Total Pengunjung

AYO MEMBACA ALQURAN SECARA BERMAKNA UNTUK MENATA KEHIDUPAN SEMESTA !!

Selasa, 26 Januari 2010

LAPORAN PELATIHAN BAHASA AL-QUR'AN TGL 24/01/10


berikut ini saya laporkan kegiatan pelatihan tgl 24 Januari 2010

Jumlah peserta pelatihan:
1. Laki-laki : 4 orang
2. Perempuan : 20 orang
3. Total : 24 orang

Utusan dari lembaga berikut ini

1 TPA Insan Palma Komp Sandang Jakarta Barat
2 TK Tahfidzul Qur’an Nurul Iman Jakarta Barat
3 TK Penerang Hati Kemanggisan Pulo Jakarta Barat
4 TPA Ibnu Abbas Jl. Daan Mogot Kalideres Jakarta Barat
5 Yayasan Al-Barkah (MI dan TPA) Jl. Kemandoran 8 Jakarta Selatan
6 TPA As-Salam Jl. Kampung Pluis Jakarta Selatan
7 Madrasah Diniyyah Nurul Ihsan Palmerah Utara Jakarta Barat
8 Majelis Ta’lim Al-Hikmah Masjid An-Nur Jakarta Selatan
9 Yayasan Pendidikan Islam As-Surur Jl. Adam Jakarta Barat




Tempat dan Waktu pelaksanaan
1. Tempat : Masjid Failaka Lt.2 Jl. Palmerah Utara No.17 Jakarta Barat
2. Tanggal : 24 Januari 2010
3. Waktu : 09.00 s/d 15.00 wib

Materi:
1. Pembelajaran kosa kata Al-Qur’an
2. Pembelajaran konsep dasar tata bahasa Al-Qur’an bag.1

Fasilitas untuk Peserta:
1. Buku
2. makan Siang
3. Sertifikat



Dana pelatihan yang digunakan sebesar Rp 1.010.000,- bersumber dari para dermawan kaum muslimin.
Peserta tidak dipungut biaya


Rencana Tindak Lanjut untuk kelompok peserta diatas:
1. Tempat : Masjid Failaka Lt.2 Jl. Palmerah Utara No.17 Jakarta Barat
2. Tanggal : 28 Februari 2010
3. Waktu : 09.00 s/d 15.00 wib
4. Materi : (1) Monitoring dan Evaluasi Pelaksanaan Pembelajaran Bahasa Al-Qur’an di Lembaga masing-masing peserta. (2) Pembelajaran konsep dasar tata bahasa Al-Qur’an bag.2

PEDULI BAHASA AL-QUR’AN
Bank : MUAMALAT
Kcp: Slipi
Norek : 9140081699
An : Sutrisno

demikian terima kasih.

Rabu, 13 Januari 2010

SIAPA BINATANG SOK MORALIS ITU?!

“Sepertinya kata-kata kalian itu bukan berasal dari pikir dan rasa kalian sendiri…” ujar Sang Raja sambil menerawang menatap langit-langit istana. Dan tiba-tiba langsung menatap tajam kepada Sapi gemuk dan Kera sambil bertanya: “DARIMANA KALIAN MENDAPATKAN KATA-KATA ITU? TADI KALIAN SERING BERUCAP: KATANYA… DAN KATANYA…, SIAPA BINATANG KATANYA ITU? CEPAT JAWAB!!!
Bentakan Sang Raja membuat Kera dan Sapi surut beberapa langkah belakang. Buru-buru keduanya menunjuk seekor burung yang sedari tadi sedang asik bersedekap-bertafakkur. “Kata burung Beo, Tuanku Raja!”

Beo tersentak kaget menyudahi sedekap-tafakkurnya yang dalam. Dia menyadari bahwa namanya telah tersebut dalam istana ini, dan itu berarti: mendapat hukuman atau hadiah! Maka segera Beo itu bicara sebelum Sang Raja memusatkan bentakan kepadanya, “Ampun beribu ampun baginda Raja, memang benar hamba yang mengatakan hal itu pada mereka berdua, tapi kata-kata itu pun juga berasal dari katanya. Dan katanya juga: “Kebosanan adalah… sesuatu yang sangat penting untuk dipertimbangkan oleh para moralis. Sebab, setidaknya setengah dosa yang diperbuat manusia disebabkan oleh kebosanan.”

“AAUUMMMM…,” Sang Raja mengaum sekeras-kerasnya memuntahkan kemarahannya, menggelegar, menggetarkan setiap ruang istana Hutan Rimba Raya itu, dan semakin menciutkan nyali semua binatang yang berada di ruang sidang istana. Sudah lama Sang Raja berhenti mengaum, apalagi di ruang istana seperti ini. Semenjak melihat diri menjadi Raja Hutan Rimba Raya, dia berusaha keras untuk berhenti mengaum. Hal itu dilakukan untuk menjaga etika dan tata krama, begitu saran para penasihat kerajaan. Tetapi kali ini, rasa kekesalannya tak dapat tertahankan lagi demi mendengar katanya, katanya, dan katanya. Dia berkata dengan menyiratkan ancaman kepada Beo: “Tidak mungkin Bertrand Russel yang mengajarkan pandangan filosofis itu kepadamu. Siapa binatang yang sok moralis itu?!”

“Ampun beribu ampun baginda, bukan hanya hamba saja yang diberi pandangan-pandangan itu, hampir semua binatang di hutan ini mendengarkan khutbah-khutbahnya. Dan hamba ingat betul bahwa dia pernah berpesan secara khusus kepada hamba, bahwa hamba pasti merasa bosan dengan kebiasaan-kebiasaan yang hamba jalanin secara turun-temurun selama ini. Katanya, perilaku membeo itu adalah perilaku statis, tidak kreatif, dan tidak berjati diri. Binatang-binatang seperti hamba yang hobi membeo merupakan musuh dari kemajuan zaman. Perilaku membeo itu menunjukkan kebekuan dan kemandegan berpikir, dan hal itu menghambat kemajuan zaman. Dan katanya lagi,” cerocos Beo dengan sikap licik seolah-olah dia berseberangan dengan binatang katanya yang dianggap sok moralis itu. “Hamba harus segera membuang perilaku membeo itu. Hamba harus mempunyai jati diri sendiri jika ingin berpartisipasi dalam usaha merubah tatanan kehidupan Hutan ini yang hanya menghasilkan kejenuhan dan ketumpulan otak-otak kreatif. Padahal, Baginda pasti tahu, bahwa perilaku membeo itu sudah menjadi jati diri hamba sejak zaman nenek moyang hamba, bagaimana mungkin binatang yang sok moralis itu mengatakan bahwa hamba tidak punya jati diri?” jelas burung beo bersemangat berusaha meyakinkan Sang Raja bahwa dia tetap sebagai warga kerajaan yang setia dan tetap tunduk dalam hukum rimba, yaitu satu-satunya hukum yang sah dan berlaku di kerajaan Hutan Rimba Raya.

“Baiklah kalau begitu. Pengawal, jebloskan semua binatang ini ke dalam penjara bawah tanah!” titah Sang Raja untuk menyudahi kekesalannya.

“Ampun beribu ampun Baginda… mohon kami jangan di penjara… “ para binatang memelas, kecuali ular dan buaya yang tetap senyum-senyum. Mereka berdua saling bertukar pandangan dan rencana sambil sesekali melirik kepada Menjangan Betina yang tubuhnya bergetar dijalari oleh rasa takut dan kengerian akan gelap dan dinginnya penjara bawah tanah. Otak keduanya sudah dipenuhi oleh bayangan lezat yang terpancar dari kemontokan daging mulus menjangan betina. Sedangkan mulut keduanya sudah dipenuhi air liur hingga permohonan ampun tidak sempat keluar dari mulut-mulut yang mulai beraroma darah. Menjangan betina coba memohon sekali lagi kepada Sang Raja, “ampun baginda raja yang mulia, apa kami bersalah? Apa kami akan dihukum? Padahal kami ini Cuma diperalat,..”

“Jangan khawatir sayang, engkau tidak akan mendekam lama di penjara bawah tanah itu.” Buaya yang menjawab dengan mimik muka yang coba dibuat bersahabat. “Iya sayang, lagi pula kita semua hanya diamankan sampai situasi kembali normal supaya kita menjadi aman dan terhindar dari kekacauan hutan di luar sana.” Timpal ular sambil sekali-kali mendesis.

“Iya! Dan kalian berdua nanti akan langsung mengamankan dging mulusku ini kedalam perut-perut busuk kalian! Dasar buaya darat dan ular belang!!” bentak menjangan dengan judes, galak sekaligus juga ngeri.
Sang Raja tersenyum melihat tingkah mereka bertiga. Diam-diam, dia punya rencana sendiri………….(bersambung)

Jumat, 08 Januari 2010

SIAPA BINATANG KATANYA ITU? CEPAT JAWAB!!!

Pertikaian antara bayang-bayang dan realitas kian memuncak…. Tidak! Itu bukan pertikaian antara dua kubu yang saling berseberangan dan saling menjatuhkan. Jika itu disebut pertikaian, maka itu menjadi pertikaian yang tidak seimbang, BAYANGAN VS REALITAS???

Kalau begitu, apa yang terjadi di Hutan Rimba Raya?

Sesungguhnya, yang terjadi adalah Bayangan telah berjuang dengan sungguh-sungguh untuk menyingkirkan Realitas dan berusaha menjadi Realitas itu sendiri. Sementara Sang Realitas hanya diam sabar melihat tanpa kesungguhan apapun.

Lalu, pertikaian itu milik siapa?

Ada Bayangan lain yang telah merasa sukses menjadi Realitas hingga karenanya ia menjadi terancam oleh perilaku Bayangan yang hendak menjadi Realitas. Jadi yang sesungguhnya bertikai adalah: BAYANGAN VS BAYANGAN!! Bayangan yang satu merasa sudah menjadi, sedangkan bayangan yang lain ingin menjadi. Sementara, Realitas sesungguhnya terus berjalan apa adanya tanpa tersentuh oleh keadaan pertikaian itu. Tak ada yang menang ataupun dimenangkan. Juga tak ada yang kalah ataupun dikalahkan. Pada akhirnya nanti, yang ada adalah kesadaran eksistensi, baik sadar sukarela maupun sadar terpaksa.

Siapapun yang bertikai, Hutan Rimba Raya semakin bising….

“Inilah mereka, Tuanku Raja yang mulia.” Sang Jendral Serigala Hitam melaporkan beberapa binatang sebagai tertuduh. “Menurut informasi Badan Intelejen Kerajaan, merekalah yang paling aktif bertutur kata hingga menyulut keributan antar penghuni Hutan Rimba Raya.”

“Mengapa kalian berbuat onar di wilayah kekuasaanku?” tanya Sang Raja sambil menatap para tertuduh itu satu persatu. Ia menyangsi. Laporan tanpa alat bukti yang cukup. Satu-satunya alat bukti adalah tutur kata, dan itu telah menguap tak berbekas. Bagaimana pula membuktikan bahwa serangkaian tutur kata telah sukses menggerakkan kekacauan? Mau tak mau, ia harus diurai oleh tutur kata pula, sementara tutur kata telah dianggap sebagai biang kekacauan, oleh karenanya harus dihentikan. Maka, bagaimana menghentikan sesuatu yang terlarang dengan sesuatu yang terlarang itu juga? Melelahkan.

“Kami tidak membuat kekacauan, Tuanku yang mulia.” Jawab Buaya mendahului yang lain. “Benar, Tuanku,” timpal Menjangan mendukung, “kami hanya mempertahankan pendapat kami saja, Tuanku.” Ujarnya.

“Tetapi mengapa kehidupan Hutan Rimba Raya, yang tadinya berlangsung dalam tatanan yang teratur, menjadi semakin kacau balau?” selidik Sang Raja sambil melirik Jendral Serigala Hitam.
Merasa laporannya disangsikan Sang Raja, buru-buru Jendral berucap: “Tuanku Raja yang mulia, mereka saling bertikai, karena mereka saling memaksakan pendapat.”

“Oo.. begitu,” Sang Raja manggut-manggut dan berkata: “sebelumnya, kehidupan di kerajaan Hutan Rimba Raya ini berlangsung dengan wajar, normal dan terkendali, meski kalian saling makan-memakan. Namun semenjak kalian memiliki pendapat masing-masing dan mulai mengoreksi hukum-hukum yang sudah ada dengan pendapat-pendapat kalian itu, barulah hidup kita mulai bising dengan segala macam keributan dan jerit kesakitan. Apa kalian sudah bosan dengan hukum-hukum warisan leluhur? Apa kalian bermaksud menggantinya dengan hukum yang lain? Padahal selama ini, kalian telah hidup tenang dengan hukum warisan leluhur itu. Ketenangan itu sudah berlangsung ribuan tahun lamanya.”

“Tuanku Raja memang benar, bahkan sangat benar sekali.” Ujar Kera dengan gugup. “Hukum para orang tua kita memang telah membuat kehidupan di Hutan Rimba Raya ini berlangsung dengan tenang dalam kewajarannya, tetapi katanya… ketenangan itu baik, tetapi kebosanan bersaudara dengannya.” Lanjut Kera dengan hati-hati.
“Benar Tuanku yang mulia, dan katanya lagi… kebosanan muncul ketika pada saat yang sama terdapat sesuatu yang terlalu banyak dan tidak cukup, dan katanya lagi… itulah yang kini sedang melanda kehidupan para penghuni hutan ini.” Tambah Sapi gemuk yang mungkin sudah merasa bosan dengan makanan yang itu itu juga. Dan kebosanan terbesar baginya adalah makanan itu tersedia begitu banyak di sekitarnya hingga dia merasa terjebak dalam rutinitas makan. “sebentar-bentar makan… makanannya pun itu-itu juga, membosankan!” begitu gerutunya suatu hari sambil mengeluh, “emmoooh…”

“Sepertinya kata-kata kalian itu bukan berasal dari pikir dan rasa kalian sendiri…” ujar Sang Raja sambil menerawang menatap langit-langit istana. Dan tiba-tiba langsung menatap tajam kepada Sapi gemuk dan Kera sambil bertanya: “DARIMANA KALIAN MENDAPATKAN KATA-KATA ITU? TADI KALIAN SERING BERUCAP: KATANYA… DAN KATANYA…, SIAPA BINATANG KATANYA ITU? CEPAT JAWAB!!!

Bentakan Sang Raja membuat Kera dan Sapi surut beberapa langkah belakang. Buru-buru keduanya menunjuk seekor burung yang sedari tadi sedang asik bersedekap-bertafakkur. “Kata burung Beo, Tuanku Raja!”
Beo tersentak kaget menyudahi sedekap-tafakkurnya yang dalam………………..(bersambung)

Minggu, 03 Januari 2010

CERMIN TANPA BAYANG-BAYANG

Kebanyakan orang ingin dirinya menjadi abadi. Mereka ingin dikenang sepanjang masa. Mereka ingin melihat dirinya ada dimana-mana, menempel pada setiap tempat. Ketika mereka membangun rumah, mereka ingin orang lain melihat identitas diri mereka ada pada rumah tersebut. Mereka ingin orang-orang mengatakan bahwa rumah itu berkarakter dirinya, mewakili ciri khas dirinya. Mereka memahat dirinya di bangunan-bangunan dan melukis dirinya di atas wadah apa pun yang masih terlihat bersih dari lukisan lain.

Apapun yang masih terlihat bersih dan polos dari gambar-gambar, goresan-goresan, ataupun bentuk-bentuk, menjadi sasaran dari keinginan menjadi abadi itu. Ribuan keinginan siap menghujani apa saja yang masih polos, hingga kepolosan hanya menjadi kesementaraan saja, selebihnya adalah salinan-salinan dari lingkungan yang memperebutkannya.

Semua bayi terlahir dalam keadaan suci, namun kesucian itu tidak hendak dipertahankan oleh orang-orang di sekitarnya. Mereka gembira dengan lahirnya sosok yang masih jernih sejernih air yang baru memancur dari mata airnya. Mata mereka berbinar-binar melihat secarik sinar harapan bahwa diri mereka akan selalu ada melalui bayi yang baru lahir itu. Seorang Ayah dengan mata yang tersenyum-senyum menerawang jauh ke depan, ia melihat bakatnya, kemampuannya, sifatnya, cita-cita dan harapannya akan terus mengalir melalui anaknya. Seorang ibu pun kembali hidup dalam kesegaran, demi melihat cahaya dirinya yang telah lama termatikan oleh keputusan ibu-bapaknya akan menyeruak kembali, begitu pula dengan langkah-langkah hidupnya yang telah lama tertahan oleh gerak suaminya akan memanjang kembali. Dia berharap anaknya kelak akan menjadi dirinya dan meneruskan cerita dirinya dalam layar kehidupan yang terpaksa tergulung oleh waktu dan keadaan.

Semuanya berebut menodai bayi dengan warna-warni mereka. Mereka saling berebut, dan dengan bangga mengatakan, hidungnya mirip hidungku, matanya mirip dengan mataku, senyumnya mirip dengan senyumku, nanti dia akan pintar sepertiku, cantik sepertiku, tampan sepertiku, dan lain-lain. Bayi yang terlahir dalam keadaan utuh, kini bercerai-berai diperebutkan oleh harapan dan keinginan orang-orang yang merasa memilikinya.

Seorang bapak ingin anaknya menjadi gambaran dirinya. Seorang guru ingin muridnya menjadi lukisan dirinya. Seorang teman ingin melihat temannya menjadi pantulan warna dirinya. Setiap orang ingin bersama dengan yang lain, tetapi dirinya saja yang ingin terlihat.

Semua orang ingin berdiri di hadapan cermin, tetapi bukan cermin yang ingin mereka lihat. Yang ingin mereka lihat adalah diri mereka sendiri. Cermin hanya menjadi wahana untuk memuaskan nafsu mereka akan keberadaan diri mereka. Cermin hanya menjadi alat untuk menyingkirkan kekhawatiran akan ketiadaan diri mereka. Karena itu, mereka suka sekali bercermin dan berkata : Lihat, itulah saya !

Oleh karena cermin dicari bukan karena dirinya sendiri, tetapi karena bayangan yang ingin dilihat dalam dirinya, maka cermin yang tidak bisa memantulkan bayangan seperti yang diharapkan akan dihancurkan. Apabila bayangan itu indah maka bukan cermin yang dipuji tetapi yang mempunyai bayangan itulah yang dipuji. Tetapi jika bayangan itu buruk maka cermin dihancurkan dengan penghinaan dan pengasingan, cermin dianggap telah gagal memantulkan bayangan dengan baik sebagaimana yang mereka harapkan.

Akhirnya, banyak bermunculan cermin-cermin palsu, yang sudah tidak lagi memperhatikan diri mereka sendiri. Mereka tidak peduli dengan kebutuhan mereka sendiri, mereka lebih senang memantulkan bayangan-bayangan orang lain. Cermin-cermin itu tak peduli apakah bayang-bayang yang mereka pantulkan itu palsu atau asli. Bagi mereka, tidak penting menjadi asli atau palsu, yang terpenting adalah membuat orang lain senang. Hal itu terpaksa dilakukan demi memuaskan orang-orang yang senantiasa bersama mereka, agar tetap diaku menjadi bagian dari mereka dan terus dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan mereka. Jadi, bukan mau mereka jika mereka berubah menjadi orang lain. Mereka pun ingin menjadi diri mereka sendiri, tetapi keinginan mereka itu musnah termakan oleh keinginan orang lain. Kita sudah terlanjur hidup di atas meja makan, dimana setiap keinginan saling makan memakan. Dan hanya keinginan empuk saja yang selalu menjadi mangsa. Seandainya keinginan tidak pernah ada, maka yang memakan dan yang dimakan pun juga tidak ada.

Oleh karena cerminnya palsu, maka bayangan yang dipantulkannya juga palsu. Tetapi orang-orang yang senantiasa hidup mencari cermin tidak akan pernah peduli dengan bayangan asli atau palsu. Apabila mata sudah terpuaskan dengan apa yang terlihat, mengapa harus mencari-cari apa yang ada dibaliknya? Begitulah pendapat mereka. Padahal penglihatan mata dan hati bagaikan siang dan malam yang tidak akan pernah datang bersamaan. Apabila mata melihat maka hati pun akan terpejam, dan apabila mata terpejam maka hati pun akan melihat dengan tajam. Sayangnya orang-orang sudah merasa cukup dengan apa yang tampak kelihatan.

Kita menjadi cermin bagi orang lain, dan mereka pun menjadi cermin bagi kita. Orang lain ingin melihat diri mereka ada pada kita, dan kita pun begitu, ingin melihat diri kita ada pada orang lain. Akhirnya, dunia menjadi penuh sesak dengan keinginan terlihat. Dunia menjadi tempat dorong-mendorong, tekan-menekan, dan himpit-menghimpit antar berbagai keinginan. Keinginan yang satu mendesak keinginan yang lain, hingga keinginan yang terdesak kemudian balas mendesak. Terus seperti itu, keinginan menggumuli keinginan setiap waktu dan tanpa berhenti sejenak pun, meski pergumulan itu hanya membuat keringat bercucuran, air mata berlinangan dan darah menetes saling susul-menyusul.

Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan suci, jadi mengapa tidak kita biarkan bayi itu tumbuh dalam kesuciannya. Tugas para orang tua adalah berusaha agar kesucian bayi itu tetap terjaga sampai akhir perjalanannya.

Hentikan melihat keinginan diri sendiri pada bayi, pada anak, pada suami, pada istri, pada saudara, pada teman, juga pada diri sendiri. Kalau hidup terasa tak indah tanpa bercermin, maka bercerminlah pada cermin tanpa bayang-bayang, dan engkau akan melihat bahwa cermin itu tidak memberikan bayangan apa-apa tentang dirimu. Bayangan dirimu tidak ada dalam cermin itu. Dengan begitu engkau pun tak tahu apakah harus bangga dan bergembira hati? Engkau tidak melihat kelebihanmu. Engkau tidak melihat kekuranganmu. Lalu bagaimana engkau bisa mengharapkan penilaian terhadap dirimu? Kalau engkau tidak bisa melihat dirimu sendiri dalam cermin itu. Cermin yang suci dan senantiasa terjaga kesuciannya tidak akan ternoda sedikit pun oleh bayang-bayang.

Kalau semua cermin sudah bersih dari bayang-bayang, barulah hidup ini bisa tenang, hening, senyap seperti sediakala saat semuanya belum diadakan. Yang ada adalah yang ada, dan yang tiada tidak akan pernah ada. Yang memiliki adalah yang ada, dan yang tiada tidak akan pernah memiliki. Semua cermin adalah milik-Nya, jadi biarkan hanya bayang-bayang-Nya saja yang terlihat. Begitulah wasiat sang guru.