Total Pengunjung

AYO MEMBACA ALQURAN SECARA BERMAKNA UNTUK MENATA KEHIDUPAN SEMESTA !!

Rabu, 22 Juni 2011

RAMADHAN ADALAH SAAT YANG TEPAT UNTUK BELAJAR AL QURAN

Dalam upaya menata kehidupan semesta, marilah kita membaca Al Quran sebagai sebuah gagasan yang disampaikan secara sistematis oleh Tuhan yang menjadi Pencipta, Pemelihara & Pembimbing kehidupan semesta. Gagasan itu tidak sekedar disampaikan tapi diajarkan dengan konsep pembelajaran yang jelas dan terukur. Tujuannya adalah agar gagasan itu dapat diwujudkan, bukan sekedar menjadi wacana atau sekedar bahan kajian, apalagi mantra.

Oleh karenanya, sangat menarik bila kita memperhatikan pilihan kalimat dalam pendahuluan Al Quran (Al Fatihah) bahwa Allah merangkai kalimat بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ dengan kalimat الْحَمْدُ للّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ . Makna yang bisa dicerna dari keterkaitan keduanya adalah: Mulai dan jalani proses kehidupan ini dengan gagasan Allah oleh karena Dia adalah Pencipta, Pemelihara & Pembimbing kehidupan semesta. Allah adalah Arrahman Arrahim. Kita membaca di surah Ar Rahman ayat 1-2 bahwa Ar Rahman adalah yang mengajarkan Al Quran. Rasulullah saw pernah berdoa untuk Ibnu Abbas: اللَّهُمَّ عَلِّمْهُ الْكِتَابَ "Ya Allah, ajarkanlah padanya Al Quran" (HR. Bukhari). Begitupula Adam, ia menjadi efektif sebagai penanggung jawab bumi (khalifah) setelah Allah mengajarkan gagasan-Nya kepadanya. Proses pembelajaran yang dialami Adam dapat kita baca di surah Al Baqarah mulai ayat 30 sampai ayat 39.

Jadi, Allah mewahyukan gagasan-Nya (Al Quran) sekaligus juga mengajarkannya kepada manusia adalah sebagai upaya pemeliharaan kehidupan semesta. Mereka yang mampu menyerap gagasan yang ditawarkan Allah disebut orang-orang yang bertaqwa (QS. Al Baqarah [2] ayat 2). Bisa dikatakan bahwa Taqwa adalah gelar yang diperoleh oleh orang yang sukses mempelajari dan menerapkan gagasan Al Quran dalam kehidupan. Contoh praktiknya bisa kita baca di Surah Al Baqarah ayat 177:

لَّيْسَ الْبِرَّ أَن تُوَلُّواْ وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَـكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَالْمَلآئِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَآتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّآئِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ الصَّلاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُواْ وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاء والضَّرَّاء وَحِينَ الْبَأْسِ أُولَـئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا وَأُولَـئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ

“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.”

Untuk mencapai gelar Taqwa, Allah telah menyiapkan mekanisme pembelajaran termasuk pemilihan waktu pembelajaran. Malam adalah saat terbaik untuk meresapkan gagasan Al Quran ke dalam hati sanubari (QS. Al Muzammil [73] ayat 1-20). Suasana malam hari terkait erat dengan kondisi internal-eksternal si pembelajar Al Quran yang mampu menghadirkan konsentrasi. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Bacalah Al Qur'an, selama perhatian hatimu terpusat padanya. Apabila kalian bimbang, maka berhentilah." (HR. Muslim).

Oleh karena pemilihan waktu belajar Al Quran memperhatikan kebutuhan terhadap konsentrasi, datanglah bulan Ramadhan memberi kesempatan penuh kepada umat pembaca Al Quran untuk lebih dapat menghadirkan konsentrasi tersebut. Dengan puasa sebagai instrumen utamanya, konsentrasi belajar Al Quran diwujudkan dalam bentuk Self and Social Control.

Kita diwajibkan berpuasa di bulan Ramadhan. Alasan utamanya karena pada bulan itu Al Quran diwahyukan sebagai petunjuk yang dapat diikuti oleh seluruh manusia berikut dengan penjelasan-penjelasan tentang petunjuk tersebut, juga sebagai pembeda atau pemisah antara kelompok Haq (yang mengikuti petunjuk) dan kelompok Batil (yang menolak petunjuk) (QS. Al Baqarah [2] ayat 183-185). Itu berarti Ramadhan memang dimaksudkan sebagai bulan pembinaan Al Quran secara intensif dengan kontrol lebih ketat yang dilakukan diri sendiri, juga oleh lingkungan sosial.

Beginilah Kendali diri di bulan Ramadhan yang dicontohkan Rasulullah saw seperti yang dikabarkan Ibnu 'Abbas radliallahu 'anhuma: Nabi shallallahu 'alaihi wasallam adalah orang yang paling lembut (dermawan) dalam segala kebaikan. Dan kelembutan Beliau yang paling baik adalah saat bulan Ramadhan ketika Jibril alaihissalam datang menemui Beliau. Dan Jibril Alaihissalam datang menemui Beliau pada setiap malam di bulan Ramadhan (untuk membacakan Al Qur'an) hingga Al Qur'an selesai dibacakan untuk Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Apabila Jibril Alaihissalam datang menemui Beliau, maka Beliau adalah orang yang paling lembut dalam segala kebaikan melebihi lembutnya angin yang berhembus. (HR. Bukhari).

Pada bulan Ramadhan, Kontrol diri, begitu juga dengan kontrol sosial, menjadi lebih ketat dibandingkan dengan bulan lainnya sehingga peluang berbuat kebaikan lebih terbuka lebar daripada peluang berbuat kejahatan. Oleh karenanya kita mendapati, pembelajaran Al Quran lebih semarak dari biasanya. Rasulullah saw bersabda:

إِذَا كَانَ أَوَّلُ لَيْلَةٍ مِنْ شَهْرِ رَمَضَانَ صُفِّدَتْ الشَّيَاطِيْنُ وَمَرَدَةُ الْجِنِّ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ فَلَمْ يُفْتَحْ مِنْهَا بَابٌ وَفُتِّحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ فَلَمْ يُغْلَقْ مِنْهَا بَابٌ وَيُنَادِيْ مُنَادٍ يَا بَاغِيَ الْخَيْرِ أَقْبِلْ وَيَا بَاغِيَ الشَّرِّ أَقْصِرْ وَلِلَّهِ عُتَقَاءُ مِنَ النَّارِ وَذَلِكَ كُلَّ لَيْلَةٍ

“Jika malam pertama Ramadhan datang, maka setan-setan, dan jin-jin durhaka dibelenggu; pintu-pintu neraka ditutup. Maka tak ada satu pintu pun yang terbuka; pintu-pintu surga dibuka. Maka tak ada suatu pintu pun yang ditutup; Seorang pemanggil memanggil,”Wahai pencari kebaikan, menghadaplah; wahai pencari kejelekan, berhentilah”. Allah memiliki hamba-hamba yang dimerdekakan dari neraka. Demikian itu pada setiap malam”. [HR. At-Tirmidziy dan Ibnu Majah )

Setan, dari golongan jin atau manusia, berperan memalingkan manusia dari ajaran Allah. Oleh karenanya, kita memohon perlindungan Allah dari tipu daya setan saat mempelajari Al Quran (QS. An Nahl [16] ayat 98). Dan saat kita enggan belajar Al Quran, saat itulah setan mulai berupaya terus menerus menjauhkan kita dari belajar Al Quran (QS. Az Zukhruf [43] ayat 36-37). Nah, dengan kendali diri dan control social yang lebih ketat di bulan Ramadhan, membuat ruang gerak setan semakin sempit.

Puasa Ramadhan juga melatih kesabaran. Sikap sabar sangat dibutuhkan oleh orang yang sedang belajar Al Quran. Allah berfirman:

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْقُرْآنَ تَنزِيلاً ﴿٢٣﴾ فَاصْبِرْ لِحُكْمِ رَبِّكَ وَلَا تُطِعْ مِنْهُمْ آثِماً أَوْ كَفُوراً ﴿٢٤)

023. Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al Qur'an kepadamu (hai Muhammad) dengan berangsur-angsur. 024. Maka bersabarlah kamu untuk (melaksanakan) ketetapan Tuhanmu, dan janganlah kamu ikuti orang yang berdosa dan orang yang kafir di antara mereka. (QS. Al Insaan [76] ayat 23-24).

Membaca Al Quran adalah sebuah proses menemukan gagasan demi gagasan yang harus diwujudkan (sami’na wa atha’na). Namun dalam upaya mewujudkannya, pembaca Al Quran diminta bersabar sampai tiba waktu dan kondisi yang tepat untuk mewujudkannya. Contoh, kita membaca Al Quran di bulan Muharam lalu mendapati gagasan tentang pembinaan puasa Ramadhan. Apakah kita langsung mewujudkan gagasan tersebut? Tentu tidak, sampai kita memasuki bulan Ramadhan. Yang bisa dilakukan hanyalah merindukan dan mempersiapkan diri sampai datangnya bulan Ramadhan. Begitu pula dengan gagasan Allah lainnya, seperti: shalat, zakat, haji, jihad perang, khilafah, dll.

Begitulah Ramadhan dengan puasa sebagai instrument utamanya, ia menghadirkan kesempatan dan konsentrasi penuh untuk belajar Al Quran secara maksimal. Hasilnya adalah: لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ “agar kamu bertaqwa.” Untuk apa? Untuk dapat membaca Al Quran sebagai gagasan bagaimana menata kehidupan semesta (QS. Al Baqarah [2] ayat 2). Nah, bagi mereka yang tidak mampu membaca Al Quran secara bermakna untuk menemukan gagasan Ilahi di dalamnya, itu berarti mereka telah gagal melalui bulan pembinaan Ramadhan.

Jumat, 17 Juni 2011

KAPAN WAKTU YANG TEPAT UNTUK BELAJAR AL QURAN?

Al Quran adalah bacaan yang mulia yang diwahyukan Allah kepada Muhammad untuk menata kehidupan semesta, karena itu janganlah dianggap remeh (QS. Al Waqiaah [56] ayat 77-81). Tentu saja kita tidak ingin menjadi bagian dari orang-orang yang dikeluhkan Rasulullah saw karena meremehkan Al Quran (QS. Al Furqaan [25] ayat 30). Oleh karenanya marilah kita pikirkan betul kapan waktu yang tepat untuk mempelajari Al Quran.

Sebagai muslim, tentu kita harus tunduk-patuh kepada Rabb yang membimbing kehidupan semesta. Maka, biarkan Dia bertindak langsung sebagai Sang Maha Guru Al Quran (QS. Ar Rahman [55] ayat 1 dan 2) dan memilihkan waktu yang efektif agar pelajaran Al Quran dapat meresap ke dalam hati sanubari lalu berfungsi membentuk sikap & pandangan hidup.

Dengarlah, Sang Maha Guru Al Quran telah menyapa:

يَا أَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ
1. Hai Muzzammil!

قُمِ اللَّيْلَ إِلَّا قَلِيلاً
2. Banyaklah bangun malam (jangan terlalu banyak menggunakannya untuk tidur).

نِصْفَهُ أَوِ انقُصْ مِنْهُ قَلِيلاً
3. Bangunlah setengah malam atau kurang dari setengahnya;

أَوْ زِدْ عَلَيْهِ وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلاً
4. Atau lebihkan dari setengahnya. Lalu kajilah Al Quran setertib-tertibnya.

إِنَّا سَنُلْقِي عَلَيْكَ قَوْلاً ثَقِيلاً
5. Pasti (bila dilakukan pengkajian demikian), Kami akan resapkan suatu konsep/ pedoman hidup yang mahaberbobot.

إِنَّ نَاشِئَةَ اللَّيْلِ هِيَ أَشَدُّ وَطْءاً وَأَقْوَمُ قِيلاً
6. Suasana malam itu benar-benar cocok, dalam arti lebih mendukung pemahaman ujaran (ilmu/konsep);

إِنَّ لَكَ فِي اَلنَّهَارِ سَبْحاً طَوِيلاً
7. Sedangkan pada siang hari kamu mempunyai banyak kesibukan.

وَاذْكُرِ اسْمَ رَبِّكَ وَتَبَتَّلْ إِلَيْهِ تَبْتِيلاً
8. Maka (pada malam hari) tancapkanlah ajaran Rabbmu ke dalam kesadaran, sampai kamu berpegang kepadanya sekuat-kuatnya.

رَبُّ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ فَاتَّخِذْهُ وَكِيلاً
9. (Dialah Allah) penguasa Masyriq dan Maghrib; hanya Dia yang layak dijadikan ilah. Maka jadikanlah ajaran-Nya sebagai satu-satunya andalan.

وَاصْبِرْ عَلَى مَا يَقُولُونَ وَاهْجُرْهُمْ هَجْراً جَمِيلاً
10. Selanjutnya, teguh bertahanlah menghadapi “propaganda” mereka (para penentang Quran), serta jauhi mereka dengan cara sebaik-baiknya.

وَذَرْنِي وَالْمُكَذِّبِينَ أُولِي النَّعْمَةِ وَمَهِّلْهُمْ قَلِيلاً
11. Selebihnya (yang di luar kemampuanmu), yaitu para Mukadzdzibin (penipu masyarakat dengan gado-gado haq dan bathil) yang menguasai fasilitas kehidupan, serahkan saja kepadaku (biarkan sunnahku berjalan sebagaimana mestinya). Biarkan mereka merasakan kesenangan semu sesaat.

إِنَّ لَدَيْنَا أَنكَالاً وَجَحِيماً
12. Sebenarnya Kami (Allah) pastikan bagi mereka belenggu dan penjara kehidupan (jahïman) karena pilihan demikian;

وَطَعَاماً ذَا غُصَّةٍ وَعَذَاباً أَلِيماً
13. Serta “hidangan” (buah usaha) yang menyesakkan, yang menyebabkan penderitaan luar biasa yang pasti akan mereka rasakan.

يَوْمَ تَرْجُفُ الْأَرْضُ وَالْجِبَالُ وَكَانَتِ الْجِبَالُ كَثِيباً مَّهِيلاً
14. Suatu masa (ada giliran) bumi (pendukung sistem kehidupan) dan gunung-gunung (penegak sistem) berguncang (bergejolak), sehingga pada waktu itu gunung-gunung pun longsor seperti seonggok pasir.

إِنَّا أَرْسَلْنَا إِلَيْكُمْ رَسُولاً شَاهِداً عَلَيْكُمْ كَمَا أَرْسَلْنَا إِلَى فِرْعَوْنَ رَسُولاً
15. Jelas sekali bahwa Kami mengutus kepada kalian seorang Rasul (Muhammad) sebagai syahïd (uswatun hasanah) bagi kalian; sebagaimana dulu Kami utus seorang rasul (Musa) kepada Fir’aun (dan warga Mesir).

فَعَصَى فِرْعَوْنُ الرَّسُولَ فَأَخَذْنَاهُ أَخْذاً وَبِيلاً
16. Maka Fir’aun menentang Sang Rasul, sehingga (karena itu) Kami timpakan kepadanya siksa mahakeras.

فَكَيْفَ تَتَّقُونَ إِن كَفَرْتُمْ يَوْماً يَجْعَلُ الْوِلْدَانَ شِيباً
17. Bagaimana cara kalian menyelamatkan diri, bila kalian menolak (untuk mempelajari) suatu masa (pergiliran sejarah), yang akan mengubah para bayi (konsep, ideologi) menjadi manusia tua-renta (tak berdaya, kadaluarsa)?

السَّمَاء مُنفَطِرٌ بِهِ كَانَ وَعْدُهُ مَفْعُولاً
18. (perubahan itu menyebabkan) as-samã’ (tatanan kehidupan, struktur masyarakat) pecah berantakan. Ini merupakan rumusannya (Allah) yang dulu (dan seterusnya pasti) terlaksana.

إِنَّ هَذِهِ تَذْكِرَةٌ فَمَن شَاء اتَّخَذَ إِلَى رَبِّهِ سَبِيلاً
19. Ini adalah peringatan yang sangat gamblang. Siapa pun yang suka (mematuhinya), maka berjuanglah dia menempuh jalan hidup yang diajarkan Tuhannya.

إِنَّ رَبَّكَ يَعْلَمُ أَنَّكَ تَقُومُ أَدْنَى مِن ثُلُثَيِ اللَّيْلِ وَنِصْفَهُ وَثُلُثَهُ وَطَائِفَةٌ مِّنَ الَّذِينَ مَعَكَ وَاللَّهُ يُقَدِّرُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ عَلِمَ أَن لَّن تُحْصُوهُ فَتَابَ عَلَيْكُمْ فَاقْرَؤُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ عَلِمَ أَن سَيَكُونُ مِنكُم مَّرْضَى وَآخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِي الْأَرْضِ يَبْتَغُونَ مِن فَضْلِ اللَّهِ وَآخَرُونَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَاقْرَؤُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَأَقْرِضُوا اللَّهَ قَرْضاً حَسَناً وَمَا تُقَدِّمُوا لِأَنفُسِكُم مِّنْ خَيْرٍ تَجِدُوهُ عِندَ اللَّهِ هُوَ خَيْراً وَأَعْظَمَ أَجْراً وَاسْتَغْفِرُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
20. Tuhanmu mengajarkan agar kamu (Muhammad) mengatur waktu bangun malam yang lebih cocok di antara dua pertiga, setengah, dan sepertiga malam; dan (begitu juga) segolongan orang yang (mau melakukan hal yang sama) mengikuti dirimu (dipersilakan memilih waktu yang cocok). Allah selalu memelihara kepastian pergiliran malam dan siang. Dia tahu bahwa (pengaturan waktu belajar malam itu) tak akan pernah terlintas perhitungan-(pemikiran)-mu, sehingga ia memberikan rujukan (tãba) kepada kalian. Maka selanjutnya (setelah ada rujukan, yakni cara pembagian waktu itu), kajilah Al Quran mulai dari mana saja yang Dia (Allah) mudahkan bagi kalian (dalam memahaminya). Dia (Allah) mengetahui bahwa di antara kalian akan ada yang sakit (namun mereka tetap bisa menggunakan waktu malam untuk mengkaji Al Quran), sementara yang lain sibuk bertebaran di seluruh permukaan bumi mencari rizqi yang diridhai Allah (namun mereka tetap bisa menggunakan waktu malam untuk mengkaji Al Quran), dan yang lainnya harus bertugas dalam peperangan demi tegaknya ajaran Allah (tapi mereka tetap bisa menggunakan waktu malam untuk mengkaji Al Quran). (Justru karena itulah) maka kajilah Al Quran dengan memilih yang terasa mudah bagi kalian, lalu lakukanlah Shalat (sebagai sarana pemantapan hafalan dan peresapan ke dalam kesadaran), dan selanjutnya wujudkan Zakat (sebagai gerakan pembabatan ajaran setan sekaligus penumbuhan ajaran Allah), atau (dengan kata lain) angsurlah (pengkajian dan pelaksanaan) konsep Allah itu dengan cara mengangsur yang sebaik-baiknya. Karena kebaikan apa pun yang kalian lakukan, yang kalian jalankan demi memenuhi kehendak Allah, dia akan menjadi suatu kebaikan yang mendatangkan keuntungan lebih besar. Maka (melalui pengkajian Al Quran dan shalat ini) bangunlah kerinduan untuk mela-kukan perbaikan hidup dengan ajaran Allah; karena Allah (dengan ajarannya) adalah maha pemberlaku perbaikan serta maha pewujud kehidupan kasih-sayang.

(silakan direnungkan sedalam-dalamnya QS. Al Muzammil [73] ayat 1-20)

Demikianlah Muhammad Rasulullah saw pernah mengalami penempaan ruhiyah. Proses penempaan itu tidak berlangsung sekali dua kali, tetapi terus berulang-ulang. Sebagai umat yang menjadikannya uswah hasanah (QS. Al Ahzab [33] ayat 21), bukankah sudah seharusnya ikut mengalami proses penempaan ruhiyah tersebut? Dengan pilihan waktu yang tepat (pada malam hari) dan materi pembinaan yang tepat pula (kajian Al Quran) umat ini berproses menjadi umat unggulan (QS. Ali Imran [3] ayat 138-139) yang senantiasa melakukan amar makruf nahi munkar dalam upaya menata kehidupan semesta (QS. Ali Imran [3] ayat 110)

Sabtu, 11 Juni 2011

SYARAT UTAMA PENDIDIK DAN PESERTA DIDIK ALQURAN

Komponen utama dalam proses pembelajaran Al Quran adalah adanya pendidik dan peserta didik. Kata Nabi, خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ, Orang yang paling baik di antara kalian adalah seorang yang belajar Al Quran (peserta didik) dan mengajarkannya (pendidik) (HR. Bukhari) Tentu saja jika keduanya melalui proses pembelajaran Al Quran seperti kehendak ilahi yang telah disampaikan oleh RasulNya.

Pertama sekali yang perlu diperhatikan oleh pendidik dan peserta didik Al Quran adalah bahwa Allah telah bersumpah dengan sumpah yang sangat besar, sesungguhnya Al Quran itu adalah bacaan yang sangat mulia, pada kitab yang terpelihara, tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan. Diturunkan dari Tuhan semesta alam. Maka apakah Al Qur'an itu akan dianggap remeh? (QS. Al Waqiah [56] ayat 75-81). Oleh karenanya, hanya orang yang telah ber-Islamlah yang tidak akan meremehkan Al Quran. Maka, pendidik dan peserta didik Al Quran hendaklah orang yang telah menjadi muslim. Proses pembelajaran Al Quran hanya akan menyentuh ranah kognitif jika dialami oleh non muslim. Ranah psikomotorik dan afektifnya akan terabaikan. Al Quran akan menjadi tidak fungsional untuk menata kehidupan semesta jika dipelajari atau diajarkan oleh non muslim.

Bukankah pada umumnya mereka yang terlibat dalam proses pembelajaran Al Quran adalah umat Islam? Benar. Tapi Islam kepada apa? kepada siapa? Islam bermakna tunduk-patuh. Nah, perlu dipertegas dulu, mereka tunduk-patuh kepada apa? kepada siapa? Karena boleh jadi, Islamnya/tunduk-patuhnya kepada materi atau populeraritas. Banyak contoh yang bisa diajukan, diantaranya: mengajarkan Al Quran dengan menentukan/meminta upah. Nah, guru Al Quran yang Islamnya tertuju kepada materi tidak akan berhasil mengajarkan Al Quran, bahkan terlarang untuk belajar kepadanya. Allah memerintahkan agar kita mengikuti ajaran orang yang tiada minta upah. Dalam pengertian terbaliknya, Allah melarang kita mengikuti para dai/ustad yang meminta upah dakwah. (QS. Yaasin [36] ayat 21)

Lantas, pendidik-peserta didik Al Quran harus ber-Islam seperti apa? Nah, terkait dengan kabar Al Quran bahwa hanya orang yang disucikan yang dapat memahami Al Quran (QS. Al Waaqiah [56] ayat 79) dan dapat kita pahami bahwa kesucian tersebut bukanlah semata-mata kesucian fisik, tetapi lebih pada kesucian jiwa, yaitu bersih dari segala bentuk najis kemusyrikan (QS. At Taubah [9] ayat 28). Maka, marilah kita belajar kepada Ibrahim, seorang yang telah dinyatakan oleh Allah bebas dari kemusyrikan (QS. Al Baqarah [2] ayat 135)


Dan tidak ada yang benci kepada agama Ibrahim, melainkan orang yang memperbodoh dirinya sendiri, dan sungguh Kami telah memilihnya di dunia dan sesungguhnya dia di akhirat benar-benar termasuk orang-orang yang saleh. Ketika Tuhannya berfirman kepadanya: "Tunduk patuhlah!" Ibrahim menjawab: "Aku tunduk patuh kepada Tuhan semesta alam". (QS. Al Baqarah [2] ayat 130-131). Jadi, Ibrahim dengan tegas menyatakan bahwa ia telah ber-Islam kepada Tuhan semesta alam, bukan ber-Islam kepada selain-Nya. Begitulah hendaknya, pendidik dan peserta didik Al Quran mengikuti jejak Ibrahim dalam ber-Islam (QS. Al Baqarah [2] ayat 135) agar Al Quran dapat dipelajari sebagai kitab petunjuk kehidupan. Perhatikan keterkaitan antara Al Baqarah ayat 137 dan Al Baqarah ayat 2.

Selain ber-Islam, proses pembelajaran Al Quran yang benar melibatkan sikap iman (QS. Al Baqarah [2] ayat 121) sebagaimana iman yang ditunjukkan oleh generasi saleh terdahulu (QS. Al Baqarah [2] ayat 137) yaitu sikap sami'na (mau tahu) dan atha'na (mau ikuti) terhadap apa yang disampaikan Al Quran (QS. Al Baqarah [2] ayat 285). Dalam sejarah keimanan, kita melihat adanya keteladanan. Pendidik Al Quran hendaknya juga menjadi teladan bagi peserta didiknya, sebagaimana Muhammad Rasulullah saw menjadi teladan bagi para sahabat yang menjadi peserta didiknya (QS. Al Ahzab [33] ayat 21).

Dalam sikap sami'na (mau tahu), peserta didik Al Quran selalu bersemangat mempelajari Al Quran dengan disiplin, baik dengan cara belajar mandiri (QS. Al Muzammil [73] ayat 1-6) ataupun menimba ilmu Al Quran kepada gurunya selaku orang yg lebih dulu belajar Alquran (QS. An Nahl [16] ayat 43 dan Yunus [10] ayat 94-95). Sedangkan sang guru berkewajiban menjelaskan sejelas-jelasnya (QS. Al Ankabut [29] ayat 18). Ajaran Al Quran harus dijelaskan apa adanya, tidak boleh ada yang ditutupi demi kepentingan apapun (QS. Al Baqarah [2] ayat 159-160). Selanjutnya, sikap sami’na (mau tahu) harus diikuti dengan sikap atha’na (mau ikuti) (QS. Al Araaf [7] ayat 2-3)

Penting diperhatikan, bahwa sikap sami’na dan atha’na harus diterapkan dengan sabar.

“Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al Qur'an karena hendak cepat-cepat (menguasai) nya. Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya.” (QS. Al Qiyaamah [75] ayat 16-17)

“Berkatalah orang-orang yang kafir: "Mengapa Al Qur'an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?"; demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacakannya secara tartil (teratur dan benar).” (QS. Al Furqaan [25] ayat 32)

“Dan demikianlah Kami menurunkan Al Qur'an dalam bahasa Arab, dan Kami telah menerangkan dengan berulang kali di dalamnya sebahagian dari ancaman, agar mereka bertakwa atau (agar) Al Qur'an itu menimbulkan pengajaran bagi mereka.” (QS. Thaahaa [20] ayat 113)

“Bahkan yang sebenarnya, mereka mendustakan apa yang mereka belum mengetahuinya dengan sempurna padahal belum datang kepada mereka penjelasannya. Demikianlah orang-orang yang sebelum mereka telah mendustakan (rasul). Maka perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang zalim itu.” (QS. Yunus [10] ayat 39)

“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al Qur'an kepadamu (hai Muhammad) dengan berangsur-angsur. Maka bersabarlah kamu untuk (melaksanakan) ketetapan Tuhanmu, dan janganlah kamu ikuti orang yang berdosa dan orang yang kafir di antara mereka.” (QS. Al Insaan [76] ayat 23-24)

Rabu, 08 Juni 2011

MENGAPA UMAT ISLAM TERPECAH-BELAH?


Sebuah uraian menarik yang ditulis oleh seorang sahabat pemerhati Alquran tentang Mengapa Umat Islam Terpecah-Belah? Silakan kunyah perlahan-lahan kata demi katanya, lalu perhatikan bagaimana reaksi alami jiwa-raga anda. Apakah kata-kata yang telah anda kunyah itu akan membuat anda memuntahkan seluruh isi perut anda? atau apakah anda akan semakin sehat wal afiat di tengah-tengah para pesakitan? Nah selamat menikmati:

Saya dengar ada sebuah Hadis yang mengatakan bahwa agama kita akan pecah menjadi 73 golongan. Benarkah?

Bila yang anda tanyakan Hadisnya, memang benar ada Hadis yang mengatakan hal seperti itu, dan perpecahan itu memang sudah terjadi. Tapi bila bicara soal jumlah pecahan agama kita, seorang teman mengatakan bahwa menurut data yang ditemukannya di internet, jumlah pecahan agama kita itu mencapai 3000an.

Bukan main! Tapi, mengapa bisa begitu? Maksud saya, mengapa berita Hadis – perkataan Rasulullah – bisa berbeda dengan kenyataan?

Sebenarnya tidak ada perbedaan. Justru perkataan Rasulullah itu tepat sekali, karena menurut para ahli, dalam bahasa Arab angka tujuh itu sering digunakan untuk menyebut jumlah yang banyak atau sangat banyak. Jelasnya, angka tujuh ada kalanya dijadikan ungkapan untuk menyebut jumlah yang banyak atau banyak sekali.

O, begitu! Kemudian soal perpecahan itu, saya pernah mendengar seorang alim besar mengatakan bahwa perpecahan itu tidak perlu membuat kita berduka cita, karena walaupun berpecah menjadi banyak aliran, semua tetap disebut Rasulullah sebagai umatku.

Itu pemikiran yang menggelikan. Mungkin orang alim yang anda maksud itu sedang bercanda. Bila “umat-ku” (ummatï) itu saya umpamakan se-buah gelas, lalu gelas itu jatuh di lan-tai dan pecah menjadi banyak beling, apakah anda akan tetap mengatakan beling-beling itu sebagai gelas?

Tentu tidak. Paling banter saya akan menyebutnya sebagai mantan gelas.

Ya! Bekas gelas berarti bukan gelas lagi. Bila kita gunakan gelas sebagai contoh, Rasulullah mengata-kan “gelasku” akan pecah menjadi “73” beling, dan beliau tidak mengatakan bahwa “73 beling” sebagai “gelasku”.

Tapi, saya kira, perumpamaan gelas itu kurang tepat; karena katanya dalam hadis itu disebutkan ada satu golongan yang selamat, tidak masuk neraka.

Anda benar. Perumpamaan gelas saya gunakan hanya untuk menegaskan bahwa perpecahan itu adalah sesuatu yang disesali oleh Rasulullah, bukan sesuatu yang dibenarkan atau dianggap sah-sah saja. Tegasnya, dalam Hadis itu sebenarnya Rasulullah sedang memberikan peringatan bahwa menurut sejarah (historis) perpecahan itu sesuatu yang niscaya (hampir pasti) terjadi, dan beliau tidak bisa mencegah, apalagi setelah beliau wafat. Jadi, boleh dikatakan bahwa perpecahan itu sesuatu yang bakal terjadi sebagai perulangan sejarah.

Apakah Rasulullah menyebutkan bahwa perpecahan itu memang merupakan perulangan sejarah?

Dalam Hadis tersebut, beliau memulai dengan menyebutkan Yahudi di urutan pertama, kemudian Nasrani, setelah itu baru disebutkan umatnya sendiri. Bila hal itu merupakan perulangan sejarah, berarti Hadis itu hanya berisi berita, bukan peringatan. Beliau mengatakan bahwa pada saat umatnya pecah menjadi 73 golongan, ada satu golongan yang selamat. Selainnya celaka! Di situlah letak peringatannya.

Maksud anda?

Dengan mengatakan bahwa ada satu golongan dari 73 pecahan, maka kita diingatkan oleh Rasulullah agar kita masuk ke dalam golongan yang satu itu.

Nah! Justru di situ sulitnya. Semua golongan, apakah jumlah-nya 73 atau 3000an, masing-masing kan mengaku sebagai pihak yang benar, pihak yang selamat! Saya jadi bingung.

Karena itu, jangan bicara masalah pengakuan, atau mengaku-aku. Pengakuan itu kan kata dasarnya “aku”, atau “ego” dalam bahasa Latin, atau “ana” dalam bahasa Arab. Pengakuan itu subyektif, yaitu berhubungan dengan segala gagasan dan perasaan yang ada dalam batin kita (ideas, feelings that exist in the mind), yang belum tentu ada dalam kenyataan. Selagi kita bersikap subyektif, maka selama itu kita akan merasa bahwa kitalah yang benar, orang lain salah semua. Tidak ada yang benar kecuali aku!

Apakah Rasulullah, dalam Hadis itu, memberikan batasan atau kriteria untuk pihak yang selamat itu?

Ya. Batasannya begitu jelas; dan saya kira tidak membuka peluang bagi masuknya “setan aku-aku”, yang suka mengaku-aku bahwa dirinya be-nar dan orang lain salah. Jelasnya, mari kita perhatikan Hadisnya! Saya menemukan beberapa Ha-dis yang berkaitan dengan masalah perpecahan tersebut. Ini Hadis Abu Daud:




“Camkanlah bahwa orang sebelum kalian dari kalangan Ahli Kitab telah terpecah menjadi 72 millah dan sungguh millah ini (agama Islam) akan pecah menjadi 73 golongan. 72 golongan di Neraka dan satu golongan di Jannah, yaitu Al-Jama’ah.”

Ini Hadis Ibnu Majah:




“Yahudi telah pecah menjadi 72 firqah (golongan). Satu firqah di Jannah, dan 70 firqah di Neraka. Nasrani juga pecah menjadi 72 firqah. 71 firqah di Neraka, dan 1 fir-qah di Jannah. Sungguh, demi Dia yang menguasai diri Muhammad (Allah), umatku ini benar-benar akan pecah menjadi 73 firqah. Satu firqah di Jannah, dan 72 firqah di Neraka.” Maka Rasulullah ditanya, “Siapakah mereka (yang di Jannah itu)?” Jawab Rasulullah, “Al-Jama’ah.”

Itulah contoh-contoh dari sejumlah Hadis yang bernada sama; yaitu berbicara tentang perpecahan yang terjadi pada Yahudi dan Nasrani, yang juga terjadi pada umat Islam. Dalam kedua Hadis yang anda kutipkan itu disebutkan bahwa yang selamat dari neraka adalah al-jama’ah.

Adakah penegasan dari Rasulullah tentang apa yang disebut dengan istilah al-jama’ah itu?

Dalam sebuah Hadis lain , Rasulullah menggambarkan al-jama’ah itu sebagai ma ana ‘alaihi wa as-hãbi (ما أنا عليه و أصحابى), yaitu “sesuatu”, yang di dalamnya terdapat Rasulullah bersama para sahabat beliau.

O, jadi yang dimaksud adalah jama’ah yang dibentuk oleh Rasulullah sendiri?

Ya! Itulah jama’ah yang sebenarnya, jama’ah teladan.

Tapi, identitas jama’ah Rasulullah itu kan sudah tidak jelas lagi, karena sudah terkubur dalam waktu belasan abad.

Para pembangun jama’ah awal, yang selanjutnya harus diteladani itu memang merupakan umat yang sudah lewat selama belasan abad dari kita. Tapi, bila anda katakan bahwa identitas mereka sudah tidak jelas lagi, itu salah besar. Identitas mereka masih ada, dan amat jelas, karena direkam Allah dalam Al-Qurãn.

Benarkah? Bisa anda sebutkan ayat-ayat yang merekam identitas jama’ah Rasulullah itu?

Ada banyak ayat. Untuk sementara kita ambil salah satunya, yaitu gambaran yang terdapat dalam surat Al-Fath ayat 29:




Muhammad, Rasulullah, serta para pengikutnya, bersikap tegas terhadap kaum kafir seraya berkasih-sayang dengan sesama mereka. Kamu lihat mereka rukuk dan sujud mencari ka-runia dan ridha Allah. Ciri mereka tampak pada penampilan mereka, yang membuktikan bahwa mereka adalah orang-orang yang patuh (su-jud). Begitulah gambaran mereka dalam Taurat maupun Injil (yaitu sama dengan gambaran mereka da-lam Al-Qurãn). Mereka berkembang (menjadi besar dan banyak) seperti halnya tanaman mengeluarkan tunas-nya, yang kemudian bertambah kuat dan besar; lalu batangnya pun tegak lurus menjulang, sehingga menakjub-kan para penanamnya; dan dengan pertumbuhan mereka itu Allah mem-buat dongkol orang-orang kafir. (de-ngan demikian) Allah menjanjikan kepada orang-orang beriman, yakni mereka yang berbuat tepat (sesuai ajaran Allah) bahwa dari mereka pasti muncul perbaikan hidup serta anugerah yang besar tiada tara.

Saya lihat dalam ayat ini ada enam ciri jama’ah Rasulullah. Pertama, sikap tegas terhadap orang kafir. Tapi harap dicatat bahwa tegas atau keras di sini lebih dititikberatkan pada ketegasan pendirian yang tidak kenal kompromi dalam menegakkan kebenaran. Namun dalam pergaulan sebagai sesama manusia, siapa pun diperlakukan secara ba-ik oleh setiap muslim. Dengan kata lain, tegas di sini juga berarti adil, baik terhadap diri sendiri, golongan sendiri, maupun orang dan golongan lain.

Tapi, bisakah dikatakan baik dan adil bila kita bersikap keras?

Tadi sudah saya katakan bahwa keras yang dimaksud adalah tidak kenal kompromi dalam menegakkan kebenaran. Harap anda catat bahwa kebenaran itu, bila ditegakkan, pasti akan menguntungkan semua orang. Sebaliknya, bila sudah ada kompromi dalam penegakan kebenaran, celakalah semua orang.

Saya masih belum mengerti maksud anda.

Contohnya adalah pelaksanaan hukum cambuk di Aceh b eberapa yaktu lalu, yang menimbulkan perdebatan, antara lain karena hukum itu tidak berlaku bagi semua orang yang terbukti bersalah. Jelasnya, ada sebagian dari mereka yang bersalah tidak dikenai hukum cambuk karena mereka bisa membayar denda. Dengan demikian, timbul kesan bahwa hukum itu hanya berlaku bagi orang-orang miskin. Di sinilah saya melihat ada semacam kompromi dalam penegakkan kebenaran. Kalau memang ada pilihan antara dicambuk dan membayar denda, uang dendanya tentu harus mahal, sehingga benar-benar memberatkan pelaku.

Bila contohnya kasus hukum cambuk di Aceh, saya kira itu tidak cocok dengan karinah (konteks) ayat tersebut, karena yang disebut dalam ayat itu adalah sikap tegas atau keras terhadap orang kafir.

Dalam sebuah Hadis disebutkan bahwa seseorang tidak akan berzina atau mencuri bila pada saat ia berbuat itu dia dalam keadaan beriman. Jelasnya, kekafiran itu pada hakikatnya melekat pada orang yang melakukan pelanggaran hukum.

Jadi, yang disebut kafir itu bukan orang yang menolak da’wah Islam?

Secara umum, dari sudut pandang Islam, orang kafir adalah mereka yang menentang atau menolak da’wah Islam. Begitu juga bila anda menggunakan sudut pandang lain. Dari sudut pandang Kristen, misalnya, tentu saja orang kafir adalah orang yang menolak agama Kristen. Kemudian, secara khusus, dalam konteks internal umat Islam itu sendiri, orang Islam yang melakukan pelanggaran hukum pada hakikatnya telah berperilaku seperti orang kafir. Dengan demikian, sikap tegas atau keras itu pada hakikatnya ditujukan pada perilaku kafir itu sendiri, yang kadang justru hinggap pada orang yang mengaku mu’min.

Tapi, barangkali ajaran inilah yang menyebabkan sebagian orang Islam bersikap garang terhadap orang-orang non-Islam!

Oh! Jangan keliru! Nabi Muhammad memberikan contoh bahwa ketegasan itu harus diberlakukan secara tidak pandang bulu, tapi juga harus proporsional (pada tempatnya). Dalam Piagam Madinah, misalnya, beliau menegaskan bahwa setiap penjahat harus dihukum, walau dia adalah keluarga sendiri. Karena itulah beliau juga menegaskan bahwa seandainya putri beliau mencuri, maka beliau akan memotong tangannya (Fathimah). Di Madinah, beliau memimpin penyerangan dan pengusiran terhadap Yahudi, karena mereka sebelumnya sudah terikat dalam peraturan yang disepakati bersama, yaitu Piagam Madinah. Nabi bersikap tegas dan keras terhadap mereka karena mereka melanggar kesepakatan itu.Saya kira, apa yang dilakukan Nabi itu pastilah akan dilakukan oleh setiap orang yang memahami arti penegakan hukum.

Jadi, orang Islam yang melakukan tindakan teror adalah orang yang tidak memahami hukum itu?

Ya. Gampangnya begitulah. Tapi, ingat, perkara terorisme bukan masalah sederhana. Ini sudah menyangkut politik internasional, berkaitan dengan trik-trik militer, bahkan mungkin tidak terpisahkan dari isu benturan peradaban yang diungkapkan Samuel Huntington dalam bukunya yang terkenal itu.

Wah, jadi melantur nih!

Ya. Sekarang kita kembali kepada pembicaraan kita tentang ciri-ciri al-jama’ah yang dibentuk oleh Rasulullah bersama para sahabatnya. Saya ulangi, ciri pertama, ketegasan terhadap orang orang kafir atau kekafiran. Itu sudah kita bahas. Ciri kedua adalah berkasih-sayang dengan sesama muslim. Ini tuntutan mutlak untuk membuktikan iman. Dalam hal ini Rasulullah sampai harus menegaskan bahwa kita belum berhak mengaku mu’min sebelum kita mencintai saudara seiman seperti mencintai diri sendiri. Kemudian, ciri ketiga, ruku’ dan sujud mencari karunia dan ridha Allah. Ini bukan ruku’ dan sujud dalam shalat ritual, tapi gambaran sikap keseharian seorang mu’min yang serba penuh kepatuhan terhadap Allah dalam setiap geraknya, yang di sini dilambangkan dengan ruku’ dan sujud. Ciri keempat, bekas sujud pada wajah. Ini juga tidak bisa dipahami dalam pengertian harfiah. Kata wajhun, yang jamaknya, wujuhun (وجح) tidak selalu berarti paras, tapi bisa juga berarti jalan, arah, pihak, maksud, segala yang tampak (= segi atau aspek). Bahkan juga bisa berarti pemimpin kaum.

Lalu, dalam konteks ayat itu, pengertian mana yang cocok?

Karena yang dibicarakan di sini adalah ciri-ciri al-jama’ah yang dibentuk Rasulullah bersama para sahabatnya, maka wujuh (jamak dari wajh) di sini tentu segala segi atau aspek dari ‘tampilan’ mereka secara keseluruhan, yang merupakan pancaran dari kepatuhan (sujud) mereka terhadap Allah.

Jadi bukan warna hitam pada muka seseorang, sebagai bukti bahwa ia banyak bersujud?

Saya kira, bukan! Sebab, yang begitu sih bisa direkayasa, bisa dibuat-buat.

Maksud anda?

Ada orang yang pernah mengikuti suatu aliran tasauf mengatakan bahwa tanda itu bisa dibuat dengan cara menggosok dahi dengan buah kelapa. Cara lainnya, mungkin dengan menekankan kepala agak keras di lantai ketika bersujud, dan waktunya diperlama dengan mengulang bacaan sujud puluhan kali.

Apakah hal itu pernah dilakukan Rasulullah?

Sayangnya, tidak! Kita belum menemukan Hadis yang menceritakan bahwa di dahi Rasulullah ada tanda hitam bekas sujud. Selain itu, ciri shalat Rasulullah adalah berdirinya yang lama, bukan sujudnya.

Terus, apa ciri yang kelima?

Ciri kelima dari jama’ah Rasulullah adalah bahwa mereka mempunyai kesamaan dengan jama’ah Musa (Taurat) dan Isa (Injil), dan tentu juga dengan jama’ah para rasul yang lain. Dengan demikian, jelaslah bagi kita bahwa jama’ah para rasul Allah itu mempunyai ciri yang sama, meskipun mereka hidup di zaman-zaman yang berbeda. Terakhir, dan saya kira ini yang paling penting untuk digaris-bawahi; jama’ah Rasulullah itu, apakah rasulnya bernama Adam, Idris, Nuh, Hud, Shalih, Ibrahim, dan seterusnya sampai Muhammad, semua tumbuh dan berkembang seperti tanaman.

Jelasnya bagaimana?

Bila tanaman tumbuh dan berkembang biak dari satu benih atau biji, jama’ah Rasulullah juga demikian. Mereka bermula dari satu benih, menjadi sebatang pohon, yang selanjutnya melahirkan tunas-tunas baru, yang semakin lama semakin banyak. Ketika dari satu pohon itu telah berkembang biak menjadi banyak pohon yang menutupi sebidang tanah, maka tanah itu pun berubah menjadi kebun, yang dalam Al-Qurãn disebut dengan istilah jannah; dan kita menerjemahkannya menjadi sorga.

Wah, saya jadi bingung. Dari uraian anda, saya menangkap gambaran bahwa sorga itu adalah kumpulan manusia.

Tepat! Memang itu yang saya maksud.

Tapi, bukankah sorga itu adalah nama sebuah tempat di alam akhirat nanti?

Ya, itulah konsep yang kita terima selama ini. Dalam kaitan dengan alam setelah kita mati, mungkin benar bahwa jannah itu adalah sebuah tempat, yang kita belum tahu di mana letaknya. Tapi dalam konteks kehidupan kita sekarang, di dunia ini, jannah itu mempunyai dua arti. Pertama, istilah jannatun atau al-jannatu berasal dari kata kerja janna, yang berarti menutupi. Kemudian, mengapa jannatun atau al-jannatu belakangan jadi berarti kebun atau taman? Menurut sahibul hikayat, yang direkam dalam kamus Al-Munjid, seperti yang saya katakan tadi, yang disebut kebun atau taman itu pada hakikatnya adalah sebidang tanah yang tertutup berbagai tumbuhan. (الجنة ج جِنان و جنّات: الحديقة ذات الشجر قيل لها ذلك لسترهاالأرض بظلالها).

Baiklah, itu asal-usul istilah kebun atau taman. Tapi, saya tidak mengerti bila anda menyamakan jama’ah dengan kebun atau taman.

Anda salah tanggap. Saya tidak menyamakan, hanya mengibaratkan. Pengibarat itu juga bukan berasal dari saya, tapi dari Allah, dari ayat yang sedang kita bahas. Allah mengibaratkan proses pertumbuhan dan perkembangan jama’ah Rasulullah seperti proses tumbuh kembangnya tanaman; yaitu bermula dari benih, jadi sebuah pohon, lalu pohon itu menghasilkan tunas-tunas, yang selanjutnya tumbuh menjadi pohon-pohon baru. Setelah menjadi banyak, pohon-pohon itu akhirnya menutup sebidang tanah. Tanah yang tertutup pepohonan itu kemudian disebut kebun atau taman.

Kenapa disebut kebun atau taman? Kenapa tidak disebut hutan, misalnya?

Ini ada kaitan dengan urusan rekayasa. Hutan terbentuk semata-mata karena kehendak Allah; walau sekarang ada juga hutan buatan manusia. Kebun atau taman adalah hasil rekayasa manusia; walau fasilitasnya bersal dari Allah juga.

Lalu, apa hubungannya dengan jama’ah?

Pertama, kebun atau taman berasal dari satu benih. Begitu juga jama’ah. Kedua, kebun atau taman adalah hasil rekayasa manusia. Begitu juga jama’ah.

Mengapa jama’ah harus diumpamakan seperti kebun atau taman?

Supaya kita menyadari bagaimana proses terbentuknya sebuah jama’ah, dan selanjutnya memahami pula manfaat jama’ah itu. Yaitu, ibarat kebun atau taman, jama’ah itu harus menghidangkan buah-buahan dan umbi-umbian yang bisa dimakan dan menyehatkan. Selain itu, ia juga harus menimbulkan kesejukan, keteduhan, kenyamanan, keserasian, dan keindahan.

O, begitu ya? Saya baru mengerti di mana letak persamaan jannah dengan jama’ah. Kemudian, bila benih tanaman berbentuk biji, benih jama’ah berbentuk apa?

Ini pertanyaan yang menarik! Benih, dalam bahasa Arab, adalah bazrun. Dalam percakapan, orang Arab mengucapkannya bazr. Ada kemungkinan kata bazr inilah yang dipelesetkan orang Indonesia menjadi biji. Tapi Allah sendiri, dalam Al-Qur-ãn, menyebut benih dengan istilah habbun (حبّ) dan habbah (حبّة), yang huruf-huruf dasarnya sama dengan hubb (حبّ), yang berarti cinta. Nah, benih sebuah jama’ah adalah hubb alias cinta.

Cinta?

Ya! Tepatnya cinta terhadap sebuah konsep.

Cinta terhadap sebuah konsep?

Ya! Cinta terhadap sebuah konseplah yang membuat manusia berhimpun menjadi sebuah jama’ah. Dan benih jama’ah Rasulullah adalah cinta Rasulullah dan para sahabatnya terhadap konsep (ajaran) Allah, yakni Al-Qurãn.

Ya Allah! Bulu kuduk saya merinding!

Mengapa?

Karena selama ini saya tak pernah berpikir bahwa sebuah jama’ah itu terbentuk dari cinta terhadap sebuah konsep, dan bahwa jama’ah Rasulullah terbentuk dari cinta Rasulullah serta para sahabatnya terhadap Al-Qurãn.

Surat Al-Baqarah ayat 165 bahkan menegaskan bahwa cinta yang dimaksud bukanlah sembarang cinta tapi cinta yang luar biasa terhadap ajaran Allah (اشدّ حبّا لله) , yang mengalahkan segala kecintaan mu’min terhadap segala sesuatu yang lain.

Sekarang saya mengerti apa masalah yang paling inti dari perpecahan umat Islam itu! Hal itu terjadi karena mereka tidak mencintai Al-Qurãn. Atau karena kecintaan mereka terhadap Al-Qurãn berbaur dengan cinta terhadap yang lain. Begitu kan?

Mungkin!

Lalu, bila kecintaan terhadap Al-Qurãn berbaur dengan kecintaan terhadap yang lain, apakah itu tidak berarti musyrik?

Secara harfiah, seorang manusia disebut musyrik ketika dia mencampur-aduk sesuatu dengan sesuatu yang lain. Dengan kata lain, musyrik itu pada hakikatnya adalah sikap mendua, sikap berbagi cinta.

Saya jadi semakin mengerti mengapa perpecahan itu bisa terjadi. Tapi apakah itu terjadi semata-mata karena kecenderungan manusia yang suka mendua hati, atau karena ada faktor-faktor lain?

Tentu ada perpaduan antara kecenderungan manusia dan faktor-faktor lain. Faktor-faktor lain itu, gampangnya adalah kerja syetan.

Apakah yang anda maksud dengan syetan itu adalah makhluk gaib?

Pertama, ya! Selanjutnya, faktor manusia itu sendirilah yang menentukan. Tepatnya adalah sesuatu yang disebut human error. Kelemahan atau kelalaian manusia. Nah, kalau bicara peran syetan sebagai makhluk halus yang merupakan lawan malaikat, maka human error itulah bidang permainan syetan.

Jelasnya bagaimana?

Kita akan coba melihatnya secara gamblang. Sebagai alat bantu, mari kita pelajari dulu dialektika Hegel.

Apa itu delektika Hegel?

Sebuah teori yang bersumber dari Hegel, filsuf sekaligus ahli sejarah, yang terkenal dengan filsafat sejarahnya.

Apa inti ajaran Hegel?

Hegel mengajarkan bahwa “sejarah bukanlah kejadian tanpa arti, tapi merupakan sebuah proses yang melibatkan peran otak manusia, tepatnya merupakan perwujudan dari semangat manusia untuk meraih kebebasan”. (History is not meaningless chance, but a rational process – the reali-zation of the spirit of freedom). Nah, harap dicatat, semangat manusia untuk mencari kebebasan juga adalah bidang permainan syetan!

O ya? jelasnya bagaimana?

Manusia diciptakan untuk mengabdi. Dus, menjadi makhluk yang terikat, bukan makhluk bebas. Dalam rencana Allah, manusia harus mengabdi kepadaNya. Ingat ayat wa ma khalaqtul- jinna wal-insa illa liya’buni. Ketika ia tidak mau menjadi abdi (hamba) Allah, maka otomatis ia menjadi abdi dari “tuhan-tuhan” lain, meski dalam pemikirannya ia menggap dirinya bebas.

Merasa bebas dari aturan Allah, mengabaikan agama Allah, tapi secara otomatis membudak pada konsep yang lain, di antaranya konsep Hegel, begitu?

Ya!

Kembali pada teori Hegel. Apakah ajarannya mempunyai pengaruh besar bagi manusia di dunia?

Pengaruh Hegel dalam kajian filsafat dan sejarah mungkin sama besarnya dengan pengaruh Freud dalam psikologi. Teori Hegel mewarnai pemikiran semua orang yang memimpikan kebebasan. Tepatnya, teori Hegel amat digandrungi oleh mereka yang tidak menyukai keterikatan pada suatu ajaran baku, karena bagi mereka kebakuan itu tidak ada. Yang ada cuma perubahan dan perubahan. Karena itu mereka selalu mengatakan bahwa di dunia ini tidak ada yang kekal, kecuali perubahan.

Jelasnya bagaimana teori Hegel itu?

Dia bilang, segala sesuatu yang ada di alam ini selalu berubah. Segala sesuatu yang ada itu, disebut Hegel sebagai these. Kata Hegel, dalam setiap these selalu ada unsur-unsur yang menentangnya, yang disebutnya antithese. Akibat pertentangan these dan antithese itu, timbullah synthese. Selanjutnya, synthese menjelma menjadi sebuah these baru yang di dalamnya terkandung antithese pula, yang selanjutnya akan melahirkan synthese baru lagi. Begitulah seterusnya. Bagi Hegel, hidup ini pada dasarnya adalah rangkaian these, antithese, dan synthese yang terus sambung-menyambung tak ada hentinya. Belakangan, istilah these atau thesis dalam ejaan Inggris, dibatasi pengertiannya menjadi teori, atau konsep saja. Jadi, dalam satu teori (thesis), terkandung unsur yang menjadi lawan teori itu (antithesis). Ketika thesis bertumbukan dengan antithesis, lahirlah synthesis, yang kemudian menjadi thesis baru lagi, yang di dalamnya terkandung antithesis pula. Begitulah seterusnya.

Kenyataannya memang begitu kan?

Ya. Teori Hegel dianut banyak orang justru karena “sesuai dengan kenyataan”. Tapi perlu dicatat bahwa teori dialektika itu sebenarnya bukan murni teori Hegel.

Maksud anda?

Hal itu sudah ditegaskan Allah dalam Al-Qurãn, dan tentu juga dalam kitab-kitab Allah sebelumnya. Tapi, karena kita baru mengetahuinya dari Hegel, kita lantas sepakat mengakui bahwa yang disebut dialektika itu adalah teori Hegel.

Benarkah bahwa teori itu memang ada dalam Al-Qurãn?

Ya. Pertama, harap dicatat bahwa these atau thesis itu dalam bahasa Arab disebut risãlah, dan pembawa risalah disebut rasul. Dalam surat Al-Furqan ayat 30-31, ketika Nabi Muhammad mengeluh karena menyaksikan kaumnya meninggalkan risalahnya, yaitu Al-Qurãn, Allah menegaskan bahwa setiap nabi memang mempunyai musuh, yaitu para mujrim, alias penjahat, pendosa, gajingan, atau pelanggar hukum.

Lalu apa hubungannya dengan teori Hegel?

Rasul itu dikutus Allah untuk menyampaikan sebuah risalah, yang dalam bahasa Hegel disebut these atau thesis. Nah, risalah atau thesis Allah itu pada dasarnya berisi penjelasan tentang al-haqqu (kebenaran) dan al- bãthilu (kesalahan). Harap diingat bahwa secara harfiah, al-bãthilu itu adalah pembatal, yaitu pembatal kebenaran (al-haqqu). Dalam bahasa Hegel, al-bãthilu itu adalah antithesis!

Mengapa Allah harus menjelaskan kebenaran sekaligus juga kesalahan?

Tentu supaya manusia memilih yang benar dan meninggalkan yang salah.

Tapi yang benar dan salah itu selanjutnya kan menjadi thesis dan antithesis, yang cenderung berbenturan.

Ya. Itu kan sunnatullah. Segala sesuatu diciptakan Allah mempunyai pasangan dan atau lawan. Ketika Allah menjelaskan kebenaran dan kesalahan, tujuanNya tentu supaya manusia memilih kebenaran dan menolak kesalahan.

Tapi ternyata kebanyakan manusia memilih kesalahan!

Melalui penjelasan Allah dalam Al-Qurãn, kita tahu bahwa di situ ada peran mujrimun. Merekalah yang mengembangkan antithesis dan kemudian membenturkannya dengan thesis.

Oh, begitu! Lantas, bila mujrimun mengembangkan kesalahan (antithesis), siapa yang mengem-bangkan synthesis?

Tentu saja si mujrimun juga, cuma kelasnya lebih tinggi. Jelasnya, pengembang kesalahan adalah bajingan kelas teri, yang semata berbuat jahat secara lugu, tanpa polesan apa pun. Pokoknya dia tidak mau yang benar, maunya yang salah saja. Maka dia mengambil yang salah dan menolak yang benar. Sementara pembuat synthesis adalah penjahat berotak, bajingan yang jenius. Mereka tahu bahwa kebenaran yang diajarkan Allah itu beranfaat bagi kehidupan manusia, tapi bila dijalankan secara utuh, apa ada-nya, nafsu jahat tidak bisa bermain di situ. Maka, supaya nafsu jahatnya bisa bermain, diambillah sebagian kebenaran untuk dijadikan selubung kejahatan. Dalam Al-Qurãn, tindakan demikian itu disebut dengan istilah talbisul-haqqa bil-bãthil – meracik al-haqqu dengan al-bãthilu – dengan teknik tu’minûna bi-ba’dhin wa takfurûna bi-ba’dhin, yaitu mengambil sebagian kebenaran yang menunjang kepentingannya, dan mencampakkan bagian lain yang tidak mendukung kepentingannya, yaitu menciptakan adonan yang bernama synthesis itu.

Kalau begitu, synthesis itu adalah kesalahan berselubung kebenaran?

Ya. Dalam konteks risalah Allah, sintesis adalah kesalahan berselubung kebenaran. Itulah yang oleh si mujrim dipromosikan sebagai “kebenaran baru”, yang diajukan sebagai pengganti “kebenaran lama” (risalah Allah).

Kapan kebenaran baru itu diperkenalkan oleh si Mujrim?

Setiap saat; kapan saja mereka melihat kesempatan.

Maksud saya, apakah mereka mengajukan sintesis itu pada saat rasul Allah masih hidup atau seteah sang rasul tiada?

Kalau kita merujuk pada surat Al-Furqan ayat 30-31 tadi, ternyata Nabi Muhammad, di masa hidupnya, sudah mengeluhkan (sebagian) kaumnya yang meninggalkan Al-Qurãn.

Dengan kata lain, para mujrim itu ternyata sudah giat bekerja menyesatkan orang selagi Rasulullah masih hidup. Dan setelah Rasulullah wafat, tentu mereka bekerja lebih giat lagi?

Ya. Buktinya, sebelum jasad Rasulullah dikuburkan, sebagian umatnya sudah ribut masalah kekuasaan. Kaum Muhajirin dan Anshar nyaris saling bunuh, karena masing-masing ingin mengangkangi kekuasaan yang ditinggalkan Rasulullah. Kemudian, ketika Abu Bakar terpilih sebagai khalifah pertama, muncullah nabi-nabi palsu dan para pembangkang yang tidak mau lagi membayar zakat. Lebih lanjut, setelah masa Rasulullah dan para sahabat berlalu, di tataran konsep, dalam hal ajaran Islam itu sendiri, muncullah ilmu tauhid dengan berbagai cabangnya, ilmu fiqih dengan berbagai cabangnya, dan ilmu tasauf dengan berbagai cabangnya.

Dengan kata lain, bila dilihat melalui dialektika Hegel, semua itu adalah rangkaian dialektika belaka?

Ya. Itulah rangkaian perubahan yang sambung-menyambung secara berkelanjutan dan berkepanjangan. Rangkaian thesis, antitheis, synthesis; thesis, antitheis, synthesis; thesis, antitheis, synthesis; …

Sungguh menakjubkan! Kalau begitu, Islam yang ada di kepala saya sekarang ini Islam apa sebenarnya? Mungkinkah hanya buyut sintesis kesekian ratus dari moyang antitesis yang pertama?

Mungkin! Ha ha!

Lalu bagaimana caranya supaya saya bisa keluar dari lingkaran syetan ini?

Tentu saja anda harus menempuh suatu proses belajar.

Tapi dari mana memulainya bila keadaannya sudah seperti benang kusut begini?

Bila anda diberi benang kusut, apa yang akan anda lakukan?

Mungkin saya harus berusaha mengurainya dulu, sebelum bisa menggunakannya.

Tidak. Kalau saya diberi benang kusut, saya akan membuangnya, dan kemudian saya cari benang lain yang tidak kusut.

Tapi, bila yang anda maksud dengan benang kusut itu adalah ajaran Islam, apakah anda akan membuangnya, lalu mencari agama lain?

Tidak. Umat agama lain juga sama kusutnya. Pada Islam saya masih melihat ada unsur terpentingnya yang tidak tersentuh kekusutan.

Apa itu?

Kitabnya, Al-Qurãn. Dia tidak tersentuh kekusutan. Bahkan menurut seorang teman, Al-Qurãn itu masih perawan.

Maksudnya?

Maksud dia Al-Qurãn itu belum benar-benar dikaji. Kalau sekarang orang mengaku mengkaji Al-Qurãn, yang mereka kaji sebenarnya hanya tafsir-tafsirnya, yang belum tentu mewakili Al-Qurãn.

Ada yang bilang bahwa tafsir-tafsir itu hanya mewakili golongan-golongan tertentu?

Benar. Tafsir sufi, misalnya, jelas mewakili pemahaman tasuf. Sebagian dari tafsir-tafsir itu malah mengandung hadis-hadis Israiliyah, hadis-hadis Yahudi!

Wah, saya baru dengar itu.

Yang jelas, berisi hadis Yahudi atau tidak, tafsir-tafsir itulah yang menjadi sarana tunggangan dialektika Hegel itu. Melalui tafsir-tafsir itulah manusia menyampaikan apa yang mereka sebut koreksi, pembaruan, dan sebagainya.

Karena itu ajaran Islam menjadi kusut?

Menurut saya, yang kusut itu bukan ajaran Islam tapi otak manusia yang mengaku umat Islam. Mereka terperosok ke dalam arus perputaran dialektika Hegel, yang tadi anda sebut sebagai lingkaran syetan itu.

Oh! Jadi itu benang kusutnya ya?

Iya. Sekarang, coba perhatikan gambar yang saya buat ini! Mudah-mudahan ini bisa membantu anda keluar dari jerat benang kusut itu.

Gambar I




Bagaimana penjelasan gambar ini?

Allah menurunkan ajaran melalui Rasul (lingkaran pertama). Warna putih menggambarkan kemurnian ajaran Allah yang diterima Rasul, dan lingkarannya adalah gambaran tentang Periode Rasul itu sendiri, yang di dalamnya Rasul hidup bersama para pengikut awalnya, yang menjalankan ajaran Allah yang masih murni. Setelah Rasul tiada, ajaran Allah dibawa Pelanjut 1 memasuki LD (lingkaran kedua). Warna abu-abu tipis menggambarkan kemurnian ajaran Allah yang sudah terkontaminasi berbagai ajaran lain melalui Proses Dialektika Hegel.

Artinya, yang disebut ajaran Allah dalam lingkaran kedua itu sebenarnya adalah synthesis dari perbenturan antara thesis dengan antithesis?

Ya, itulah yang ingin saya katakan melalui gambar ini. Gampangnya, ajaran Allah sudah mulai kemasukan unsur lain, walau baru sedikit. Kemudian, setelah Pelanjut 1 tiada, ajaran Allah dibawa Pelanjut 2 memasuki LT (lingkatan ketiga), yang berwarna abu-abu tebal, menggambarkan bahwa ajaran Allah sudah bercampur-aduk dengan berbagai ajaran lain yang jumlahnya semakin banyak. Setelah Pelanjut 2 tiada, ajaran Allah dibawa Pelanjut 3 memasuki LE (lingkaran keempat), yang berwarna hitam, menggambarkan bahwa ajaran Allah sudah bercampur aduk sedemikian rupa dengan berbagai ajaran lain, sehingga sudah sangat sulit untuk mengenali mana yang benar dan mana yang salah, karena parameter benar-salah itu sendiri pun sudah hilang.

Oh! Apakah lingkaran hitam itu anda maksudkan sebagai keadaan kita sekarang?

Mungkin… iya!

Kenapa mungkin? Bukankah keadaan kita sekarang memang seperti itu? Yang benar dan yang salah sudah sulit dibedakan, karena paramater (ukuran) benar dan salah pun sudah hilang!

Silakan saja anda menafsirkan begitu. Saya hanya berusaha menggambarkan sebuah situasi dan kondisi ketika ajaran Allah sudah ‘berkembang’ sedemikian rupa dalam perjalanannya yang sentrifugal.

Maksud anda?

Yaa, saya melihat sejak diterima oleh rasul, ajaran Allah itu kan ‘bergerak’ sentrigufal (centrifugal), yaitu semakin menjauh dari pusat. Bila dilihat dari perluasan wilayah, hal itu tentu bagus, karena berarti ajaran Allah itu tersebar luas kan? Tapi, dari sisi keutuhan ajaran itu sendiri, gerak sentrifugal itu memprihatinkan. Mengapa? Ini berkaitan dengan dialektika Hegel tadi! Dari sisi keutuhannya, gerak sentrifugal dari ajaran Allah itu adalah gambaran negatif; karena semakin menjauh dari pusat berarti semakin jauh dari keasliannya, semakin banyak pencemaran yang masuk ke dalamnya.

Apakah itu berhubungan dengan human error para pelanjut?

Saya kira, iya. Tadi sudah saya katakan bahwa syetan bermain di situ kan? Syetan bermain pada sisi kelemahan atau kelalaian manusia.

Kalau begitu, semakin jauh beredar, melintasi ruang demi ruang dan waktu demi waktu, tentunya ajaran Allah itu bisa semakin pudar, dan akhirnya hilang?

Benar sekali! Itulah sebabnya Allah mengutus rasul-rasul dari masa ke masa.

Artinya, rasul kedua diutus karena ajaran yang dibawa rasul pertama sudah hilang?

Ya. Tepatnya sudah tercemar sedemikian rupa, sehingga sulit membedakan antara putih dan hitam. Tanda yang paling nyata dari lenyapnya kemurnian ajaran Allah itu adalah lenyapnya kitab Allah itu sendiri. Lenyapnya kitab Taurat dan Injil yang asli, misalnya, adalah salah satu contoh kasus.

Jadi ketika Allah mengutus rasul kedua, rasul yang kedua ini tidak membawa ajaran baru?

Tidak. Dia hanya membawa ajaran Allah yang sudah hilang dari kesadaran manusia, dan sudah tidak ada pula dalam catatan mereka.

Tapi bukankah setiap rasul membawa kitab-kitab yang berbe-da-beda? Daud membawa kitab Zabur, Musa membawa Taurat, dan Isa membawa Injil…

Beda nama tidak berarti harus beda isi dan beda fungsi. Sekarang orang membuat televisi, komputer, dan lain-lain dengan berbagai merek, tapi fungsinya sama. Dalam hal ini, beda nama hanya menunjukkan beda pabrik.

Nah, bagaimana dengan rasul-rasul itu? Apakah beda nama kitab mereka tidak menandakan bedanya Tuhan yang mengutus mereka?

Bisa begitu memang! Tapi, melalui Al-Qurãn kita tahu bahwa mereka berasal dari Tuhan yang satu. Ibarat barang elektronik, mereka dike-luarkan dari pabrik yang sama.

Tapi mengapa nama kitab mererka harus berbeda-beda?

Kalau soal nama, Al-Qurãn sendiri kan disebut dengan puluhan nama, di antaranya yang terkenal adalah Al-Furqãn, Al-Bayãn, Al-Hudã, dan lain-lain; bahkan juga Az-Zabûr!

Apa? Az-Zabûr juga merupakan nama dari Al-Qurãn?

Iya.

Waah, ini benar-benar infor-masi baru bagi saya. Tapi, mengapa pula Al-Qurãn harus mempunyai banyak nama?

Setiap nama mewakili asfek atau fungsi tertentu dari Al-Qurãn. Misalnya, dia disebut Al-Kitãb karena berisi ketetapan (peraturan) Allah. Dia dikatakan Al-Furqãn karena berfungsi memilah antara benar dan salah. Dia dinamai Al-Bayãn karena fungsinya sebagai penjelasan. Dan dia dijuluki Al-Hudã karena perannya sebagai petunjuk atau pedoman.

Tapi kenapa namanya yang populer adalah Al-Qurãn?

Karena sejak awal, sejak pertama kali Jibril mewahyukannya kepada Nabi Muhammad, kata pertama dari wahyu pertama itu adalah iqra! Itu kata perintah. Bentuk kata kerjanya adalah qara-a, dan bentuk kata bendanya adalah qur-ãnan. Ketika qur-ãnan ini diubah menjadi kata benda definitif , atau ma’rifah dalam bahasa Arabnya, maka ia menajdi al-qurãnu. Selanjutnya “Al-Qurãn” menjadi “nama resmi” dari wahyu yang diterima Nabi Muhammad.

Dan Al-Qurãn ini menjadi kitab Allah yang terakhir?

Ya.

Mengapa? Bagaimana kalau Al-Qurãn juga lenyap seperti kitab-kitab yang lain?

Tidak mungkin. Allah menjamin bahwa Al-Qurãn tidak akan lenyap.

Ya, saya sering dengar itu! Tapi, bagaimana cara Allah menjamin? Dan kalau Allah menjamin bahwa Al-Qurãn tidak akan lenyap, mengapa kitab-kitab yang terdahulu kok tidak mendapatkan jaminan itu?

Ha-ha! Anda cukup kritis. Saya suka sekali pertanyaan yang satu ini. Pertama, Allah menjamin melalui sunnahNya, yaitu melalui hukumNya yang berlaku pada alam. Melalui hukum alam. Jelasnya, Al-Qurãn tidak hanya dihafal banyak orang, tapi juga ditulis. Penulisan atau kodiffikasinya yang resmi, yang dilakukan pada masa Khalifah Utsman, itu dibuat sebanyak lima buku yang dinamakan “mushhaf imam”. Kelima buku kemudian disebarkan ke propinsi-propinsi yang dianggap strategis. Dari mushhaf imam itulah para penulis lain memperbanyak Al-Qurãn, dengan cara menyalin atau menyontek. Sampai sekarang, sebuah mush-haf imam itu konon masih tersimpan dengan utuh, kalau tak salah ada di wilayah Rusia. Selanjutnya, dengan ditemukannya mesin cetak, penyalinan dan penyebaran Al-Qurãn menjadi semakin mudah. Apalagi sekarang sudah ada komputer. Al-Qurãn dalam bentuk tulisan maupun digital, ada di mana-mana. Selain itu, jangan lupa, orang-orang yang menghafalnya juga masih banyak, karena di mana-mana selalu ada kegiatan penghafalan, baik secara pribadi maupun kelompok. Pendeknya, Al-Qurãn turun dalam situasi dan kondisi yang semakin kondusif (menjamin) untuk membuatnya tidak lenyap. Bahkan juga tidak bisa dipalsukan. Setiap muncul pemalsuan, umat Islam segera mengetahuinya. Jangankan memalsukan satu buku, memalsukan satu ayat pun pasti ketahuan!

Wah, wah, luar biasa!

Ya. Tapi jangan bangga dulu! Ingat lagi pernyataan saya tadi. Pernyataan yang mana? Anda sudah mengeluarkan banyak pernyataan!

Pernyataan bahwa “syetan ber-main di tataran human error”! Syetan berrmain dalam kelemahan dan kalalaian manusia. Ketika mereka melihat bahwa teks Al-Qurãn tidak bisa dirusak, tidak bisa dipalsukan, dan tidak mungkin dilenyapkan, maka mereka tidak perlu melakukan pekerjaan sia-sia kan?

Ya. Lalu, apa yang mereka la-kukan?

Mereka main di tataran makna. Main di tataran pengertian. Main di tataran tafsir! Dengan demikian, yang mengaku umat Islam itu akan tenggelam dalam keasyikan di dunia penafsiran yang luas tak bertepi dan panjang tak berujung.

Kembali ke dialektika Hegel ya?

Iya! Dengan demikian, untuk apa mereka mengotak-atik teks Al-Qurãn bila ternyata umat Aslam sendiri sudah meninggalkannya?

Tapi, bukankah teks Al-Qurãn selalu dibaca umat Islam?

Ya, tapi kebanyakan mereka kan tidak tahu isinya. Keadaan itulah yang dulu dipesankan Snouck Hurgronje kepada penguasa Belanda di sini. Dia bilang, “Biarkan umat Islam membaca Al-Qurãn, tapi jangan biarkan mereka memahami isinya!”

Berati Snouck Hurgronje tahu isi Al-Qurãn ya?

Iya laah! Dia kan orientalis yang mendalami bahasa Arab dan bahkan bermukim di Arab, pura-pura masuk Islam dan menggunakan gelar haji. Tanpa peran dia, Belanda tidak bisa menaklukkan Aceh kan?

Jadi, Belanda menaklukkan Aceh dengan cara melakukan perusakan dari dalam?

Yaa, begitulah. Divide et impera kan? Bikin pecah-belah dulu, baru bisa dijajah.

Jadi, itu sebabnya sekarang umat Islam terpuruk, terjajah? Karena terpecah-belah?

Iya laah!

Waah, saya jadi sedih nih!

Boleh saja sedih. Tapi setelah itu anda mau apa?

Saya ingin umat Islam bersatu. Tapi bagaimana caranya?

Caranya, buang jauh-jauh cara berpikir global. Berpikirlah parsial dan individualis!

Lho, kok…?

Kalau bahasa Rasulullah sih ibda’ bi-nafsika! Mulailah dari dirimu sendiri. Jangan berpikir tentang Khilafah Islamiyah tingkat nasional, apalagi tingkat dunia. Terlalu jauh! Urus saja diri sendiri dulu. Sudah cinta Al-Qurãn apa belum?

Wah, kok seperti nyindir HTI (Hizbut-Tahrir Indonesia)?

Bukan nyindir tapi tawashau bil-haqqi.

Lantas, apa yang bisa dilakukan oleh seseorang yang cinta Al-Qurãn?

Pertama, dia akan membenahi dirinya. Kepalanya yang penuh dengan konsep-konsep sampah akan dibersihkan dan diisi Al-Qurãn. Kedua, setelah dirinya terbenahi, barulah dia bisa melakukan usaha-usaha untuk melakukan pembenahan di luar dirinya. Dia akan menjadi pejuang dalam rangka memurnikan ajaran Allah. Perhatikanlah gambar ini!

Gambar II



Keterangan gambar ini adalah sebagai berikut:

Pada setiap masa Allah mengutus seorang Rasul. Ketika ajaran yang dibawa oleh Rasul 1 memasuki lingkaran kedua, sehingga ajaran itu menjadi rusak, Allah mengutus Rasul 2 sebagai Pemurni 1, yang berperan mengembalikan manusia pada ajaran Allah yang asli. Selanjutnya, ajaran Allah yang sudah dimurnikan Rasul 2 memasuki Lingkaran ketiga, dan menjadi rusak lagi, sehingga Allah mengutus Rasul 3 (= Pemurni 2). Kemudian ajaran yang sudah dimurnikan itu memasuki Lingkatan keempat, menjadi rusak lagi, sehingga Allah mengutus Rasul 4 (Pemurni 3). Begitulah seterusnya. Sampai akhirnya Allah mengutus Nabi Muhammad sebagai Rasul Terakhir. Setelah Nabi Muhammad, Allah tidak mengutus rasul-rasul baru lagi, karena teks ajaran yang dibawanya (Al-Qurãn) tidak hilang. Tapi seiring masuknya Al-Qurãn dari lingkaran pertama ke lingkaran-lingkaran berikutnya, nilai-nilai Al-Qurãn semakin luntur karena kesalahan memahami. Untuk memurnikan kembali pemahaman, pada setiap seratus tahun sekali, kata Nabi Muhammad, muncul seorang Mujaddid (pembaru; pemurni).

Nah! Saya sering mendengar itu! Tapi, bisakah kita memastikan siapa saja yang telah muncul sebagai pemurni ajaran Allah dalam setiap seratus tahun itu?

Saya tidak tahu. Mungkin perlu dilakukan pendataan dulu. Tapi apa gunanya?

Lho, memang tidak ada gunanya kalau kita mengetahui siapa mereka?

Gunanya mungkin ada, tapi hanya sedikit. Hanya mengetahui data mati kan? Padahal yang dibutuhkan untuk menghidupkan kembali ajaran Allah adalah ‘data hidup’.

Apa yang anda maksud data hidup itu?

Yaa kita ini lah! Manusia-manusia yang hidup; bukan manusia-manusia seratus atau seribu tahun ke belakang, yang semuanya sudah mati! Kitalah yang mempunyai potensi dan diberi amanat oleh Allah, kalau kita sadar, untuk melakukan usaha-usaha pemurnian itu.

Tapi, mungkinkah itu? Bisakah kita melakukannya?

Bisa saja, kalau kita mau.

Jadi, harus optimis ya?

Bukan hanya optimis, tapi yang terpenting adalah harus menguasai ilmunya. Harus mengerti betul Al-Qurãn. Setelah mengerti Al-Qurãn, baru ada jaminan bahwa kita bisa ber-pikir dan bertindak sesuai ilmu Allah. Kalau sudah berpikir dan bertindak sesuai ilmu Allah, apalagi sudah mencapai tahap ihsãn (jitu), barulah kita punya hak untuk menuntut kebenaran janji Allah.

Janji tentang apa?

Janji bahwa orang beriman pasti unggul! ∆

Sumber:
ahmadhaes.wordpress.com

Sabtu, 04 Juni 2011

PROSES PEMBELAJARAN ALQURAN

Sebagai Pembimbing kehidupan semesta, Allah menetapkan suatu etika penghambaan, bahwa seorang hamba tidak boleh mendahului Rabbnya dalam hal apapun. Seorang hamba harus tunduk-pasrah-menyerah di bawah bimbingan Rabbnya.

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (QS. Al Hujarat [49] ayat 1)

Begitu pula ketika kita hendak mempelajari sebuah kitab suci, yang di dalamnya terdapat ajaran kehidupan, maka kita harus mengikuti proses pembelajaran yang ditetapkan oleh-Nya. Dialah yang telah menurunkan Al Quran, Dia pula yang akan menjaganya (QS. Al Hijr [15] ayat 9) Oleh karenanya, Dia pula yang akan mengajarkannya (QS. Ar Rahman [55] ayat 2). Jadi, biarkan Sang Pencipta dan Pembimbing kehidupan yang mengajarkan bagaimana belajar Al Quran.

"Dan sesungguhnya Kami mengetahui bahwa mereka berkata: "Sesungguhnya Al Qur'an itu diajarkan oleh seorang manusia kepadanya (Muhammad)". Padahal bahasa orang yang mereka tuduhkan (bahwa) Muhammad belajar kepadanya bahasa `Ajam, sedang Al Qur'an adalah dalam bahasa Arab yang terang." (QS. An Nahl [16] ayat 103)

Cukuplah bagi seorang muslim mengikuti bimbingan-Nya. Jika kita mengikuti bimbingan dari selain-Nya, meski bimbingan itu diikuti oleh kebanyakan orang, maka kita akan menemui kegagalan dalam proses belajar, bahkan hasil pembelajaran itu akan merugikan dan merusak kehidupan, tidak saja kehidupan kita sendiri tetapi juga kehidupan masyarakat sekitar.

"Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (Al Qur'an, sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat merobah-robah kalimat-kalimat-Nya dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah). Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah yang lebih mengetahui tentang orang yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia lebih mengetahui tentang orang-orang yang mendapat petunjuk." (QS. Al An’aam [6] ayat 116-117)

Proses pembelajaran Al Quran yang efektif harus merujuk kembali kepada tujuan belajar Al Quran, seperti yang tersebut dalam QS. Asy Syu’araa’ [26] ayat 192-195 dan Al Maidah [5] ayat 16, yaitu agar kita dapat berpartisipasi dalam menata dan membimbing kehidupan semesta, maka sudah sepantasnya kita membiarkan Allah yang menjadi Pembimbing dalam upaya kita memahami bagaimana kehidupan semesta ini harus ditata sesuai dengan kehendak Penciptanya.

"Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah Yang Paling Mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya; dan Dia-lah Yang Paling Mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. Maka janganlah kamu ikuti orang-orang yang mendustakan (ayat-ayat Allah)." (QS. Al Qalam [68] ayat 7-8)

Sebagai suatu komponen proses pembelajaran, tujuan pembelajaran menduduki posisi penting diantara komponen-komponen lainnya. Dapat dikatakan bahwa seluruh komponen dari seluruh kegiatan pembelajaran dilakukan semata-mata terarah kepada atau ditujukan untuk pencapaian tujuan tersebut. Dengan demikian maka kegiatan-kegiatan yang tidak relevan dengan tujuan tersebut dianggap menyimpang, tidak fungsional, bahkan salah, sehingga harus dicegah terjadinya.

Sehubungan dengan fungsi tujuan yang sangat penting itu, maka suatu keharusan bagi mereka yang terlibat langsung dalam proses pembelajaran Alquran (pendidik-peserta didik) untuk memahaminya. Kekurangpahaman terhadap tujuan pembelajaran dapat mengakibatkan kesalahpahaman di dalam melaksanakan proses pembelajaran. Gejala demikian oleh Langeveld disebut salah teoritis (Umar Tirtarahardja dan La Sula, 37 : 2000).

Proses pembelajaran melibatkan banyak hal, yaitu :

1) Subjek yang dibimbing (peserta didik).
Peserta didik berstatus sebagai subjek didik. Pandangan modern cenderung menyebut demikian oleh karena peserta didik (tanpa pandang usia) adalah subjek atau pribadi yang otonom, yang ingin diakui keberadaannya. Selaku pribadi yang memiliki ciri khas dan otonomi, ia ingin mengembangkan diri (mendidik diri) secara terus menerus guna memecahkan masalah-masalah hidup yang dijumpai sepanjang hidupnya

2) Orang yang membimbing (pendidik).
Pendidik ialah orang yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pendidikan dengan sasaran peserta didik. Peserta didik mengalami pendidikannya dalam tiga lingkungan yaitu lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakat. Sebab itu yang bertanggung jawab terhadap pendidikan yaitu orang tua, guru, pemimpin program pembelajaran, pelatihan, dan masyarakat/organisasi.

3) Interaksi antara peserta didik dengan pendidik (interaksi edukatif).
Interaksi edukatif pada dasarnya adalah komunikasi timbal balik antar peserta didik dengan pendidik yang terarah kepada tujuan pendidikan. Pencapaian tujuan pendidikan secara optimal ditempuh melalui proses berkomunikasi intensif dengan memanifulasikan isi, metode serta alat-alat pendidikan. Ke arah mana bimbingan ditujukan (tujuan pendidikan).

4) tujuan pendidikan itu bersifat normatif, yaitu mengandung unsur norma yang bersifat memaksa, tetapi tidak bertentangan dengan hakikat perkembangan peserta didik serta dapat diterima oleh masyarakat sebagai nilai hidup yang baik.

5) Pengaruh yang diberikan dalam bimbingan (materi pendidikan).
Materi yang akan disajikan sebagai sarana pencapaian tujuan.

6) Cara yang digunakan dalam bimbingan (alat dan metode).
Alat dan metode pendidikan merupakan dua sisi dari satu mata uang. Alat melihat jenisnya sedangkan metode melihat efisiensi dan efektifitasnya. Alat dan metode diartikan sebagai segala sesuatu yang dilakukan ataupun diadakan dengan sengaja untuk mencapai tujuan pendidikan.

7) Tempat peristiwa bimbingan berlangsung (lingkungan pendidikan).
Lingkungan pendidikan biasa disebut tri pusat pendidikan yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat.