Total Pengunjung

AYO MEMBACA ALQURAN SECARA BERMAKNA UNTUK MENATA KEHIDUPAN SEMESTA !!

Senin, 20 Oktober 2008

Burung Bego

BURUNG BEGO

Suatu ketika, KH Syafi’i Hadzami, seorang Ulama besar Jakarta bertanya kepada seorang anak muda, pertanyaan main-main tapi mengandung pelajaran yang sangat luhur dan agung. Saking luhur dan agungnya pelajaran itu, dalam waktu yang bisa dibilang singkat, dapat mengantarkan posisi anak muda itu kepada keluhuran dan keagungan setelah keterpurukannya yang teramat dalam. Kehadiran anak muda itu kini, dengan nasehat-nasehat yang disampaikannya dilayar kaca, on the movie, dan secara live dari atas mimbar, mampu menjawab kerisauan dan kegelisahan umat. Semoga Allah terus memberikannya taufik dan hidayah serta memanjangkan umurnya dalam keberkahan, amin.

Pertanyaan main-main itu begini, burung apa yang punya sayap tapi tidak mau terbang? Anak muda itu berfikir, sang mu’allim menjawab: burung malas!! Burung apa yang tidak tahu bahwa dia punya sayap? Anak muda itu berfikir lagi, sang Mu’allim menjawab lagi: burung bego! Gimana ga bego lah kedua sayapnya jelas nempel di samping kanan dan kiri masa tu burung ga tau? Sang Mu’allim menjelaskan dimana letak kebegoan atau ketololan burung tersebut.

Dimana pelajarannya? sang Mu’allim menjelaskan: dua rakaat Qabliyah dan dua rakaat Ba’diyah adalah sayap bagi sholat zhuhur. Orang yang sholat zhuhur tanpa sholat Qobliyah dan Ba’diyah bagaikan burung yang punya sayap tapi tidak mau terbang atau bahkan malah tidak tahu kalau ia punya sayap.

Tampaknya seperti pelajaran biasa saja yang memang biasa diajarkan oleh para ustadz kepada murid-muridnya. Empat rakaat sholat zhuhur adalah amalan wajib bagi umat Islam. Wajib artinya jika dikerjakan maka berpahala dan jika ditinggalkan maka berdosa. Dua rakaat Qabliyah dan Ba’diyah Zhuhur adalah amalan sunnah, artinya jika dikerjakan berpahala dan jika ditinggalkan tidak apa-apa. Dari pertanyaan main-main itu, sang Mu’allim ingin menjelaskan satu rahasia...bahwa muslim yang tidak mengerjakan amalan sunnah adalah muslim malas lalu berevolusi menjadi muslim bego karena tidak tahu bahwa rahasia kejayaan terletak pada sunnah.

Terkadang kita sudah merasa cukup mengerjakan amalan-amalan wajib tanpa menambah dengan amalan-amalan sunnah. Dengan begitu, sudah cukupkah kita bersyukur kepada Allah atas ni’mat-ni’matnya yang tak terhingga banyaknya? Mungkin cukup untuk mensyukuri ni’mat hidup. Tapi apakah cukup hanya sekedar hidup saja?

Seorang anak pergi ke sekolah sampai menjadi sarjana kemudian bekerja sebagai karyawan dengan penghasilan cukup makan, cukup tidur dan sisanya habis untuk transport. Kadang bisa nabung sedikit untuk menikah dengan pasangan yang juga bekerja. Penghasilan berlipat dua, tapi kebutuhan juga berlipat dua bahkan berlipat tiga dengan kehadiran anak. Akhirnya jam lembur ditambah untuk menutupi kebutuhan. Pergumulan hidup hanya pada: berangkat kerja pagi-pagi (pasti persiapan sejak shubuh), kerja lembur pulang malam-malam, menatap layar TV lama-lama (itu kalau pulang sore-sore karena tidak kerja lembur), tidur cepat-cepat supaya bisa bangun untuk berangkat kerja lagi pagi-pagi. Begitu terus sampai akhir bulan: gajian dengan jatah pembagian yang sudah menunggu jauh-jauh hari. Gaji habis, ludes, kalaupun ada tabungan pasti habis ludes juga saat idul fitri tiba. Cerita dimulai lagi dari episode awal dengan siaran ulang yang diputar berulang-ulang, yaitu: bangun pagi-pagi, pergi kerja cepat-cepat, pulang malam-malam, tidur cepat-cepat, supaya bisa bagun lagi pagi-pagi dan begitu terus, persis seperti tupai yang berlari pada roda putaran di dalam kandang, semakin cepat dia berlari semakin cepat roda berputar tapi dia tidak kemana-mana, tetap diam di dalam roda putarannya di dalam kandang.

Seperti itukah kehidupan kita? Lalu kapan kita bisa membuat majelis ilmu di keluarga dan masyarakat? Kapan kita bisa berjalan-jalan memperhatikan tanda-tanda kebesaran dan keadilan Allah yang begitu banyak terhampar di muka bumi ini? kapan kita bisa menengok tetangga yang sedang nestapa dan mengusap kepala anak yatimnya? Kapan kita bisa menghibur kerabat yang terbaring lemah menahan sakit? Kapan kita bisa terbebas dari penderitaan hidup kita sendiri yang begitu melelahkan sendi-sendi tubuh, meredupkan cahaya wajah dan mengeringkan air mata? Apa yang kita peroleh sesuai dengan apa yang kita kerjakan.

Siang itu, tahun 2003, anak muda tadi mengadukan kepada sang Mu’allim satu permasalahan yang begitu berat dirasakannya. Menurut logika dan keadaannya pada saat itu sangat sulit terselesaikan. Panas, perih, menyesakkan dada. Bayangkan, batu besar menindih di atas dadamu yang terlentang dihamparan tanah berpasir berbatu. Ya! Persis! Seperti sahabat Bilal ra. Batu besar itu adalah hutang sejumlah satu koma empat milyar rupiah! Sangat besar bagi orang yang bukan kepala negara yang bisa melimpahkan beban batu besar itu ke setiap dada rakyatnya. Anak muda itu bukan pula kepala perusahaan yang bisa melego aset-asetnya. Anak muda itu hanyalah kepala bagi dirinya sendiri yang sudah nyut-nyutan terasa mau pecah.

“Pantes kalo begitu,” kata sang Mu’allim setelah anak muda itu bercerita tentang kesulitan hidupnya, setelah anak muda itu menjawab empat rakaat dari pertanyaan: “berapa rakaat sholat zhuhur?” setelah anak muda itu berargumen bahwa amalan sunnah itu berpahala jika dikerjakan dan tidak mengapa jika ditinggalkan. Anak muda itu ialah Ust. Yusuf Mansur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar