Total Pengunjung

AYO MEMBACA ALQURAN SECARA BERMAKNA UNTUK MENATA KEHIDUPAN SEMESTA !!

Selasa, 02 September 2008

Ketika Dilahirkan kembali

Judul diatas pasti langsung mengarahkan pikiran anda pada sosok bayi mungil, bayi siapa saja dan tidak perlu kita pertanyakan bagaimana proses kelahirannya, dengan sengaja atau tidak sengaja, dengan cinta atau nafsu, dengan rela atau terpaksa, pasti bayi itu bersih dari iri, dengki, dendam, amarah, salah dan dosa। Ya! Semoga kitalah bayi-bayi itu, yang dilahirkan kembali setelah sebulan penuh berpuasa, tentunya dengan penuh keimanan dan keikhlasan.

Dalam tulisan ini saya tidak membahas tentang kelahiran kita kembali seperti bayi yang tanpa salah dan dosa, karena sebentar lagi kita pun pasti akan kembali berbuat salah. Toh, manusia memang tempatnya salah dan lupa. Dunia ini memang pertarungan antara pahala dan dosa, saling himpit-menghimpit, saling desak-mendesak, dan hasil akhirnya su’ul khotimah atau husnul khotimah Dia yang menentukan pemenangnya. Jadi, biarkan masalah pahala dan dosa itu menjadi wewenang-Nya. Lagipula manusia masuk sorga atau neraka bukan karena besarnya pahala atau dosa tapi semata-mata karena besarnya kasih sayang dan keadilan-Nya.

Text Box: Kita melihat orang-orang mengalami kemajuan selama beberapa waktu, tetapi tiba-tiba mandek. Kapan mereka mandek? Mereka mandek saat kehilangan individualitas mereka.  (John Stuart Mill) Yang ingin saya bahas di sini adalah adanya simbol dilahirkan kembali seperti bayi merupakan isyarat agar kita terus melakukan pendewasan diri, pematangan diri. Dilahirkan kembali agar kita menjadi dewasa yang sebenarnya. Seperti nanti kita dimatikan agar menjadi hidup yang sebenarnya. Tapi seringkali kita lupa bagaimana caranya melakukan pendewasaan diri seperti yang dulu kita lakukan pada pertama kali kita benar-benar dilahirkan.

Dahulu, rasa ingin tahu kita sangat besar. Tanya ini dan Tanya itu. Kita sibuk melakukan eksperimen, kita bongkar mainan baru dan bagus, hanya karena ingin tahu ada apa di dalamnya. Sampai kita berani ingin memegang api, hanya karena ingin tahu. Tapi sekarang? Dahulu, kita selalu ingin bisa. Ingin bisa jalan, tidak lelah-lelahnya kita berlatih. Ingin bisa bicara seperti orang lain, tidak bosan-bosannya kita mengulang ucapan mereka.

Kita pun sering berebut buku, pulpen, pensil dengan kakak, hanya karena ingin seperti kakak. Kita tidak peduli dengan kesalahan-kesalahan yang kita buat, dengan kegagalan-kegagalan, kita terus berlatih dan mencoba. Tokh, yang lain bisa, kenapa kita tidak ? Akhirnya kita berhasil ! Dalam waktu satu tahun, kita sudah mengerti bahasa yang mereka ucapkan. Setidak-tidaknya kita mengerti apa yang mereka mau dari kita. Dalam waktu dua tahun kita sudah lancar berbicara ! Di tambah beberapa bulan lagi, kemahiran berbicara kita sudah seperti orang dewasa. Dalam waktu yang sama pun kita bisa berjalan ! Bahkan berlari !

Dahulu, melalui keuletan dan kegigihan, kita beroleh kemajuan yang sangat pesat. Kita mampu mempelajari berbagai kemampuan dalam waktu yang sangat singkat. Tahun-tahun berikutnya kita bisa membaca, menulis, berhitung dan lain-lain. Tapi sekarang ? Kita malas, cepat bosan, cepat lelah kalau sedang belajar atau berlatih. Waktu kita lebih banyak dihabiskan di depan televisi saja, bengong melihat cowok ganteng, cewek cantik, kulit mulus, mobil mentereng, rumah mewah, lalu pingin, terus ngimpii… sementara yang kita bisa lakukan sekarang kita abaikan. Kita lupa bagaimana caranya berkembang pesat, menjadi dewasa dengan gigih belajar dan berlatih seperti dahulu kita masih bayi, masi anak-anak.

Jadi, percuma saja kalau setiap idul fitri kita dilahirkan kembali seperti bayi, tapi kita lupa semangat bayi, semangat anak-anak yang selalu ingin tahu, selalu ingin bisa. Yang kita punya hanya cengeng, manja, maunya segalanya tersedia. Coba bayangkan ! Kalau kita kita tidak akan dilahirkan kembali, itu berarti kita juga tidak akan brtemu idul fitri tahun depan, itu berarti kita dimatikan, kalau kita mati, habis kesempatan kita. Mungkin jasad kita belum dimatikan, tapi pikiran, indra, hati, dan nalar kita dimatikan. Mati sebelum jasad berkalang tanah. Apalagi mati semuanya. Habis sudah kesempatan kita, nanti kita hanya bisa berteriak ; “Ya Tuhan, seandainya aku dilahirkan kembali ke bumi,” Mungkin malaikat dengan bengis akan menghardik kita : “Lho, bukannya kamu tadi dari sana !”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar