikaji. Kalau sekarang orang mengaku mengkaji Al-Qurãn, yang mereka kaji sebenarnya hanya tafsir-tafsirnya, yang belum tentu mewakili Al-Qurãn.
Ada yang bilang bahwa tafsir-tafsir itu hanya mewakili golongan-golongan tertentu?
Benar. Tafsir sufi, misalnya, jelas mewakili pemahaman tasuf. Sebagian dari tafsir-tafsir itu malah mengandung hadis-hadis Israiliyah, hadis-hadis Yahudi!
Wah, saya baru dengar itu.
Yang jelas, berisi hadis Yahudi atau tidak, tafsir-tafsir itulah yang menjadi sarana tunggangan dialektika Hegel itu. Melalui tafsir-tafsir itulah manusia menyampaikan apa yang mereka sebut koreksi, pembaruan, dan sebagainya.
Karena itu ajaran Islam menjadi kusut?
Menurut saya, yang kusut itu bukan ajaran Islam tapi otak manusia yang mengaku umat Islam. Mereka terperosok ke dalam arus perputaran dialektika Hegel, yang tadi anda sebut sebagai lingkaran syetan itu.
Oh! Jadi itu benang kusutnya ya?
Iya. Sekarang, coba perhatikan gambar yang saya buat ini! Mudah-mudahan ini bisa membantu anda keluar dari jerat benang kusut itu.
Gambar I
Bagaimana penjelasan gambar ini?
Allah menurunkan ajaran melalui Rasul (lingkaran pertama). Warna putih menggambarkan kemurnian ajaran Allah yang diterima Rasul, dan lingkarannya adalah gambaran tentang Periode Rasul itu sendiri, yang di dalamnya Rasul hidup bersama para pengikut awalnya, yang menjalankan ajaran Allah yang masih murni. Setelah Rasul tiada, ajaran Allah dibawa Pelanjut 1 memasuki LD (lingkaran kedua). Warna abu-abu tipis menggambarkan kemurnian ajaran Allah yang sudah terkontaminasi berbagai ajaran lain melalui Proses Dialektika Hegel.
Artinya, yang disebut ajaran Allah dalam lingkaran kedua itu sebenarnya adalah synthesis dari perbenturan antara thesis dengan antithesis?
Ya, itulah yang ingin saya katakan melalui gambar ini. Gampangnya, ajaran Allah sudah mulai kemasukan unsur lain, walau baru sedikit. Kemudian, setelah Pelanjut 1 tiada, ajaran Allah dibawa Pelanjut 2 memasuki LT (lingkatan ketiga), yang berwarna abu-abu tebal, menggambarkan bahwa ajaran Allah sudah bercampur-aduk dengan berbagai ajaran lain yang jumlahnya semakin banyak. Setelah Pelanjut 2 tiada, ajaran Allah dibawa Pelanjut 3 memasuki LE (lingkaran keempat), yang berwarna hitam, menggambarkan bahwa ajaran Allah sudah bercampur aduk sedemikian rupa dengan berbagai ajaran lain, sehingga sudah sangat sulit untuk mengenali mana yang benar dan mana yang salah, karena parameter benar-salah itu sendiri pun sudah hilang.
Oh! Apakah lingkaran hitam itu anda maksudkan sebagai keadaan kita sekarang?
Mungkin… iya!
Kenapa mungkin? Bukankah keadaan kita sekarang memang seperti itu? Yang benar dan yang salah sudah sulit dibedakan, karena paramater (ukuran) benar dan salah pun sudah hilang!
Silakan saja anda menafsirkan begitu. Saya hanya berusaha menggambarkan sebuah situasi dan kondisi ketika ajaran Allah sudah ‘berkembang’ sedemikian rupa dalam perjalanannya yang sentrifugal.
Maksud anda?
Yaa, saya melihat sejak diterima oleh rasul, ajaran Allah itu kan ‘bergerak’ sentrigufal (centrifugal), yaitu semakin menjauh dari pusat. Bila dilihat dari perluasan wilayah, hal itu tentu bagus, karena berarti ajaran Allah itu tersebar luas kan? Tapi, dari sisi keutuhan ajaran itu sendiri, gerak sentrifugal itu memprihatinkan. Mengapa? Ini berkaitan dengan dialektika Hegel tadi! Dari sisi keutuhannya, gerak sentrifugal dari ajaran Allah itu adalah gambaran negatif; karena semakin menjauh dari pusat berarti semakin jauh dari keasliannya, semakin banyak pencemaran yang masuk ke dalamnya.
Apakah itu berhubungan dengan human error para pelanjut?
Saya kira, iya. Tadi sudah saya katakan bahwa syetan bermain di situ kan? Syetan bermain pada sisi kelemahan atau kelalaian manusia.
Kalau begitu, semakin jauh beredar, melintasi ruang demi ruang dan waktu demi waktu, tentunya ajaran Allah itu bisa semakin pudar, dan akhirnya hilang?
Benar sekali! Itulah sebabnya Allah mengutus rasul-rasul dari masa ke masa.
Artinya, rasul kedua diutus karena ajaran yang dibawa rasul pertama sudah hilang?
Ya. Tepatnya sudah tercemar sedemikian rupa, sehingga sulit membedakan antara putih dan hitam. Tanda yang paling nyata dari lenyapnya kemurnian ajaran Allah itu adalah lenyapnya kitab Allah itu sendiri. Lenyapnya kitab Taurat dan Injil yang asli, misalnya, adalah salah satu contoh kasus.
Jadi ketika Allah mengutus rasul kedua, rasul yang kedua ini tidak membawa ajaran baru?
Tidak. Dia hanya membawa ajaran Allah yang sudah hilang dari kesadaran manusia, dan sudah tidak ada pula dalam catatan mereka.
Tapi bukankah setiap rasul membawa kitab-kitab yang berbe-da-beda? Daud membawa kitab Zabur, Musa membawa Taurat, dan Isa membawa Injil…
Beda nama tidak berarti harus beda isi dan beda fungsi. Sekarang orang membuat televisi, komputer, dan lain-lain dengan berbagai merek, tapi fungsinya sama. Dalam hal ini, beda nama hanya menunjukkan beda pabrik.
Nah, bagaimana dengan rasul-rasul itu? Apakah beda nama kitab mereka tidak menandakan bedanya Tuhan yang mengutus mereka?
Bisa begitu memang! Tapi, melalui Al-Qurãn kita tahu bahwa mereka berasal dari Tuhan yang satu. Ibarat barang elektronik, mereka dike-luarkan dari pabrik yang sama.
Tapi mengapa nama kitab mererka harus berbeda-beda?
Kalau soal nama, Al-Qurãn sendiri kan disebut dengan puluhan nama, di antaranya yang terkenal adalah Al-Furqãn, Al-Bayãn, Al-Hudã, dan lain-lain; bahkan juga Az-Zabûr!
Apa? Az-Zabûr juga merupakan nama dari Al-Qurãn?
Iya.
Waah, ini benar-benar infor-masi baru bagi saya. Tapi, mengapa pula Al-Qurãn harus mempunyai banyak nama?
Setiap nama mewakili asfek atau fungsi tertentu dari Al-Qurãn. Misalnya, dia disebut Al-Kitãb karena berisi ketetapan (peraturan) Allah. Dia dikatakan Al-Furqãn karena berfungsi memilah antara benar dan salah. Dia dinamai Al-Bayãn karena fungsinya sebagai penjelasan. Dan dia dijuluki Al-Hudã karena perannya sebagai petunjuk atau pedoman.
Tapi kenapa namanya yang populer adalah Al-Qurãn?
Karena sejak awal, sejak pertama kali Jibril mewahyukannya kepada Nabi Muhammad, kata pertama dari wahyu pertama itu adalah iqra! Itu kata perintah. Bentuk kata kerjanya adalah qara-a, dan bentuk kata bendanya adalah qur-ãnan. Ketika qur-ãnan ini diubah menjadi kata benda definitif , atau ma’rifah dalam bahasa Arabnya, maka ia menajdi al-qurãnu. Selanjutnya “Al-Qurãn” menjadi “nama resmi” dari wahyu yang diterima Nabi Muhammad.
Dan Al-Qurãn ini menjadi kitab Allah yang terakhir?
Ya.
Mengapa? Bagaimana kalau Al-Qurãn juga lenyap seperti kitab-kitab yang lain?
Tidak mungkin. Allah menjamin bahwa Al-Qurãn tidak akan lenyap.
Ya, saya sering dengar itu! Tapi, bagaimana cara Allah menjamin? Dan kalau Allah menjamin bahwa Al-Qurãn tidak akan lenyap, mengapa kitab-kitab yang terdahulu kok tidak mendapatkan jaminan itu?
Ha-ha! Anda cukup kritis. Saya suka sekali pertanyaan yang satu ini. Pertama, Allah menjamin melalui sunnahNya, yaitu melalui hukumNya yang berlaku pada alam. Melalui hukum alam. Jelasnya, Al-Qurãn tidak hanya dihafal banyak orang, tapi juga ditulis. Penulisan atau kodiffikasinya yang resmi, yang dilakukan pada masa Khalifah Utsman, itu dibuat sebanyak lima buku yang dinamakan “mushhaf imam”. Kelima buku kemudian disebarkan ke propinsi-propinsi yang dianggap strategis. Dari mushhaf imam itulah para penulis lain memperbanyak Al-Qurãn, dengan cara menyalin atau menyontek. Sampai sekarang, sebuah mush-haf imam itu konon masih tersimpan dengan utuh, kalau tak salah ada di wilayah Rusia. Selanjutnya, dengan ditemukannya mesin cetak, penyalinan dan penyebaran Al-Qurãn menjadi semakin mudah. Apalagi sekarang sudah ada komputer. Al-Qurãn dalam bentuk tulisan maupun digital, ada di mana-mana. Selain itu, jangan lupa, orang-orang yang menghafalnya juga masih banyak, karena di mana-mana selalu ada kegiatan penghafalan, baik secara pribadi maupun kelompok. Pendeknya, Al-Qurãn turun dalam situasi dan kondisi yang semakin kondusif (menjamin) untuk membuatnya tidak lenyap. Bahkan juga tidak bisa dipalsukan. Setiap muncul pemalsuan, umat Islam segera mengetahuinya. Jangankan memalsukan satu buku, memalsukan satu ayat pun pasti ketahuan!
Wah, wah, luar biasa!
Ya. Tapi jangan bangga dulu! Ingat lagi pernyataan saya tadi. Pernyataan yang mana? Anda sudah mengeluarkan banyak pernyataan!
Pernyataan bahwa “syetan ber-main di tataran human error”! Syetan berrmain dalam kelemahan dan kalalaian manusia. Ketika mereka melihat bahwa teks Al-Qurãn tidak bisa dirusak, tidak bisa dipalsukan, dan tidak mungkin dilenyapkan, maka mereka tidak perlu melakukan pekerjaan sia-sia kan?
Ya. Lalu, apa yang mereka la-kukan?
Mereka main di tataran makna. Main di tataran pengertian. Main di tataran tafsir! Dengan demikian, yang mengaku umat Islam itu akan tenggelam dalam keasyikan di dunia penafsiran yang luas tak bertepi dan panjang tak berujung.
Kembali ke dialektika Hegel ya?
Iya! Dengan demikian, untuk apa mereka mengotak-atik teks Al-Qurãn bila ternyata umat Aslam sendiri sudah meninggalkannya?
Tapi, bukankah teks Al-Qurãn selalu dibaca umat Islam?
Ya, tapi kebanyakan mereka kan tidak tahu isinya. Keadaan itulah yang dulu dipesankan Snouck Hurgronje kepada penguasa Belanda di sini. Dia bilang, “Biarkan umat Islam membaca Al-Qurãn, tapi jangan biarkan mereka memahami isinya!”
Berati Snouck Hurgronje tahu isi Al-Qurãn ya?
Iya laah! Dia kan orientalis yang mendalami bahasa Arab dan bahkan bermukim di Arab, pura-pura masuk Islam dan menggunakan gelar haji. Tanpa peran dia, Belanda tidak bisa menaklukkan Aceh kan?
Jadi, Belanda menaklukkan Aceh dengan cara melakukan perusakan dari dalam?
Yaa, begitulah. Divide et impera kan? Bikin pecah-belah dulu, baru bisa dijajah.
Jadi, itu sebabnya sekarang umat Islam terpuruk, terjajah? Karena terpecah-belah?
Iya laah!
Waah, saya jadi sedih nih!
Boleh saja sedih. Tapi setelah itu anda mau apa?
Saya ingin umat Islam bersatu. Tapi bagaimana caranya?
Caranya, buang jauh-jauh cara berpikir global. Berpikirlah parsial dan individualis!
Lho, kok…?
Kalau bahasa Rasulullah sih ibda’ bi-nafsika! Mulailah dari dirimu sendiri. Jangan berpikir tentang Khilafah Islamiyah tingkat nasional, apalagi tingkat dunia. Terlalu jauh! Urus saja diri sendiri dulu. Sudah cinta Al-Qurãn apa belum?
Wah, kok seperti nyindir HTI (Hizbut-Tahrir Indonesia)?
Bukan nyindir tapi tawashau bil-haqqi.
Lantas, apa yang bisa dilakukan oleh seseorang yang cinta Al-Qurãn?
Pertama, dia akan membenahi dirinya. Kepalanya yang penuh dengan konsep-konsep sampah akan dibersihkan dan diisi Al-Qurãn. Kedua, setelah dirinya terbenahi, barulah dia bisa melakukan usaha-usaha untuk melakukan pembenahan di luar dirinya. Dia akan menjadi pejuang dalam rangka memurnikan ajaran Allah. Perhatikanlah gambar ini!
Gambar II
Keterangan gambar ini adalah sebagai berikut:
Pada setiap masa Allah mengutus seorang Rasul. Ketika ajaran yang dibawa oleh Rasul 1 memasuki lingkaran kedua, sehingga ajaran itu menjadi rusak, Allah mengutus Rasul 2 sebagai Pemurni 1, yang berperan mengembalikan manusia pada ajaran Allah yang asli. Selanjutnya, ajaran Allah yang sudah dimurnikan Rasul 2 memasuki Lingkaran ketiga, dan menjadi rusak lagi, sehingga Allah mengutus Rasul 3 (= Pemurni 2). Kemudian ajaran yang sudah dimurnikan itu memasuki Lingkatan keempat, menjadi rusak lagi, sehingga Allah mengutus Rasul 4 (Pemurni 3). Begitulah seterusnya. Sampai akhirnya Allah mengutus Nabi Muhammad sebagai Rasul Terakhir. Setelah Nabi Muhammad, Allah tidak mengutus rasul-rasul baru lagi, karena teks ajaran yang dibawanya (Al-Qurãn) tidak hilang. Tapi seiring masuknya Al-Qurãn dari lingkaran pertama ke lingkaran-lingkaran berikutnya, nilai-nilai Al-Qurãn semakin luntur karena kesalahan memahami. Untuk memurnikan kembali pemahaman, pada setiap seratus tahun sekali, kata Nabi Muhammad, muncul seorang Mujaddid (pembaru; pemurni).
Nah! Saya sering mendengar itu! Tapi, bisakah kita memastikan siapa saja yang telah muncul sebagai pemurni ajaran Allah dalam setiap seratus tahun itu?
Saya tidak tahu. Mungkin perlu dilakukan pendataan dulu. Tapi apa gunanya?
Lho, memang tidak ada gunanya kalau kita mengetahui siapa mereka?
Gunanya mungkin ada, tapi hanya sedikit. Hanya mengetahui data mati kan? Padahal yang dibutuhkan untuk menghidupkan kembali ajaran Allah adalah ‘data hidup’.
Apa yang anda maksud data hidup itu?
Yaa kita ini lah! Manusia-manusia yang hidup; bukan manusia-manusia seratus atau seribu tahun ke belakang, yang semuanya sudah mati! Kitalah yang mempunyai potensi dan diberi amanat oleh Allah, kalau kita sadar, untuk melakukan usaha-usaha pemurnian itu.
Tapi, mungkinkah itu? Bisakah kita melakukannya?
Bisa saja, kalau kita mau.
Jadi, harus optimis ya?
Bukan hanya optimis, tapi yang terpenting adalah harus menguasai ilmunya. Harus mengerti betul Al-Qurãn. Setelah mengerti Al-Qurãn, baru ada jaminan bahwa kita bisa ber-pikir dan bertindak sesuai ilmu Allah. Kalau sudah berpikir dan bertindak sesuai ilmu Allah, apalagi sudah mencapai tahap ihsãn (jitu), barulah kita punya hak untuk menuntut kebenaran janji Allah.
Janji tentang apa?
Janji bahwa orang beriman pasti unggul! ∆
Sumber:
ahmadhaes.wordpress.com
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
tambah bacaan.. biar lengkap..
BalasHapushttp://abudzakira.wordpress.com/2011/09/25/perpecahan-ummat-sebuah-hal-yang-pasti-terjadi/