Total Pengunjung

AYO MEMBACA ALQURAN SECARA BERMAKNA UNTUK MENATA KEHIDUPAN SEMESTA !!

Kamis, 07 Agustus 2008

BUNDA, SIAPKAH KITA?

Setiap malam, aku selalu mengamati wajah anak perempuanku, Aura Aqluna Rahim. Hanya ketika dia tertidur aku bisa mencoba memahami anakku sendiri. Melalui air mukanya aku berusaha menyelami hatinya. Mampukah? Dia memang anak biologisku, darahku mengalir di dalam daging-daging tubuhnya. Aku bisa berkata kepada semua orang bahwa dia anakku. Apa yang dia makan, apa yang dia baca, dan siapa yang dia temani, semuanya masuk dalam pengawasanku. Tapi apakah relung-relung hatinya juga milikku? Bisakah aku memilihkan lintasan-lintasan perasaan untuk hatinya? Bisakah aku mengawasi gerak-gerik hatinya? Meskipun aku sadar bahwa aku tidak bisa berjalan-jalan di taman hatinya, rasa penasaranku tetap saja selalu mengajak mencari tahu. Melalui air mukanya mungkin saja aku bisa mengukur kedalaman hatinya. Semoga.
Setiap malam, saat menatapi wajahnya yang terlelap, aku tersadarkan bahwa semakin lama kedua tangan ini sudah tidak cukup lagi dapat menenangkannya dari kesedihan. Rumah ini juga tidak akan mampu lagi memberinya perlindungan dari ketakutan dan kecemasan. Itu karena dunianya telah semakin luas. Hati dan pikirannya telah mampu melesat jauh melebihi apa yang mampu dijangkau oleh kaki, tangan dan panca inderanya. Zaman yang akan dilaluinya tidak akan sama lagi dengan zamanku atau zamannya saat ini. Kadang aku begitu cemas memikirkan apa yang bisa dijadikannya pegangan saat melalui zaman itu. Dengan apa dia bersandar pada saat itu.
Anakku, engkau semakin besar, semakin lincah bergerak kesana kemari. Sebentar saja Ayah lengah, engkau hilang dari pandangan. Duhai anakku, semakin besar engkau semakin menyenangkan, juga mengkhawatirkan. Senang melihatmu tumbuh menjadi anak yang aktif dan selalu mau tahu tentang apa-apa yang ada di sekitarmu. Tapi Ayah juga khawatir engkau cedera, terluka. Sebisa mungkin Ayah mengawasimu, menjauhkan benda-benda yang mungkin bisa melukaimu, atau memegang badanmu agar engkau tidak terjatuh.
Kekhawatiran Ayah tentang keselamatanmu saat ini belum seberapa dibandingkan nanti, ketika engkau telah melewati masa balitamu, memasuki masa kanak-kanak, kemudian remaja dan terus dewasa. Melewati masa-masa itu, kekhawatiran Ayah akan semakin bertambah-tambah.
Anakku, kalau saat ini engkau begitu cepat hilang dari pandangan Ayah, bagaimana nanti saat kaki-kakimu sudah kuat berpijak, melangkah dan berlari. Bagaimana nanti saat tanganmu sudah jauh menjangkau dan erat menggenggam. Bagaimana nanti saat matamu sudah melihat indahnya pelangi membentang di langit luas sana. Bagaimana nanti saat telingamu sudah mendengar keinginan dan harapan yang berhembus-hembus dari sekitarmu atau bahkan dari dalam hatimu sendiri. Bagaimana nanti saat hatimu...ya hatimu sudah tidak lagi terbatasi oleh jarak dan waktu. Akankah Ayah tetap bisa mengawasimu? Menjauhkan benda-benda yang mungkin akan bisa melukaimu? Atau memegang badanmu agar engkau tidak terjatuh?
Bertambah umurmu, bertambah pula rasa khawatir Ayah padamu, anakku.
Kalau saat ini engkau terluka, mungkin Ayah bisa mengobatimu karena Ayah melihat air matamu dan mendengar tangismu. Tapi nanti, mungkin engkau tidak menitikkan air mata ketika engkau terluka, mungkin engkau tidak menangis bila engkau tersakiti. Bagaimanakah Ayah akan tahu anakku, bila yang terluka adalah hatimu, bila yang tersakiti adalah jiwamu.
Ya Allah, akulah hamba-Mu yang takut jika anakku nanti berjalan di bumi-Mu dalam keadaan lemah. Kedua tangannya tak kuasa melepaskan apa yang ada dalam genggamannya. Kedua matanya tak kuasa menahan silaunya keindahan dunia. Kedua telinganya tak kuasa membendung harapan-harapan yang senantiasa membisiki siang dan malam. Hatinya membuncah dengan keinginan. Dengan kedua kakinya dia berlari, tergesa-gesa, cepat sekali, demi mencapai apa yang dilihatnya dan didengarnya. Tapi ya Allah, apa yang diperolehnya hanyalah fatamorgana. Duhai, hatinya tentu nestapa, jiwanya tentu merana. Matanya menangis tanpa air mata, bibirnya menjerit tanpa suara. Akan ada di manakah aku saat itu ya Allah?
Bunda, lihatlah...dengan kedua kakinya yang mungil itu dia mencoba berdiri, bersandar pada sisi meja kecil. Kadang dia berdiri tiba-tiba, lantas kita sodorkan tangan kita siap menjadi sandaran tubuhnya agar tidak jatuh. Duhai Bunda, selama hidupnya dia akan tetap memerlukan tempat bersandar. Semakin tumbuh besar dan dewasa, semakin kokoh sandaran yang harus dia miliki.
Ya Bunda, lima atau sepuluh tahun pertama mungkin kita akan siap menjadi sandaran baginya. Tapi selanjutnya, akankah kita selalu siap menjadi sandaran baginya? Kuatkah kita menjadi sandaran baginya?
Saat ini pun kita masih membutuhkan tempat bersandar kala keletihan, kesedihan, kecemasan dan ketakutan datang mendera. Sedih dengan keputusan-keputusan yang salah. Sedih karena terlanjur membeli barang yang sebenarnya tidak kita butuhkan. Atau kita cemas dengan keadaan ekonomi rumah tangga kita yang belum menentu, sementara harga-harga begitu pastinya mendaki naik. Saat kita sedih dan cemas, kita membutuhkan tempat bersandar. Lalu bagaimanakah kita bisa menjadi sandaran hidup bagi buah hati kita? Apalagi nanti saat dadanya sudah begitu sesak dengan keinginan-keinginan dan pundaknya sudah begitu lelah memanggul sejumlah harapan-harapan.
Duhai Bunda, apakah kita juga akan ikut andil menyesaki dadanya dengan keinginan-keinginan kita? Apakah kita juga akan ikut andil membebani pundaknya dengan sejumlah harapan-harapan kita? Seperti kebanyakan orang tua yang begitu besar menaruh harapan anak-anaknya bisa memberi kebanggaan. Dimasukkan ke sekolah Favorit, harus belajar ini belajar itu, harus les ini les itu.
Ya Allah, begitu luas samudra kasih sayang-Mu, hingga tetes-tetes air mata keluh kesah dari hamba-hamba-Mu hilang begitu saja tersapu ombak cinta-Mu. Ampuni dosa-dosa kami ya Allah, ketika kami lupa bahwa Engkaulah tumpahan kesedihan dan kecemasan, ketika kami lupa bahwa Engkaulah tumpuan harapan dan keinginan. Ya Allah, rengkuhlah diri kami, sandarkan tubuh dan jiwa kami yang lemah ini pada keagungan-Mu.
Ya Allah, anugerah-Mu begitu besar kami rasakan ketika Engkau hadirkan di tengah-tengah kami bayi mungil yang menghiasi pandangan dan menyegarkan jiwa. Dengannya Engkau sematkan di dada kami perhiasan dunia. Ya Allah, dengan kemurahan-Mu dan luasnya rahmat-Mu, jadikan perhiasan itu sebagai penghantar berkah dan kenikmatan disepanjang hidup kami, jadikan sebagai obat tatkala kami sakit, jadikan penghibur tatkala kami lelah.
Ya Allah, anak kami adalah titipan dari-Mu. kami menyadari, Engkau akan meminta pertanggunganjawab dari kami, bagaimana kami menjaga titipan-Mu. Ya Allah, Engkaulah Tuhan yang Maha Mengetahui, tiada yang tersembunyi dari-Mu. Engkaulah Tuhan yang menerangi segala kegelapan, hanya dengan cahaya petunjuk-Mu kami mampu menunaikan amanah dari-Mu, kami tidak sanggup jikalau nanti dia menjadi teman yang melenakan kami dari mengingat-Mu atau menjadi musuh yang menyeret kami ke neraka-Mu.
Ya Allah, ampuni dosa-dosa masa lalu kami agar lidah kami ringan menuturkan kebenaran-Mu. Bersihkan hati kami dari noda-noda maksiyat hingga hati kami mampu memantulkan cahaya-Mu. Amin.
Setiap malam, saat menatap wajah kecilmu, kalimat-kalimat penuh keluh kesah, kekhawatiran, dan ketakutan seperti itulah yang merajai hatiku.
Ada apa ini? Dulu, saat awal menikah, aku berharap sekali memperoleh anak. Harapan berubah menjadi kebahagiaan saat istri mengandung. Dan puncaknya adalah ketika bidan menyodorkannya kepadaku untuk diadzani. Mungkin itu adzan yang paling merdu dan paling khusuk yang pernah aku kumandangkan. Dengan suara bergetar aku berbisik...
“Allah Maha Besar anakku, dengarlah...Allah Maha Besar.”
“Ya, Ayah. Kebesaran-Nya telah mecukupi kebutuhan-kebutuhanku saat aku tinggal di dalam rahim Bunda.”
“Aku, dan juga engkau, tetaplah bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rosul Allah.”
“Aku telah ikrarkan kesaksian itu Ayah. Tapi, lihatlah Ayah! Tipu daya telah berhembus pada diriku. Dan hembusannya semakin bertambah-tambah. Aku takut kesaksian itu akan sirna berhamburan.”
“Marilah senantiasa kita dirikan sholat, anakku. Sholat itulah yang akan membentengi kita dari hembusan-hembusan jahat itu.”
“Ya, Ayah. Semoga Allah selalu melimpahkan anugerah daya dan kekuatan kepada kita dalam meniti ketaatan pada-Nya.”
“Kebesaran-Nya akan mencukupi kebutuhan kita. Seperti saat engkau di dalam rahim Bunda, apakah di sana engkau merasa kekurangan? Tertimpa kesedihan atau terserang kecemasan?”
“Tidak, Ayah. Dimanakah kekurangan, kesedihan dan kecemasan? Sementara di sana Dia selalu meliputi, dan juga di sini.”
Kini, getar-getar kebahagiaan itu lambat laun berubah menjadi kecemasan, kecemasan yang sangat. Kecemasan yang melorotkan tulang-tulangku dari persendiannya sampai aku tidak kuat lagi berdiri dan mendongakan kepala sambil berkata: “lihatlah! Itulah anakku yang akan meneruskan jejak langkah hidupku.” Kecemasan itu terus menekanku untuk tetap bersimpuh, meratap. Apa yang aku ratapi? dia, anakku? Bukan! Tapi aku meratapi diriku sendiri.
Aku tidak mencemaskan bagaimana anakku mengarungi hidup ini. Aku juga tidak mengkhawatirkan kemana dia akan menjejakkan kakinya, melangkah menelusuri hidup ini. Dia hanyalah anak panah yang melesat menuju tujuannya sendiri. Sang pemanah telah membidikkannya, dan ketika dia melesat tidak ada yang mampu menyimpangkan arahnya. Jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan tentangnya karena dia berada ditangan sang pemanah yang mengetahui dengan tepat kemana harus dibidikan. Yang aku cemaskan adalah diriku. Ya Allah, sanggupkah aku menjadi busur-Mu?
Aku telah membaca riwayat yang bercerita tentang seorang Ayah yang dipanggil kembali, tidak jadi memasuki surga. Anaknya protes, mengapa dia masuk surga sedangkan aku sendiri, anaknya, masuk neraka? Seharusnya dia bertanggung jawab atas pendidikanku, tapi malah dia asyik masyuk sendiri dalam ibadahnya sementara aku dibiarkannya terlena dalam kubangan dosa. Akhirnya keduanya masuk neraka bersama-sama.
Lalu bagaimana denganku. Mampukah aku membimbingnya dan menjaga fitrahnya sebagai hamba-Mu, ya Allah? Mampukah aku tetap menjaga dialog-dialog tauhid itu seperti saat awal kedatangannya di dunia ini?
Setiap malam pada tahun pertama usianya, saat kutatap wajahnya lelap, hal-hal seperti itulah yang aku cemaskan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar