Total Pengunjung

AYO MEMBACA ALQURAN SECARA BERMAKNA UNTUK MENATA KEHIDUPAN SEMESTA !!

Sabtu, 05 Desember 2009

Kisah Tentang Haji Abu Mardud

Sepulang dari tanah suci, orang-orang ramai berdatangan ke rumah Haji Abu Mardud, haji baru, dia baru pulang dari tanah suci tadi subuh. Tetangga dan handai taulan silih berganti datang mengunjungi, bersilaturahmi, menanyakan hal-ihwal perjalanan haji beliau, sambil sedikit berharap, siapa tahu ada oleh-oleh haji yang bisa dibawa pulang.

Selepas maghrib, Haji Abu Mardud bergegas ke rumah gurunya. Dia paham betul soal etika dan tata hubungan antar manusia yang senantiasa harus dijaga, apalagi etika antara guru dengan murid. Konon, Haji Abu Mardud termasuk murid yang tak pernah absen menghadiri majelis ilmu gurunya. Dia mengambil kepahaman, biarpun seringkali mata lebih cepat menangkap rasa kantuk, dibanding telinganya yang lamban menangkap ceramah-ceramah gurunya, tebaran sayap para malaikat akan menaungi siapa saja yang duduk di dalam majelis ilmu tanpa pilih-pilih, termasuk dirinya.

Tuan Guru hanya tersenyum penuh hikmah mendengar cerita-cerita muridnya itu, lalu ia bertanya ; “Apakah kamu, ketika mulai memakai pakaian ihram, hatimu ingat dengan kain kafan yang kelak kamu kenakan ? Dan hatimu bertekad, mulai saat ini juga semua baju kesombongan dan seragam kemunafikan akan kamu tanggalkan, kamu ganti dengan baju takwa, pakaian tawadhu dan jubah kesederhanaan ?”
“Tidak, guru,” jawab Haji Abu Mardud.
“Apakah kamu ketika berhenti di Miqat, hatimu juga mengatakan akan berhenti dari perilaku zholim, buruk sangka, makan harta riba dan semua kejahatan lainnya ?”
“Tidak, guru.”
“Apakah kamu ketika wukuf di Arafah, kamu bertekad bulat akan menghentikan hatimu dari kesibukkan-kesibukkan dunia dan tetap berdiam di tengah-tengah padang ketaatan kepada Allah ?”
“Tidak, guru.” Jawab Haji Abu Mardud bertambah gugup.
Sang guru menangis dan berkata : “ Engkau belum berhaji anakku..”

Haji Abu Mardud pulang membawa semua kesedihan. Air mata guru kini tergenang di matanya. Nasehat-nasehat guru terngiang-ngiang di telinganya, meresap ke dalam otak pikirannya kemudian turun ke hatinya. Terkepal tangannya menggenggam tekad bulat : tahun depan aku harus berhaji lagi. Tekadnya penuh bersemangat. Semangat beribadah kini berkobar-kobar di dalam dadanya.

Tahun berikutnya, Haji Abu Mardud berangkat ke tanah suci guna menunaikan ibadah haji yang kedua kalinya, dan sampai ketiga kalinya di tahun berikutnya. Dia harus yakin, bahwa hajinya telah berhasil. Jangan sampai orang-orang memanggilnya bapak haji, tetapi gurunya bilang : engkau belum berhaji, anakku. Itu adalah kerugian yang teramat besar.

Tuan guru telah mendengar berita kepulangan Haji Abu Mardud dari tanah suci. Lalu beliau pergi mengunjungi rumah muridnya yang termasuk setia itu. Haji Abu Mardud kaget demi melihat gurunya tiba-tiba berada di depan rumahnya. Apalagi saat itu dia tengah tak berkopiah. Urusan memakai kopiah bukan urusan yang sepele bagi orang-orang pengajian seperti Haji Abu Mardud. Segera dia menyeru anaknya : “ Nak, tolong ambilkan peci haji bapak di kamar!” Haji Abu Mardud malu tertangkap basah oleh gurunya.
“Peci haji yang mana, pak ?” teriak sang anak kebingungan
“Peci haji yang bapak beli pada waktu haji ketiga kemarin!” jawab Haji Abu Mardud sambil berharap gurunya mendengar bahwa dia sudah berusaha berhaji dengan benar, sampai tiga kali.
Mendengar hal itu, sang guru menangis sedih melihat keadaan muridnya. Haji Abu Mardud bingung melihat gurunya menangis. Dia bertanya : “Ada apa guru, kenapa engkau menangis ?” sang guru menjawab : “Sifat riyamu telah menggugurkan ibadah hajimu, anakku!” Sang guru berlalu.

Haji Abu Mardud bingung melihat gurunya berlalu begitu saja dari hadapannya. Hanya isak tangisnya saja yang sempat masuk ke rumah, menemani Haji Abu Mardud yang kini jatuh terduduk dalam perenungannya yang dalam :”Sudah tiga kali aku berhaji, tetapi hajiku masih gagal juga. Puluhan juta rupiah terbuang begitu saja dengan sia-sia. Ternyata haji bukan soal kemampuan uang dan fisik saja, tetapi juga soal hati. Ternyata selama ini hajiku tanpa hati. Tubuh keringku ini telah lelah terlempar kesana-kemari oleh arus jutaan jemaah haji, tetapi tak sedikit pun nilai-nilai haji aku bawa pulang ke tanah air. Tiga kali aku sudah gagal, tetapi tidak untuk yang keempat kalinya nanti. Istriku, Hajjah Riya Sum’atun Amaliyah juga harus ikut serta. Tahun depan, kami berdua harus berangkat haji lagi, tentu saja kali ini berhaji tanpa lupa membawa hati.”

Kasihan Haji Abu Mardud, semoga di tahun haji berikutnya namanya berubah menjadi Haji Dhaifullah Al Mabrur wal Maqbul, amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar