Total Pengunjung

AYO MEMBACA ALQURAN SECARA BERMAKNA UNTUK MENATA KEHIDUPAN SEMESTA !!

Rabu, 03 Juni 2009

MENJADI ROSUL (3)

MENSUCIKAN DIRI

Seorang muslim menerima ayat-ayat Alqur'an sebagai petunjuk yang ia gunakan untuk menyelesaikan problema kehidupan dan kemanusiaan yang ia hadapi saat ini. Untuk itu, ia bersikap sami'na wa atho'na, kami dengar dan kami taat (QS. 24:51) terhadap ayat-ayat yang ia baca sendiri atau yang ia dengarkan dari orang lain.

Suatu malam, ada seorang teman yang bercerita, mengapa ia mampu menghentikan kebiasaannya merokok, karena ia telah membaca ayat yang menyuruh makan makanan yang halal dan thoyyib, lantas ia berhenti merokok secara total. Ia melihat rokok sebagai sesuatu yang tidak thoyyib bagi dirinya karena rokok itu merusak kesehatan dirinya dan juga orang lain. Selanjutnya ia tidak sama sekali merokok seperti ia tidak sama sekali minum khamr atau makan babi. Teman saya yang lain, begitu bersemangat sekali mencari rezeki, agar kelak ia bisa mengamalkan ayat tentang poligami. Ah, teman yang satu itu tentunya lebih banyak dari pada teman yang pertama tadi. Apapun kadar pemahaman mereka terhadap ayat, mereka berusaha membaca, mendengar, lalu mentaati. Kadang saya suka bertanya kepada diri saya sendiri, apakah saya bisa seperti mereka? menerima ayat lalu mentaatinya sebagai petunjuk? Sampai saat ini saya masih terus bertanya, pengetahuan apakah yang telah diterima Umar bin Khattab ketika ia membaca awal-awal surah Thaha? lalu sikap dan pandangan hidupnya terhadap Islam berubah drastis? Sampai saat ini saya masih membaca ayat itu dan tetap saja tidak merasakan apa-apa.

Duhai...
Berapa lama lagi aku harus khatam membaca kitab-Mu sampai aku bisa menerima ajaran-Mu? Lalu, bagaimanakah aku harus mengikuti engkau, wahai Rosulullah?

Seorang muslim menjadi gelisah ketika Alqur'an yang ia baca berulang-kali tidak juga memberikan petunjuk bagi kehidupannya, sementara ia percaya bahwa Alqur'an diturunkan sebagai petunjuk kehidupan, dan ia pun banyak mendengar para pakar Islam sering berkata bahwa kemerosotan umat Islam disebabkan mereka telah hidup menjauhi Alqur'an, tetapi bagaimanakah Alqur'an itu menjadi petunjuk? Lalu berapa kali lagikah Alqur'an harus dibaca?

Duhai...
Dimanakah engkau, wahai Rosulullah?
sungguhkah engkau biarkan kami terombang-ambing kesana kemari mencari kebenaran? Siang malam kami lelah membaca ayat-ayat yang telah engkau sampaikan, tetapi mengapa keadaan kami tidak seperti keadaan orang-orang yang telah engkau bimbing?

Duhai...
Dimanakah engkau, wahai Rosulullah?
Datang dan genggamlah tangan-tangan kami. Seorang diantara kami telah membuat kami tersentak hebat dan terus menjadi gelisah ketika ia berkata: satu-satunya agama besar di dunia yang tidak punya pemimpin adalah Islam. Benarkah? kenyataannya kami memang tercerai berai dan hidup di dalam kotak-kotak kami sendiri.

Seorang muslim menyadari bahwa ada syarat yang harus dipenuhi ketika ia hendak membaca Alqur'an, yaitu: bersuci. Allah berfirman: laa yamassuhu illal muthaharuun, tidak bisa menyentuh Alqur'an kecuali orang-orang yang telah disucikan. Setelah menerima ayat itu, seorang muslim tidak sekedar mensucikan tubuhnya saja dengan mandi junub dan berwudhu, tetapi ia juga mensucikan jiwanya dari kotoran dan najis-najis yang menodai hubungannya dengan Allah. Persentuhannya dengan Alqur'an bukan hanya persentuhan fisik belaka, melainkan juga persentuhan jiwa. Bagaikan bersama pasangan jiwanya, ia bersentuhan dengan Alqur'an melalui jiwa-raganya. Dengan mensucikan jiwa-raganya, ia membuka diri secara penuh untuk dirasuki oleh ruh suci Alqur'an. Ketika itu, alqur'an mulai menjadi sikap dan pandangan hidupnya. Mulai saat itu, ia tidak hanya kecewa dan tersakiti ketika lembaran-lembaran Alqur'an dirusak dan dinista. Ia juga kecewa dan tersakiti, ketika ajaran-ajaran Alqur'an dirusak, dinista dan diselewengkan.

Seorang muslim yang melakoni peran Rosulullah mulai mensucikan dirinya baru kemudian mensucikan orang lain. Ia harus tersucikan terlebih dahulu sebelum mensucikan orang lain. Bagaimanakah ia mensucikan dirinya? Sebagai muslim, ia telah menerima Muhammad Rosulullah saw sebagai teladan kehidupan (QS.33:21) Maka, ia membaca dan menjiwai kehidupan Muhammad Rosulullah saw, bagaimanakah beliau mensucikan dirinya dan umatnya.

Semenjak muda, Muhammad bin Abdillah senantiasa menenggelamkan dirinya ke dalam samudra pemikiran dan perenungan yang luas. Kegiatannya sebagai penggembala kambing dan keikutsertaannya dalam perjalanan-perjalanan dagang, memberinya waktu yang cukup untuk berada di tengah-tengah gurun pasir yang luas, di bawah langit malam yang bersih, bertemu dengan berbagai bentuk pemikiran, tradisi dan kepercayaan dari masyarakat-masyarakat yang ia singgahi. Semua pengalaman itu memberinya ruang yang cukup baik baginya untuk memikirkan tentang kebenaran. Apakah kebenaran itu? Adakah kebenaran itu pada masyarakat paganisme yang begitu sangat bergantung pada benda-benda yang diberhalakan? Ataukah kebenaran itu ada pada perdebatan-perdebatan dan propaganda teologi Yahudi dan Nasrani? ataukah ada pada tempat yang lain?

Ia terus berpikir tentang kebenaran, dan selama itu pula ia menghindarkan diri dari kemewahan dan pesta masyarakat kota. Ia juga membebaskan dirinya dari tradisi penyembahan berhala-berhala. Pada saat yang sama, ia tetap berlaku santun, bersikap dermawan, berkata lembut dan baik, menjaga silahturrahmi, dan menjadi orang yang dapat dipercaya oleh siapa saja hingga ia mendapatkan tempat istimewa di hati masyarakatnya. Pada waktu-waktu tertentu, ia mengikuti tradisi-tradisi masyarakat yang hanif, menyendiri di tempat-tempat sunyi untuk berpikir sungguh-sungguh dan lebih mendalam lagi tentang apakah kebenaran itu?

Dalam upaya mensucikan diri, Muhammad telah meneladani Ibrahim, yaitu: membebaskan diri dari perilaku penyembahan berhala. Di tengah perilaku paganisme yang dipercaya sebagai kebenaran oleh masyarakat saat itu, keduanya berlepas diri dan menjadi terasing dari apa yang dianggap benar pada saat itu.

Nabi Ibrahim as adalah teladan yang baik bagi generasi muslim selanjutnya (QS. 16:120) dan Nabi Muhammad saw mengikutinya (QS. 16:123) kemudian ia pun menjadi teladan yang baik pula bagi generasi muslim sesudahnya (QS.33:21). Dan... mengapakah kita tidak menjadikan Muhammad Rosulullah saw sebagai teladan ketika ia mensucikan dirinya dan masyarakatnya dengan cara membebaskan diri dari ketergantungan kepada segala sesuatu selain Allah?

Sebagai penerus tugas kerosulan, seorang muslim hendaknya membebaskan dirinya dari ketergantungan kepada berhala-berhala yang bisa saja berupa harta, jabatan, anak dan keluarga, status sosial, pekerjaan, koalisi politik, gurunya sendiri, dll. Ia juga membebaskan masyarakatnya dari ketergantungan itu semua dan juga dari dirinya sendiri. Ia tidak menyembah berhala dan ia juga tidak membiarkan dirinya diberhalakan oleh orang lain. Ia harus membersihkan tempat-tempat ibadahnya dari berhala-berhala yang berupa kepentingan-kepentingan dan pendapat pribadi ataupun kelompok.

Jika setiap kelompok di masyarakatnya memiliki berhalanya masing-masing, baik dalam bentuk visi misi, gagasan, atribut atau simbol-simbol kelompok, maka ia harus menghancurkan semua berhala itu dan mengajak mereka kembali kepada visi misi, dan gagasan Tuhan yang satu. Berhala terbesar yang harus ia hancurkan adalah berhala dalam rupa dirinya sendiri, agar ia pun tidak menjadi tuhan kecil di samping Allah (QS. 3:64). Maka, seperti perintah Musa kepada kaumnya, ia pun membunuh dirinya sendiri (QS. 2:54) dengan cara mematikan keakuan dirinya. Ketika keakuan dirinya telah mati, ia berhenti beraku, baik aku dalam pikir, kehendak dan perbuatan. Dengan berhenti beraku, ia memberi semua ruang hidupnya kepada Tuhan. Ia mengajak masyarakatnya kepada kehendak Tuhannya, bukan kehendak dirinya. Ia mengajak kepada ajaran dan pandangan hidup Tuhannya, bukan ajaran dan pandangan hidup dirinya. Dengan begitu, ia telah membebaskan dirinya dan masyarakatnya dari segala ketergantungan kepada selain Allah. Dengan begitu, jiwanya menjadi suci dari najis-najis kemusyrikan, baru kemudian ia dapat menerima ajaran-ajaran Allah yang ia temui dalam Alkitab dan Assunnah lalu menyampaikan ajaran-ajaran itu kepada masyarakatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar