Total Pengunjung

AYO MEMBACA ALQURAN SECARA BERMAKNA UNTUK MENATA KEHIDUPAN SEMESTA !!

Minggu, 29 Juli 2012

Materialisme Adalah Penyebab Kegagalan Khalifah Bani Israil (1)

Kita belajar dari kegagalan Khalifah Bani Israil agar kita tidak mengulangi kesalahan yang sama yang menyebabkan kita gagal menjalankan tugas fungsional sebagai Khalifah: Penanggung Jawab Kehidupan Bumi. Dari rangkaian ayat 40 - 123 di surat Albaqarah, kita telah membaca bahwa kegagalan tersebut di sebabkan mereka mengkhianati Allah. Uraiannya sudah kita bahas di sini dan di sini. Sebab lainnya adalah mereka bersikap material oriented.

Sikap material oriented adalah sikap hidup yang berorientasi kepada materi atau kebendaan yang tampak. Sikap hidup ini bersandarkan pada ajaran filsafat Materialisme. Secara gamblang, kecenderungan Bani Israil terhadap materialisme di ungkap oleh Alquran: "Dan ingatlah ketika kamu berkata: Hai Musa, kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan terang, karena itu kamu disambar halilintar, sedang kamu menyaksikannya (QS.2:55).


Sebenarnya, Bani Israil dahulunya adalah kaum yang mengimani satu Tuhan semenjak masa leluhur mereka Ibrahim. Nama "Bani Israil" atau "Anak-Anak Israil" pertama kali diberikan kepada putra-putra Ya'kub, cucu Ibrahim, dan setelahnya semua bangsa Yahudi merupakan keturunannya. Bani Israil telah menjaga iman tauhid yang mereka warisi dari leluhur mereka Ibrahim, Ishak, dan Ya'kub, 'alahim salam. Bersama Yusuf as, mereka pergi ke Mesir dan memelihara monoteisme mereka dalam jangka waktu yang panjang, walaupun faktanya mereka hidup di tengah keberhalaan Mesir. Dan lambat laun, kehidupan masyarakat pagan Mesir yang bernafaskan paham materialisme mempengaruhi dan bercampur dengan paham monoteisme Bani Israil. Sehingga kemudian, Bani Israil sangat berkecenderungan bersikap materialistis dan tidak mampu menyerap ajaran Tauhid yang disampaikan Nabi Musa as, Alquran menggambarkan kecenderungan itu dalam ayat berikut,

Dan Kami seberangkan Bani Israil ke seberang lautan itu, maka setelah mereka sampai pada suatu kaum yang tetap menyembah berhala mereka, Bani Israil berkata: "Hai Musa, buatlah untuk kami sebuah tuhan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan (berhala)". Musa menjawab: "Sesungguhnya kamu ini adalah kaum yang tidak mengetahui". Sesungguhnya mereka itu akan dihancurkan kepercayaan yang dianutnya dan akan batal apa yang selalu mereka kerjakan (QS.7:138-139)


Sesungguhnya Musa telah datang kepadamu membawa bukti-bukti kebenaran, kemudian kamu jadikan anak sapi sebagai sembahan sesudah kepergiannya, dan sebenarnya kamu adalah orang-orang yang zalim (QS.2:92)


Dan ingatlah, ketika Kami mengambil janji dari kamu dan Kami angkat bukit Thursina di atasmu seraya Kami berfirman: "Peganglah teguh-teguh apa yang Kami berikan kepadamu dan dengarkanlah!" Mereka menjawab: "Kami mendengar tetapi tidak mentaati". Dan telah diresapkan ke dalam hati mereka itu kecintaan menyembah anak sapi karena kekafirannya. Katakanlah: "Amat jahat perbuatan yang telah diperintahkan imanmu kepadamu jika betul kamu beriman kepada Taurat (QS.2:93)

Sangat menarik, jika kita amati kisah penyembelihan sapi betina yang disajikan Alquran pada ayat 67-71 surat Albaqarah, kita akan menemukan bahwa sapi yang diperintahkan Nabi Musa untuk disembelih itu adalah jenis sapi yang paling sempurna. Jenis sapi yang bernilai tinggi dan dikagumi oleh semua orang yang menjadi satu instrumen investasi termahal pada saat itu. Simbol dari materialisme sejati. Silakan baca uraian lebih jelasnya di tafsir Albarru.

Begitulah kisah Bani Israil, sebuah gambaran dari masyarakat Tauhid yang akhirnya tergerus oleh budaya paganisme yang berlandaskan paham materialisme. Pada akhirnya terjadi sinkretisme antara ajaran Taurat dengan Filsafat Materialisme. Itulah yang menyebabkan Bani Israil gagal menjadi Khalifah: Penanggung Jawab kehidupan di muka bumi. Lalu bagaimana dengan kita saat ini? Sebagai pewaris ajaran Tauhid dari Nabi Muhammad saw, sudah amankah dari gempuran Materialisme? Akankah juga terjadi sinkretisme antara ajaran Alquran dengan Materialisme?

bersambung...


Jumat, 27 Juli 2012

Belajar Dari Kegagalan Khalifah Bani Israil: Jangan Khianati Allah (2)

Generasi Sahabat mempelajari Alquran itu dengan maksud hendak belajar bagaimanakah arahan dan perintah Allah dalam urusan hidup pribadinya dan hidup bermasyarakat. Mereka belajar untuk dilaksanakan dengan segera, seperti seorang prajurit menerima "arahan harian!" Dan memang, Allah yang menurunkan wahyu Alquran ini adalah Pemimpin gerakan revolusioner, perubahan total dari kehidupan zhulumat kepada kehidupan nur

Allah adalah Pelindung orang-orang yang beriman. Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (keimanan).. (QS.2:257)


Maka, ayat-ayat Alquran yang kita baca adalah "intruksi gerakan harian!" yang harus kita terima dan laksanakan.

Maka, pada hari kita membaca Albaqarah ayat 30, kita telah menerima arahan harian bahwa kita adalah Sang Khalifah di muka bumi, untuk itu kita harus belajar -secara berturut-turut- kepada Nabi Adam, Bani Israil, dan Nabi Ibrahim, selaku orang-orang yang telah mengemban tugas fungsional sebagai Khalifah di muka bumi (QS.2:30-141)

Kita telah membaca Albaqarah ayat 40 - 100 dan menemukan bahwa salah satu faktor kegagalan Khalifah Bani Israil adalah mereka telah melanggar janji kepada Allah.

Yang perlu menjadi perhatian kita adalah, bukan hanya Bani Israil yang punya ikatan janji kepada Allah dan Rasul-Nya, tetapi juga Muslimin. Janji adalah hal yang tidak bisa dipisahkan dari "tha'at". Setiap muslim telah di ikat oleh janji. Adalah wajib untuk memenuhinya, karena jika tidak dipenuhi, maka hal itu akan jadi "boomerang" bagi muslim itu sendiri.

Orang-orang yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh dan memtuskan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan dan mengadakan kerusakan di bumi, orang-orang itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat  kediaman yang buruk (Jahannam) (QS.13:25)


Mari kita perhatikan dan penuhi janji kita kepada Allah agar Allah juga memenuhi janji-Nya kepada kita, dan tidaklah perlu kita takut kepada selain-Nya dalam pemenuhan perjanjian ini (QS.2:40).

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan juga janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui (QS.8:27)


Perjanjian kita kepada Allah sama dengan perjanjian Bani Israil kepada Allah, pokok perjanjiannya adalah agar kita senantiasa berpegang teguh kepada Kitab Allah. Berpegang teguh kepada Kitab Allah artinya menyelesaikan segala persoalan kehidupan berdasarkan petunjuk Kitab Allah.

Dan ingatlah ketika Kami mengambil janji dari kamu dan Kami angkat gunung Tur Sayna di atasmu seraya Kami berfirman, "Peganglah teguh-teguh apa yang Kami berikan kepadamu dan ingatlah selalu apa yang ada di dalamnya agar kamu bertaqwa" (QS.2:63)


Hai orang-orang yang beriman, brtaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim. Dan berpeganglah kamu semua dengan tali Allah dan jangan berpecah belah. Dan ingatlah nikmat Allah terhadapmu ketika kamu saling bermusuhan maka Dia satukan hati kamu lalu kamu menjadi saudara dengan nikmat-Nya, dan ingatlah ketika kamu berada di bibir jurang neraka lalu Dia selamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menjelaskan kepada kamu ayat-ayat-Nya agar kamu mendapat petunjuk (QS.3:102-103)


Bukankah tali yang menghubungkan antara kita dengan Allah adalah Alquran?

Abu Sa'id Al-Khudri ra telah menceritakan bahwa Rasulullah saw pernah mengatakan dalam khutbahnya kepada kami, "Sesungguhnya tidak ada kebaikan dalam hidup ini kecuali bagi orang-orang yang berilmu yang bijak berbicara atau pendengar yang menyimak." Hai manusia, sesungguhnya kamu sekalian berada dalam masa perjanjian perdamaian, namun perjalanan waktu membawamu begitu cepat, sedang kamu sendiri sebenarnya telah tahu bagaimana malam dan siang membuat segala yang baru menjadi usang, mendekatkan segala kebutuhan hidup dan mendatangkan semua yang dijanjikan".
Maka berkatalah Al-Miqda kepada beliau: "Ya Nabi Allah, apa maksud perjanjian damai?"
Jawab Nabi: "Negeri cobaan dan perselisihan. Maka apabila kamu kebingungan mengenai urusan-urusanmu, seolah tertutupi oleh kepingan-kepingan malam yang gelap gulita, maka pegang teguhlah Alquran itu, karena sesungguhnya Alquran itu pemberi syafaat yang diterima syafaatnya dan saksi yang dipercaya kesaksiannya. Siapa saja yang menjadikan Alquran sebagai pemimpinnya, maka dia akan memimpinnya ke Surga. Siapa saja yang meletakkan Alquran di belakangnya maka dia akan menggiringnya ke Neraka. Alquran adalah penuntun yang paling jelas menuju jalan yang terbaik. Siapa saja yang mengucapkannya, maka benarlah perkataannya. Siapa saja yang mengamalkannya, maka ia akan mendapatkan pahala, dan siapa saja yang memberi keputusan dengannya, itulah hukum yang adil. (Khuthbatur Rasul).

Dengan mengabaikan ajaran Alquran berarti kita telah mengkhianati Allah dan Rasul-Nya, lalu bagaimana Allah akan memenuhi janji-Nya bahwa Dia akan memberikan kekuasaan atas kehidupan di muka bumi? (QS.24:55)

Menjadi Khalifah atas kehidupan diri sendiri saja sudah begitu berat, apalagi menjadi Khalifah atas kehidupan di muka bumi. Kita membutuhkan pertolongan Allah. Maka, inilah janji Allah yang akan dipenuhi-Nya jika kita tetap setia kepada-Nya,


  1. "...Dan Kami selalu berkewajiban menolong orang-orang yang beriman." (QS.30:47)
  2. "Sesungguuhnya Allah membela orang-orang yang beriman..." (QS.22:38)
  3. "Allah Pelindung orang-orang yang beriman..." (QS.2:257)
  4. "... Sesungguhnya Allah adalah Pemberi petunjuk bagi orang-orang yang beriman kepada jalan yang lurus." (QS.22:54)
  5. "Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang beriman." (QS.4:141)
  6. "Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan berkuasa orang-orang sebelum mereka, dan sungguh Dia akan meneguhkan (memberikan kemapanan) agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka." (QS.24:55)
  7. "Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi." (QS.7:96)
  8. "Barangsiapa mengerjakan amal saleh baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya Kami akan berikan kepadanya kehidupan yang baik." (QS.16:97)
  9. "Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan (kepada Rasul-Nya) atau suatu keputusan dari sisi-Nya.." (QS.5:52)
 Jadi, jangan khianati Allah ! Apakah ada yang kita takuti selain Allah ?



Kamis, 26 Juli 2012

Belajar Dari Kegagalan Khalifah Bani Israil: Jangan Khianati Allah. (1)


Coba dengarkan,
Bumi telah lama merintih, menahan sakit.
Karena para Khalifah-Nya lalai tak bertanggung jawab!

-------

Setelah belajar dari Adam sebagai Khalifah Pertama, kita dihadapkan pada kisah Bani Israil. Bisa dibilang, Bani Israil adalah kelompok manusia yang gagal mengemban amanat kekhalifahan di bumi. Mengapa kita harus belajar dari para Khalifah yang telah gagal menjalankan tugas? tentu saja agar kita tidak mengulangi kesalahan mereka.

Pelajaran dari para Khalifah yang gagal dimulai dari ayat 40, masih di surat Albaqarah, sampai ayat 123.

Oleh karena ayat-ayat ini adalah pelajaran buat kita, maka jangan bayangkan Bani Israil sebagai pihak yang menerima ayat, sedangkan kita mengambil posisi sebagai pengamat. Tidak begitu. Ayat-ayat yang mulanya dihadapkan kepada mereka, kini dihadapkan pada kita. Kita adalah sasaran yang dituju oleh ayat. Maka, sikap kita adalah sami'na wa atha'na, dengarkan dan taati. Bukan sekedar menikmati sejarah.

Jadi, apakah yang membuat mereka gagal mengemban amanat khilafah?

Mulai dari ayat 40 kita membaca adanya perjanjian antara Bani Israil dan Allah. Dan ternyata, perjanjian itu dikhianati.

Hai Bani Israil, ingatlah akan nikmat-Ku yang telah Aku anugerahkan kepadamu dan penuhilah janjimu kepada-Ku, niscaya Aku penuhi janji-Ku kepadamu, dan hanya kepada-Ku lah kamu harus takut tunduk (QS.2:40)


Dan ingatlah ketika Kami mengambil janji dari kamu dan Kami angkat gunung Tur Sayna di atasmu seraya Kami berfirman, "Peganglah teguh-teguh apa yang Kami berikan kepadamu dan ingatlah selalu apa yang ada di dalamnya agar kamu bertaqwa" (QS.2:63)


Kemudian kamu berpaling setelah adanya perjanjian itu, maka kalau tidak ada karunia Allah dan rahmat-Nya atasmu, niscaya kamu tergolong orang-orang yang merugi (QS.2:64)


Dan ingatlah ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil, yaitu janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat baiklah kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, dirikanlah shalat, dan tunaikanlah zakat. Kemudian, kamu tidak memenuhi janji itu kecuali sebagian kecil dari kamu, dan kamu selalu berpaling (QS.2:83)


Dan ingatlah ketika Kami mengambil janji dari kamu, yaitu kamu tidak akan menumpahkan darahmu (membunuh orang), dan kamu tidak akan mengusir dirimu (saudaramu sebangsa) dari kampung halamanmu, kemudian kamu berikrar akan memenuhinya sedang kamu mempersaksikannya (QS.2:84)


Kemudian kamu membunuh dirimu (saudaramu sebangsa) dan mengusir segolonngan dari kamu dari kampung halamannya, kamu bantu-membantu terhadap mereka dengan perbuatan dosa dan permusuhan, tetapi jika mereka datang kepadamu sebagai tawanan, kamu tebus mereka, padahal mengusir mereka itu juga terlarang bagimu. Apakah kamu beriman kepada sebagian kitab Taurat dan ingkar terhadap sebagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian darimu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat (QS.2:85)


Dan ingatlah ketika Kami mengambil janji dari kamu dan Kami angkat bukit Tur Sayna di atasmu seraya kami berfirman: "Peganglah teguh-teguh apa yang Kami berikan kepadamu dan dengarkanlah!" Mereka menjawab, "Kami mendengarkan tetapi kami tidak menaati." Dan telah kami resapkan ke dalam hati mereka itu kecintaan menyembah anak sapi karena kekafirannya. Katakanlah, "Amat jahat perbuatan yang diperintahkan imanmu kepadamu jika betul kamu beriman." (QS.2:93)


Dan setiap kali mereka telah mengikat janji, segolongan mereka melemparkannya, bahkan sebagian besar dari mereka tidak beriman (QS.2:100)


Jika kita perhatikan isi perjanjian antara Bani Israil dengan Allah, maka ternyata kita pun mengikat janji yang sama kepada Allah. Dan sejarah telah mencatat bahwa mereka yang telah mengkhianati perjanjiannya dengan Allah akan mengalami kegagalan dalam mengemban amanat khilafah, yaitu amanat pengelolaan kehidupan di bumi. Kegagalan dalam mengelola kehidupan di bumi tentu saja akan mendatangkan bencana kehidupan dan kemanusiaan secara kolektif. Bukankah ketika kita gagal mengelola kehidupan kita sendiri akan mengundang kesusahan bagi kehidupan orang lain?

Mereka telah gagal, lalu bagaimana dengan kita?
Memang benar, Kita adalah bagian dari kaum muslimin, berpenampilan islami, tetapi jangan-jangan mentalitas kita adalah mentalitas Yahudi?

Bersambung...

Selasa, 24 Juli 2012

Belajar Dari Khalifah Pertama

Terkait dengan upaya pemeliharaan dan penataan alam semesta, Allah sebagai Rabb alam semesta menyampaikan kepada kita melalui Albaqarah ayat 30 bahwa kita adalah Khalifah di bumi yang bertugas menegakkan sistem Allah dalam memelihara dan menata kehidupan alam semesta. Untuk itu Allah menyodorkan petunjuk-Nya bahwa kita harus belajar dari tiga manusia yang pernah menjabat sebagai Khalifah, yaitu Adam sebagai Khalifah pertama, Bani Israil sebagai Khalifah yang gagal, dan Ibrahim sebagai Khalifah yang sukses.

Pertama, kita akan belajar dari Khalifah pertama. Pembelajaran itu kita peroleh di Albaqarah ayat 30 - 39.

Di ayat 30 kita membaca tentang kelayakan Adam menjadi Khalifah oleh karena ia mendapatkan pengajaran tentang "Al-Asma", menepis hitungan Malaikat bahwa orang yang akan dijadikan Khalifah adalah orang yang akan membuat kerusakan di bumi dan saling menumpahkan darah. Tentang ini, silakan baca di sini dan di sini

Yang kita pelajari dari Khalifah pertama adalah tentang pengetahuan dan kepatuhan kepada Allah. Kita memperoleh kehidupan surga setelah kita menerima dan mengikuti ajaran Allah. Ketika kita tidak lagi patuh terhadap ajaran yang telah kita terima, maka kita telah menzalimi diri sendiri, yaitu mengeluarkan diri dari kehidupan surga yang penuh dengan kenikmatan rohani dan jasmani kepada kehidupan yang penuh tipu daya dan permusuhan satu sama lainnya.

Apa yang harus kita lakukan ketika kita tergelincir dalam ketidakpatuhan kepada Allah?

Sang Khalifah pertama mengajarkan Taubat kepada Allah. Taubat adalah kembali kepada petunjuk Allah. Itu berarti kembali menerima dan mengikuti ajaran Allah. Dengan ajaran Allah, kita tidak lagi khawatir dan bersedih hati menghadapi kehidupan yang penuh fatamorgana, pertikaian dan permusuhan. Adapun orang-orang yang menolak ajaran Allah, mereka akan tetap berada dalam kehidupan neraka, yaitu kehidupan yang penuh dengan api yang membakar.



Senin, 23 Juli 2012

Tugas Sang Khalifah


Sungguh teramat berat tugas yang kita emban. Menjadi Khalifah di bumi! Apakah itu berarti kita menjadi Wakil-Nya mengurusi kehidupan di bumi? Ah, siapakah kita? Dia adalah cahaya terang benderang, sedangkan kita hanyalah lumpur hitam pekat, gelap. Bukankah jika cahaya itu datang maka kegelapan akan sirna?

Sungguh teramat berat tugas yang kita emban. Bahkan langit, bumi, dan gunung-gunung, semuanya enggan menerima tugas tersebut. Mereka khawatir akan mengkhianatinya. Sedangkan kita? terlalu zalim dan bodoh! Bahkan kita meminta-minta dan memperebutkan tugas tersebut! (QS. 33:72)

Tapi dengarlah, Dia telah berfirman: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang Khalifah di muka bumi" (QS. 2:30) dan Dia telah memilih kita, manusia, menjadi Khalifah-Nya! (QS. 27:62)

Menjadi Khalifah adalah menerima tugas untuk mengelola kehidupan di bumi. Maka, setiap kita adalah Penanggung Jawab kehidupan bumi sesuai dengan kapasitas kita masing-masing. Paling tidak menjadi Penanggung Jawab atas kehidupan kita sendiri.

Menjadi Khalifah memang tugas yang teramat berat. Tapi ingat, Dia tidak akan membiarkan kita percuma begitu saja tanpa ada petunjuk (QS. 75:36) Dan sungguh, Dia akan mengawasi bagaimana kita berbuat dengan kapasitas kita sebagai Khalifah-Nya (QS. 10:14)

Menjadi Khalifah, itulah kita! Saat ini dan di sini! Lalu masihkah kita berdiam diri menunggu nanti? Inilah yang kita lakukan sebagaimana Dia perintahkan kepada Daud: Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu Khalifah di muka bumi, maka berilah keputusan di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia kan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan (QS. 38:26).

Jadi, engkau wahai Khalifah, engkaulah penegak hukum Allah atas kehidupan bumi! Setidak-tidaknya atas kehidupanmu sendiri!


Definisi Khilafah/Khalifah


Pengertian Bahasa Khilafah
Khilafah menurut makna bahasa merupakan mashdar dari fi’il madhi khalafa, berarti : menggantikan atau menempati tempatnya (Munawwir, 1984:390). Makna khilafah menurut Ibrahim Anis (1972) adalah orang yang datang setelah orang lain lalu menggantikan tempatnya (jaa`a ba’dahu fa-shaara makaanahu) (Al-Mu’jam Al-Wasith, I/251).
Dalam kitab Mu’jam Maqayis Al-Lughah (II/210) dinyatakan, khilafah dikaitkan dengan penggantian karena orang yang kedua datang setelah orang yang pertama dan menggantikan kedudukannya. Menurut Imam Ath-Thabari, makna bahasa inilah yang menjadi alasan mengapa as-sulthan al-a’zham (penguasa besar umat Islam) disebut sebagai khalifah, karena dia menggantikan penguasa sebelumnya, lalu menggantikan posisinya (Tafsir Ath-Thabari, I/199).

Imam Al-Qalqasyandi mengatakan, menurut tradisi umum istilah khilafah kemudian digunakan untuk menyebut kepemimpinan agung (az-za’amah al-uzhma), yaitu kekuasaan umum atas seluruh umat, pelaksanaan urusan-urusan umat, dan pemikulan tugas-tugas mereka (Al-Qalqasyandi, Ma`atsir Al-Inafah fi Ma’alim Al-Khilafah, I/8-9).

Pengertian Syar’i Khilafah 
Dalam pengertian syariah, Khilafah digunakan untuk menyebut orang yang menggantikan Nabi SAW dalam kepemimpinan Negara Islam (ad-dawlah al-islamiyah) (Al-Baghdadi, 1995:20). Inilah pengertiannya pada masa awal Islam. Kemudian, dalam perkembangan selanjutnya, istilah Khilafah digunakan untuk menyebut Negara Islam itu sendiri (Al-Khalidi, 1980:226).
Pemahaman ini telah menjadi dasar pembahasan seluruh ulama fiqih siyasah ketika mereka berbicara tentang “Khilafah” atau “Imamah”. Dengan demikian, walaupun secara literal tak ada satu pun ayat Al-Qur`an yang menyebut kata “ad-dawlah al-islamiyah” (negara Islam), bukan berarti dalam Islam tidak ada konsep negara. Atau tidak mewajibkan adanya Negara Islam. Para ulama terdahulu telah membahas konsep negara Islam atau sistem pemerintahan Islam dengan istilah lain yang lebih spesifik, yaitu istilah Khilafah/Imamah atau istilah Darul Islam (Lihat Dr. Sulaiman Ath-Thamawi, As-Sulthat Ats-Tsalats, hal. 245; Dr. Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, IX/823).
Hanya saja, para ulama mempunyai sudut pandang yang berbeda-beda ketika memandang kedudukan Khilafah (manshib Al-Khilafah). Sebagian ulama memandang Khilafah sebagai penampakan politik (al-mazh-har as-siyasi), yakni sebagai institusi yang menjalankan urusan politik atau yang berkaitan dengan kekuasaan (as-sulthan) dan sistem pemerintahan (nizham al-hukm). Sementara sebagian lainnya memandang Khilafah sebagai penampakan agama (al-mazh-har ad-dini), yakni institusi yang menjalankan urusan agama. Maksudnya, menjalankan urusan di luar bidang kekuasaan atau sistem pemerintahan, misalnya pelaksanaan mu’amalah (seperti perdagangan), al-ahwal asy-syakhshiyyah (hukum keluarga, seperti nikah), dan ibadah-ibadah mahdhah. Ada pula yang berusaha menghimpun dua penampakan ini. Adanya perbedaan sudut pandang inilah yang menyebabkan mengapa para ulama tidak menyepakati satu definisi untuk Khilafah (Al-Khalidi, 1980:227).
Sebenarnya banyak sekali definisi Khilafah yang telah dirumuskan oleh oleh para ulama. Berikut ini akan disebutkan beberapa saja definisi Khilafah yang telah dihimpun oleh Al-Khalidi (1980), Ali Belhaj (1991), dan Al-Baghdadi (1995) :
Pertama, menurut Imam Al-Mawardi (w. 450 H/1058 M), Imamah ditetapkan bagi pengganti kenabian dalam penjagaan agama dan pengaturan urusan dunia (Al-Ahkam As-Sulthaniyah, hal. 3).
Kedua, menurut Imam Al-Juwayni (w. 478 H/1085 M), Imamah adalah kepemimpinan yang bersifat menyeluruh (riyasah taammah) sebagai kepemimpinan yang berkaitan dengan urusan khusus dan urusan umum dalam kepentingan-kepentingan agama dan dunia (Ghiyats Al-Umam, hal. 15).
Ketiga, menurut Imam Al-Baidhawi (w. 685 H/1286 M), Khilafah adalah pengganti bagi Rasulullah SAW oleh seseorang dari beberapa orang dalam penegakan hukum-hukum syariah, pemeliharaan hak milik umat, yang wajib diikuti oleh seluruh umat (Hasyiyah Syarah Al-Thawali’, hal.225).
Keempat, menurut ‘Adhuddin Al-Iji (w. 756 H/1355 M), Khilafah adalah kepemimpinan umum (riyasah ‘ammah) dalam urusan-urusan dunia dan agama, dan lebih utama disebut sebagai pengganti dari Rasulullah dalam penegakan agama (I’adah Al-Khilafah, hal. 32).
Kelima, menurut At-Taftazani (w. 791 H/1389 M), Khilafah adalah kepemimpinan umum dalam urusan agama dan dunia, sebagai pengganti dari Nabi SAW dalam penegakan agama, pemeliharaan hak milik umat, yang wajib ditaati oleh seluruh umat (Lihat Al-Iji, Al-Mawaqif, III/603; Lihat juga Rasyid Ridha, Al-Khilafah, hal. 10).
Keenam, menurut Ibnu Khaldun (w. 808 H/1406 M), Khilafah adalah pengembanan seluruh [urusan umat] sesuai dengan kehendak pandangan syariah dalam kemaslahatan-kemaslahatan mereka baik ukhrawiyah, maupun duniawiyah yang kembali kepada kemaslahatan ukhrawiyah (Al-Muqaddimah, hal. 166 & 190).
Ketujuh, menurut Al-Qalqasyandi (w. 821 H/1418 M), Khilafah adalah kekuasaan umum (wilayah ‘ammah) atas seluruh umat, pelaksanaan urusan-urusan umat, serta pemikulan tugas-tugasnya (Ma`atsir Al-Inafah fi Ma’alim Al-Khilafah, I/8).
Kedelapan, menurut Al-Kamal ibn Al-Humam (w. 861 H/1457 M), Khilafah adalah otoritas (istihqaq) pengaturan umum atas kaum muslimin (Al-Musamirah fi Syarh Al-Musayirah, hal. 141).
Kesembilan, menurut Imam Ar-Ramli (w. 1004 H/1596 M), khalifah adalah al-imam al-a’zham (imam besar), yang berkedudukan sebagai pengganti kenabian, dalam penjagaan agama dan pengaturan urusan dunia (Nihayatul Muhtaj ila Syarh Al-Minhaj, VII/289).
Kesepuluh, menurut Syah Waliyullah Ad-Dahlawi (w. 1176 H/1763 M), Khilafah adalah kepemimpinan umum (riyasah ‘ammah) … untuk menegakkan agama dengan menghidupkan ilmu-ilmu agama, menegakkan rukun-rukun Islam, melaksanakan jihad…melaksanakan peradilan (qadha`), menegakkan hudud… sebagai pengganti (niyabah) dari Nabi SAW (dikutip oleh Shadiq Hasan Khan dalam Iklil Al-Karamah fi Tibyan Maqashid Al-Imamah, hal. 23).
Kesebelas, menurut Syaikh Al-Bajuri (w. 1177 H/1764 M), Khilafah adalah pengganti (niyabah) dari Nabi SAW dalam umumnya kemaslahatan-kemaslahatan kaum muslimin (Tuhfah Al-Murid ‘Ala Jauhar At-Tauhid, II/45).
Keduabelas, menurut Muhammad Bakhit Al-Muthi’i (w. 1354 H/1935 M), seorang Syaikh Al-Azhar, Imamah adalah kepemimpinan umum dalam urusan-urusan dunia dan agama (I’adah Al-Khilafah, hal. 33).
Ketigabelas, menurut Mustafa Shabri (w. 1373 H/1953 M), seorang Syaikhul Islam pada masa Daulah Utsmaniyah, Khilafah adalah pengganti dari Nabi SAW dalam pelaksanaan apa yang dibawa Nabi SAW berupa hukum-hukum syariah Islam (Mawqif Al-Aql wa Al-‘Ilm wa Al-‘Alim, IV/363).
Keempatbelas, menurut Dr. Hasan Ibrahim Hasan, Khilafah adalah kepemimpinan umum dalam urusan-urusan agama dan dunia sebagai pengganti dari Nabi SAW (Tarikh Al-Islam, I/350).
Analisis Definisi
Dari keempatbelas definisi yang telah disebutkan di atas, dapat dilihat sebetulnya ada 3 (tiga) kategori definisi, yaitu :
Pertama, definisi yang lebih menekankan pada penampakan agama (al-mazh-har ad-dini). Jadi, Khilafah lebih dipahami sebagai manifestasi ajaran Islam dalam pelaksanaan urusan agama. Misalnya definisi Al-Iji. Meskipun Al-Iji menyatakan bahwa Khilafah mengatur urusan-urusan dunia dan urusan agama, namun pada akhir kalimat, beliau menyatakan,”Khilafah lebih utama disebut sebagai pengganti dari Rasulullah dalam penegakan agama.”
Kedua, definisi yang lebih menekankan pada penampakan politik (al-mazh-har as-siyasi). Di sini Khilafah lebih dipahami sebagai manifestasi ajaran Islam berupa pelaksanaan urusan politik atau sistem pemerintahan, yang umumnya diungkapkan ulama dengan terminologi “urusan dunia” (umuur ad-dunya). Misalnya definisi Al-Qalqasyandi. Beliau hanya menyinggung Khilafah sebagai kekuasaan umum (wilayah ‘ammah) atas seluruh umat, tanpa mengkaitkannya dengan fungsi Khilafah untuk mengatur “urusan agama”.
Ketiga, definisi yang berusaha menggabungkan penampakan agama (al-mazh-har ad-dini) dan penampakan politik (al-mazh-har as-siyasi). Misalnya definisi Khilafah menurut Imam Al-Mawardi yang disebutnya sebagai pengganti kenabian dalam penjagaan agama dan pengaturan urusan dunia.
Dengan menelaah seluruh definisi tersebut secara mendalam, akan kita dapati bahwa secara global berbagai definisi tersebut lebih berupa deskripsi realitas Khilafah dalam dataran empirik (praktik) –misalnya adanya dikotomi wilayah “urusan dunia” dan “urusan agama”– daripada sebuah definisi yang bersifat syar’i, yang diturunkan dari nash-nash syar’i. Selain itu, definisi-definisi tersebut kurang mencakup (ghayru jaami’ah). Sebab definisi Khilafah seharusnya menggunakan redaksi yang tepat yang bisa mencakup hakikat Khilafah dan keseluruhan fungsi Khilafah, bukan dengan redaksi yang lebih bersifat deskriptif dan lebih memberikan contoh-contoh, yang sesungguhnya malah menyempitkan definisi. Misalnya ungkapan bahwa Khilafah bertugas menghidupkan ilmu-ilmu agama, menegakkan rukun-rukun Islam, melaksanakan jihad, melaksanakan peradilan (qadha`), menegakkan hudud, dan seterusnya. Bukankah definisi ini menjadi terlalu rinci yang malah dapat menyulitkan kita menangkap hakikat Khilafah? Juga bukan dengan redaksi yang terlalu umum yang cakupannya justru sangat luas. Misalnya ungkapan bahwa Khilafah mengatur “umumnya kemaslahatan-kemaslahatan kaum muslimin”. Atau bahwa Khilafah mengatur “kemaslahatan-kemaslahatan duniawiyah dan ukhrawiyah”. Bukankah ini ungkapan yang sangat luas jangkauannya?
Sesungguhnya, untuk menetapkan sebuah definisi, sepatutnya kita perlu memahami lebih dahulu, apakah ia definisi syar’i (at-ta’rif asy-syar’i) atau definisi non-syar’i (at-ta’rif ghayr asy-syar’i) (Zallum, 1985:51). Definisi syar’i merupakan definisi yang digunakan dalam nash-nash Al-Qur`an dan As-Sunnah, semisal definisi sholat dan zakat. Sedang definisi non-syar’i merupakan definisi yang tidak digunakan dalam nash-nash Al-Qur`an dan As-Sunnah, tetapi digunakan dalam disiplin ilmu tertentu atau kalangan ilmuwan tertentu, semisal definisi isim, fi’il, dan harf (dalam ilmu Nahwu-Sharaf). Contoh lainnya misalkan definisi akal, masyarakat, kebangkitan, ideologi (mabda`), dustur (UUD), qanun (UU), hadharah (peradaban), madaniyah (benda sarana kehidupan), dan sebagainya
Jika definisinya berupa definisi non-syar’i, maka dasar perumusannya bertolak dari realitas (al-waqi’), bukan dari nash-nash syara’. Baik ia realitas empirik yang dapat diindera atau realitas berupa kosep-konsep yang dapat dijangkau faktanya dalam benak. Sedang jika definisinya berupa definisi syar’i, maka dasar perumusannya wajib bertolak dari nash-nash syara’ Al-Qur`an dan As-Sunnah, bukan dari realitas. Mengapa? Sebab, menurut Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani, definisi syar’i sesungguhnya adalah hukum syar’i, yang wajib diistimbath dari nash-nash syar’i (Ay-Syakhshiyyah Al-Islamiyah, III/438-442; Al-Ma’lumat li Asy-Syabab, hal. 1-3). Jadi, perumusan definisi syar’i, misalnya definisi sholat, zakat, haji, jihad, dan semisalnya, wajib merujuk pada nash-nash syar’i yang berkaitan dengannya.
Apakah definisi Khilafah (atau Imamah) merupakan definisi syar’i? Jawabannya, ya. Sebab nash-nash syar’i, khususnya hadits-hadits Nabi SAW, telah menggunakan lafazh-lafazh “khalifah” dan “imam” yang masih satu akar kata dengan kata Khilafah/Imamah. Misalnya hadits Nabi, “Jika dibaiat dua orang khalifah, maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya.” (Shahih Muslim, no. 1853). Imam Al-Bukhari dalam Shahihnya telah mengumpulkan hadits-hadits tentang Khilafah dalam Kitab Al-Ahkam. Sedang Imam Muslim dalam Shahihnya telah mengumpulkannya dalam Kitab Al-Imarah (Ali Belhaj, 1991:15). Jelaslah, bahwa untuk mendefinisikan Khilafah, wajiblah kita memperhatikan berbagai nash-nash ini yang berkaitan dengan Khilafah.
Dengan menelaah nash-nash hadits tersebut, dan tentunya nash-nash Al-Qur`an, akan kita jumpai bahwa definisi Khilafah dapat dicari rujukannya pada 2 (dua) kelompok nash, yaitu :
Kelompok Pertama, nash-nash yang menerangkan hakikat Khilafah sebagai sebuah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia.
Kelompok Kedua, nash-nash yang menjelaskan tugas-tugas khalifah, yaitu : (1) tugas menerapkan seluruh hukum-hukum syariah Islam, (2) tugas mengemban dakwah Islam di luar tapal batas negara ke seluruh bangsa dan umat dengan jalan jihad fi sabilillah
Nash kelompok pertama, misalnya nash hadits,”Maka Imam yang [memimpin] atas manusia adalah [bagaikan} seorang penggembala dan dialah yang bertanggung jawab terhadap gembalaannya (rakyatnya).” (Shahih Muslim, XII/213; Sunan Abu Dawud, no. 2928, III/342-343; Sunan At-Tirmidzi, no. 1705, IV/308). Ini menunjukkan bahwa Khilafah adalah sebuah kepemimpinan (ri`asah/qiyadah/imarah). Adapun yang menunjukkan bahwa Khilafah bersifat umum untuk seluruh kaum muslimin di dunia, misalnya hadits Nabi yang mengharamkan adanya lebih dari satu khalifah bagi kaum muslimin seperti telah disebut sebelumnya (Shahih Muslim no. 1853). Ini berarti, seluruh kaum muslimin di dunia hanya boleh dipimpin seorang khalifah saja, tak boleh lebih. Dan kesatuan Khilafah untuk seluruh kaum muslimin di dunia sesungguhnya telah disepakati oleh empat imam madzhab, yakni Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Asy-Syafi’i, dan Imam Ahmad, rahimahumullah (Lihat Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah, V/308; Muhammad ibn Abdurrahman Ad-Dimasyqi, Rahmatul Ummah fi Ikhtilaf Al-A`immah, hal. 208).
Nash kelompok kedua, adalah nash-nash yang menjelaskan tugas-tugas khalifah, yang secara lebih rinci terdiri dari dua tugas berikut :
Pertama, tugas khalifah menerapkan seluruh hukum syariah Islam atas seluruh rakyat. Hal ini nampak dalam berbagai nash yang menjelaskan tugas khalifah untuk mengatur muamalat dan urusan harta benda antara individu muslim (QS Al-Baqarah:188, QS An-Nisaa`:58), mengumpulkan dan membagikan zakat (QS At-Taubah:103), menegakkan hudud (QS Al-Baqarah:179), menjaga akhlaq (QS Al-Isra`:32), menjamin masyarakat dapat menegakkan syiar-syiar Islam dan menjalankan berbagai ibadat (QS Al-Hajj:32), dan seterusnya.
Kedua, tugas khalifah mengemban dakwah Islamiyah ke seluruh dunia dengan jihad fi sabilillah. Hal ini nampak dalam banyak nash yang menjelaskan tugas khalifah untuk mempersiapkan pasukan perang untuk berjihad (QS Al-Baqarah:216), menjaga tapal batas negara (QS Al-Anfaal:60), memantapkan hubungan dengan berbagai negara menurut asas yang dituntut oleh politik luar negeri, misalnya mengadakan berbagai perjanjian perdagangan, perjanjian gencatan senjata, perjanjian bertetangga baik, dan semisalnya (QS Al-Anfaal:61; QS Muhammad:35).
Berdasarkan dua kelompok nash inilah, dapat dirumuskan definisi Khilafah secara lebih mendalam dan lebih tepat. Jadi, Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi kaum muslimin seluruhnya di dunia, untuk menegakkan hukum-hukum syariah Islam dan mengemban dakwah Islamiyah ke seluruh dunia. Definisi inilah yang telah dirumuskan oleh Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani (w. 1398 H/1977 M) dalam kitab-kitabnya, misalnya kitab Al-Khilafah (hal. 1), kitab Muqaddimah Ad-Dustur (bab Khilafah) hal. 128, dan kitab Asy-Syakshiyyah Al-Islamiyah, Juz II hal. 9. Menurut beliau juga, istilah Khilafah dan Imamah dalam hadits-hadits shahih maknanya sama saja menurut pengertian syar’i (al-madlul asy-syar’i).
Definisi inilah yang beliau tawarkan kepada seluruh kaum muslimin di dunia, agar mereka sudi kiranya untuk mengambilnya dan kemudian memperjuangkannya supaya menjadi realitas di muka bumi, menggantikan sistem kehidupan sekuler yang kufur saat ini. Pada saat itulah, orang-orang beriman akan merasa gembira dengan datangnya pertolongan Allah. Dan yang demikian itu, sungguh, tidaklah sulit bagi Allah Azza wa Jalla.
wassalam
Muhammad Sidik Aljawi

Minggu, 22 Juli 2012

Tugas Fungsional Yang Kedua Adalah Menjadi Khalifah Allah

Mengapa kamu bersikap kufur kepada-Nya?
Padahal Dia telah menciptakan bumi ini untukmu,
Dan menjadikan kamu sebagai Penanggung Jawab Bumi
Maka, apakah Dia akan membiarkan kamu begitu saja tanpa petunjuk?

--------
Setelah bergabung bersama kelompok Taqwa, engkau mendapatkan dua tugas fungsional. Pertama, engkau bertugas sebagai hamba Allah (Qs. 2:21-22) dengan berpedoman kepada Alquran layaknya buku panduan tugas kerja (Qs. 2:23-24) untuk mewujudkan kehidupan surga dunia agar engkau dapat mengenali kehidupan surga akhirat (Qs. 2:25). Tanda kesetiaanmu pada tugas itu adalah engkau tidak mengabaikan pesan-pesan Alquran. Jika engkau abaikan, maka engkau akan dikeluarkan dari kelompok Taqwa (Qs. 2:26-29) lalu engkau menjadi tidak layak mendapatkan tugas fungsional kedua, yaitu menjadi Khalifah Allah (Qs. 2:30)

Memang, tugas fungsional kedua ini bukanlah tugas yang otomatis melekat. Tugas itu diberikan hanya ketika engkau telah melaksanakan tugas fungsional pertama, yaitu menjadi Hamba Allah. Hal ini dapat kita baca di Qs. 24:55, yang artinya:

Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar keadaan mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Aku. Dan barang siapa yang tetap kafir sesudah janji itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik. (Qs. 24:55)

Maka, teruslah engkau membaca ayat demi ayat secara sistematis, agar engkau memahami bagaimana melaksanakan kedua tugas tersebut. Engkau telah sampai pada ayat 30, itu berarti engkau sudah mulai dipersiapkan menjadi Khalifah Allah di bumi. Engkau tidak akan dibiarkan begitu saja, engkau akan diberi petunjuk bagaimana menjadi Khalifah Allah.

Bagaimanakah?

Pertama, engkau harus belajar dari Nabi Adam as. Beliau adalah Khalifah Allah yang pertama ada di bumi. Dari Nabi Adam as, engkau akan pelajari apa sajakah yang membuat seorang Adam layak menjadi Khalifah, padahal menurut hitungan para Malaikat, seorang Adam malah berpotensi untuk merusak bumi dan saling menumpahkan darah (Qs. 2:30-34). Engkau juga akan belajar bagaimana Sang Khalifah Pertama bangkit dari kejatuhan (Qs. 2:35-39)


Kedua, engkau harus belajar dari Bani Israil. Mereka adalah para Khalifah yang gagal menjalankan tugas. Belajar dari kegagalan masa lalu agar engkau tidak mengalami kegagalan yang sama (Qs. 2:40-123)

Ketiga, engkau harus belajar dari Nabi Ibrahim as sebagai sosok Khalifah yang berhasil (Qs. 2:124-141)

Selanjutnya kita akan membaca ayat-ayat tersebut satu persatu, insya Allah.


Selasa, 17 Juli 2012

Para Pengkhianat Dapat Menyusupi dan Menghambat Pergerakanmu, Waspadalah!!

Pengkhianat ?
Siapakah ?

Jangan melihat ke kanan - kiri !
Lihatlah dirimu sendiri !
Barangkali engkau sendirilah pengkhianat itu !

----

Sebentar lagi kita akan membaca Albaqarah ayat 30, yaitu ayat yang akan melantik pembaca Alquran menjadi Khalifah Fil Ardh, sebuah jabatan fungsional untuk mewujudkan tugas aksi sebagaimana tersebut pada Albaqarah ayat 21-22. Namun sebelum itu, kita diminta untuk menegaskan sikap, apakah kita masih meragukan Alquran sebagai kitab petunjuk aksi? (Qs. 2:23-24) ataukah tetap berkomitmen bergerak sesuai arahan Alquran? (Qs. 2:25) atau bahkan kita ingin mengeluarkan diri dan terlepas dari kelompok taqwa? jika kita keluar dari kelompok Taqwa, maka Alquran menyebut kita sebagai orang Fasik! (Qs. 2:26-27)

Mari kita baca terjemahan ayatnya:

Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu. Adapun orang-orang yang beriman, maka mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka, tetapi mereka yang kafir mengatakan: "Apakah maksud Allah menjadikan ini untuk perumpamaan?" Dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan Allah dan dengan perumpamaan itu pula banyak orang yang diberi-Nya petunjuk. Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik. (Qs. 2:26)
Yaitu orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa yang di perintahkan Allah kepada mereka untuk menghubungkannya dan membuat kerusakan di muka bumi. Mereka itulah orang-orang yang rugi. (Qs.2:27)

Kita dapat membuka kamus dan menelusuri literatur untuk memahami pengertian fasik. Namun yang jelas, pada ayat di atas Allah sudah menegaskan bahwa orang-orang yang fasik adalah orang-orang yang melanggar perjanjian dengan Allah, tanda pelanggarannya adalah mereka mengabaikan perintah Allah, dan oleh karenanya mereka membuat kerusakan di muka bumi dan merugikan diri sendiri.

Orang-orang fasik sebelumnya adalah orang-orang yang menyatakan diri menjadi bagian kelompok Taqwa. Oleh karenanya mereka ikut membaca Alquran sebagai kitab petunjuk aksi. Tapi kemudian mereka mengabaikan pesan-pesan Alquran. Mereka tetap membaca Alquran tetapi mereka tidak mendapat petunjuk apapun dari Alquran.

Bagi kelompok Taqwa, orang-orang fasik ini adalah para penghianat yang harus dikenali ciri-cirinya untuk diwaspadai. Mereka telah keluar dari kelompok Taqwa. Sudah sepatutnya pula kelompok Taqwa tidak lagi melibatkan mereka dalam aksi pergerakan Taqwa, sebagaimana Nabi Musa berkata: "Ya Rabbku, aku tidak menguasai kecuali diriku sendiri dan saudaraku. Sebab itu pisahkanlah antara kami dengan orang-orang yang fasik itu." (Qs. 5:25)

Bagaimanakah mereka akan terus dilibatkan dalam aksi pergerakan Taqwa, sementara mereka mengingkari pesan-pesan yang disampaikan oleh kitab petunjuk aksi, yaitu Alquran? (Qs. 2:99) Mengingkari Alquran berarti juga mengingkari Allah yang menghidupkan dan menguasai kehidupan mereka (Qs. 2:28-29) Lalu, bagaimana mungkin mereka akan dapat melaksanakan tugas sebagai Khalifah fil Ardh? (Qs. 24:55).

Jadi, apakah engkau tetap menjadi bagian dari kelompok Taqwa? ataukah engkau keluar dari kelompok Taqwa sebagai orang fasik? Karena setelah ini, engkau akan dilantik menjadi Khalifah fil Ardh!





Sabtu, 14 Juli 2012

PROPOSAL PEMBINAAN RAMADHAN


Peserta Pembinaan
Orang-orang yang beriman yaitu orang-orang yang memiliki kumpulan nilai-nilai kebenaran yang dipahami dan diyakini secara mutlak, yang kemudian mengarahkan pemikiran, membentuk kemauan dan meluruskan perilaku.

Program Pembinaan
Puasa + Belajar Alquran

Tujuan Pembinaan
Pembinaan Ramadhan bertujuan untuk membangun Karakter Muslim

Jaminan Keberhasilan Pembinaan
Program pembinaan ini telah dibuktikan berhasil oleh generasi terdahulu

Rabu, 11 Juli 2012

Masihkah Engkau Ragu Bergerak?


Sebelum membaca ayat lebih jauh, kita diingatkan sejak awal bahwa Alquran yang kita baca adalah kitab petunjuk aksi (QS.2:1-2). Oleh karenanya, bacaan Alquran menjadi bermakna di tangan orang-orang yang memang sedang melakukan aksi menata kehidupan dan kemanusiaan, paling tidak menata kehidupan dan kemanusiaan dirinya sendiri. Aksinya yang paling mendasar adalah seperti yang tertulis di QS.2:21-22 yaitu mengajak orang lain untuk bergabung kedalam kelompok Taqwa melalui jalan pengabdian murni kepada Allah.

Adanya tugas aksi itu bukan berarti kelompok Taqwa mementingkan segi kuantitas, meskipun hal itu merupakan suatu kewajaran sebagaimana naluri alami yang dimiliki setiap kelompok. Anggota kelompok Taqwa tidak terbebani oleh target berapa banyak yang ikut bergabung. Kewajiban mereka hanya sekedar menyampaikan, tidak memaksa. Berbeda dengan kelompok lain, target mengajak orang bergabung itu merupakan beban berat, akibatnya mereka menghalalkan berbagai macam cara.

Ayat selanjutnya, QS. 2:23-25 menggambarkan kondisi kita pada saat pelaksanaan aksi. Ada yang mantap melakukan tugas aksinya dan ada juga yang ragu. Kita patut bertanya kepada diri kita sendiri yang ragu beraksi: Mengapa ragu? Bukankah setelah memutuskan ikut bergabung bersama kelompok Taqwa itu berarti kita ikut membaca Alquran sebagai kitab petunjuk aksi? Tentu saja Alquran akan mengajarkan langkah demi langkah secara sistematis agar pembacanya tidak melenceng dari jalan aksi yang benar.  Lalu mengapa ragu? Jika masih ada keraguan dalam melangkah, maka Alquran, sebelum menyampaikan hal lainnya, menyatakan dengan tegas: Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Alquran yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Alquran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar. Maka jika kamu tidak dapat membuatnya dan pasti kamu tidak akan dapat membuatnya, peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang yang kafir. (QS.2:23-24)

Dan bagi yang terus mantap bergerak berdasarkan kitab petunjuk aksi, Alquran memberikan kabar gembira: Dan sampaikanlah kabar gembira kepada mereka yang beriman dan beramal sholeh bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi rezeki buah-buahan dalam surga-surga itu. Mereka mengatakan: “inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu”. Mereka diberi buah-buahan yang serupa dan untuk mereka di dalamnya ada isteri-isteri yang suci dan mereka kekal di dalamnya (QS.2:25)

Salah satu ciri kelompok Taqwa adalah beriman kepada Alquran, tandanya mereka memiliki nilai-nilai yang diajarkan Alquran yang diperoleh dari hasil membaca dan memahami. Nilai-nilai itu menjadi landasan berpikir dan bergerak dalam melakukan amal kebaikan (amal sholeh).

Bagi kelompok Taqwa, janji surga adalah janji yang diwujudkan dengan upaya sungguh-sungguh sehingga mereka memperoleh kehidupan surga di dunia sebelum di akhirat. Mereka mengenali kehidupan surga di akhirat karena mereka telah merasakannya di dunia. Oleh karenanya mereka berkata di surga akhirat nanti: “inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu.” Kehidupan surga adalah kehidupan sejahtera lahir dan batin, terpenuhi semua kebutuhan jasmani dan rohani.