Total Pengunjung

AYO MEMBACA ALQURAN SECARA BERMAKNA UNTUK MENATA KEHIDUPAN SEMESTA !!

Minggu, 03 Januari 2010

CERMIN TANPA BAYANG-BAYANG

Kebanyakan orang ingin dirinya menjadi abadi. Mereka ingin dikenang sepanjang masa. Mereka ingin melihat dirinya ada dimana-mana, menempel pada setiap tempat. Ketika mereka membangun rumah, mereka ingin orang lain melihat identitas diri mereka ada pada rumah tersebut. Mereka ingin orang-orang mengatakan bahwa rumah itu berkarakter dirinya, mewakili ciri khas dirinya. Mereka memahat dirinya di bangunan-bangunan dan melukis dirinya di atas wadah apa pun yang masih terlihat bersih dari lukisan lain.

Apapun yang masih terlihat bersih dan polos dari gambar-gambar, goresan-goresan, ataupun bentuk-bentuk, menjadi sasaran dari keinginan menjadi abadi itu. Ribuan keinginan siap menghujani apa saja yang masih polos, hingga kepolosan hanya menjadi kesementaraan saja, selebihnya adalah salinan-salinan dari lingkungan yang memperebutkannya.

Semua bayi terlahir dalam keadaan suci, namun kesucian itu tidak hendak dipertahankan oleh orang-orang di sekitarnya. Mereka gembira dengan lahirnya sosok yang masih jernih sejernih air yang baru memancur dari mata airnya. Mata mereka berbinar-binar melihat secarik sinar harapan bahwa diri mereka akan selalu ada melalui bayi yang baru lahir itu. Seorang Ayah dengan mata yang tersenyum-senyum menerawang jauh ke depan, ia melihat bakatnya, kemampuannya, sifatnya, cita-cita dan harapannya akan terus mengalir melalui anaknya. Seorang ibu pun kembali hidup dalam kesegaran, demi melihat cahaya dirinya yang telah lama termatikan oleh keputusan ibu-bapaknya akan menyeruak kembali, begitu pula dengan langkah-langkah hidupnya yang telah lama tertahan oleh gerak suaminya akan memanjang kembali. Dia berharap anaknya kelak akan menjadi dirinya dan meneruskan cerita dirinya dalam layar kehidupan yang terpaksa tergulung oleh waktu dan keadaan.

Semuanya berebut menodai bayi dengan warna-warni mereka. Mereka saling berebut, dan dengan bangga mengatakan, hidungnya mirip hidungku, matanya mirip dengan mataku, senyumnya mirip dengan senyumku, nanti dia akan pintar sepertiku, cantik sepertiku, tampan sepertiku, dan lain-lain. Bayi yang terlahir dalam keadaan utuh, kini bercerai-berai diperebutkan oleh harapan dan keinginan orang-orang yang merasa memilikinya.

Seorang bapak ingin anaknya menjadi gambaran dirinya. Seorang guru ingin muridnya menjadi lukisan dirinya. Seorang teman ingin melihat temannya menjadi pantulan warna dirinya. Setiap orang ingin bersama dengan yang lain, tetapi dirinya saja yang ingin terlihat.

Semua orang ingin berdiri di hadapan cermin, tetapi bukan cermin yang ingin mereka lihat. Yang ingin mereka lihat adalah diri mereka sendiri. Cermin hanya menjadi wahana untuk memuaskan nafsu mereka akan keberadaan diri mereka. Cermin hanya menjadi alat untuk menyingkirkan kekhawatiran akan ketiadaan diri mereka. Karena itu, mereka suka sekali bercermin dan berkata : Lihat, itulah saya !

Oleh karena cermin dicari bukan karena dirinya sendiri, tetapi karena bayangan yang ingin dilihat dalam dirinya, maka cermin yang tidak bisa memantulkan bayangan seperti yang diharapkan akan dihancurkan. Apabila bayangan itu indah maka bukan cermin yang dipuji tetapi yang mempunyai bayangan itulah yang dipuji. Tetapi jika bayangan itu buruk maka cermin dihancurkan dengan penghinaan dan pengasingan, cermin dianggap telah gagal memantulkan bayangan dengan baik sebagaimana yang mereka harapkan.

Akhirnya, banyak bermunculan cermin-cermin palsu, yang sudah tidak lagi memperhatikan diri mereka sendiri. Mereka tidak peduli dengan kebutuhan mereka sendiri, mereka lebih senang memantulkan bayangan-bayangan orang lain. Cermin-cermin itu tak peduli apakah bayang-bayang yang mereka pantulkan itu palsu atau asli. Bagi mereka, tidak penting menjadi asli atau palsu, yang terpenting adalah membuat orang lain senang. Hal itu terpaksa dilakukan demi memuaskan orang-orang yang senantiasa bersama mereka, agar tetap diaku menjadi bagian dari mereka dan terus dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan mereka. Jadi, bukan mau mereka jika mereka berubah menjadi orang lain. Mereka pun ingin menjadi diri mereka sendiri, tetapi keinginan mereka itu musnah termakan oleh keinginan orang lain. Kita sudah terlanjur hidup di atas meja makan, dimana setiap keinginan saling makan memakan. Dan hanya keinginan empuk saja yang selalu menjadi mangsa. Seandainya keinginan tidak pernah ada, maka yang memakan dan yang dimakan pun juga tidak ada.

Oleh karena cerminnya palsu, maka bayangan yang dipantulkannya juga palsu. Tetapi orang-orang yang senantiasa hidup mencari cermin tidak akan pernah peduli dengan bayangan asli atau palsu. Apabila mata sudah terpuaskan dengan apa yang terlihat, mengapa harus mencari-cari apa yang ada dibaliknya? Begitulah pendapat mereka. Padahal penglihatan mata dan hati bagaikan siang dan malam yang tidak akan pernah datang bersamaan. Apabila mata melihat maka hati pun akan terpejam, dan apabila mata terpejam maka hati pun akan melihat dengan tajam. Sayangnya orang-orang sudah merasa cukup dengan apa yang tampak kelihatan.

Kita menjadi cermin bagi orang lain, dan mereka pun menjadi cermin bagi kita. Orang lain ingin melihat diri mereka ada pada kita, dan kita pun begitu, ingin melihat diri kita ada pada orang lain. Akhirnya, dunia menjadi penuh sesak dengan keinginan terlihat. Dunia menjadi tempat dorong-mendorong, tekan-menekan, dan himpit-menghimpit antar berbagai keinginan. Keinginan yang satu mendesak keinginan yang lain, hingga keinginan yang terdesak kemudian balas mendesak. Terus seperti itu, keinginan menggumuli keinginan setiap waktu dan tanpa berhenti sejenak pun, meski pergumulan itu hanya membuat keringat bercucuran, air mata berlinangan dan darah menetes saling susul-menyusul.

Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan suci, jadi mengapa tidak kita biarkan bayi itu tumbuh dalam kesuciannya. Tugas para orang tua adalah berusaha agar kesucian bayi itu tetap terjaga sampai akhir perjalanannya.

Hentikan melihat keinginan diri sendiri pada bayi, pada anak, pada suami, pada istri, pada saudara, pada teman, juga pada diri sendiri. Kalau hidup terasa tak indah tanpa bercermin, maka bercerminlah pada cermin tanpa bayang-bayang, dan engkau akan melihat bahwa cermin itu tidak memberikan bayangan apa-apa tentang dirimu. Bayangan dirimu tidak ada dalam cermin itu. Dengan begitu engkau pun tak tahu apakah harus bangga dan bergembira hati? Engkau tidak melihat kelebihanmu. Engkau tidak melihat kekuranganmu. Lalu bagaimana engkau bisa mengharapkan penilaian terhadap dirimu? Kalau engkau tidak bisa melihat dirimu sendiri dalam cermin itu. Cermin yang suci dan senantiasa terjaga kesuciannya tidak akan ternoda sedikit pun oleh bayang-bayang.

Kalau semua cermin sudah bersih dari bayang-bayang, barulah hidup ini bisa tenang, hening, senyap seperti sediakala saat semuanya belum diadakan. Yang ada adalah yang ada, dan yang tiada tidak akan pernah ada. Yang memiliki adalah yang ada, dan yang tiada tidak akan pernah memiliki. Semua cermin adalah milik-Nya, jadi biarkan hanya bayang-bayang-Nya saja yang terlihat. Begitulah wasiat sang guru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar