Tersenyum, bahagia, dan optimis menatap hari-hari, itulah yang sedang melanda kaum muslimin saat ini, saat Ramadhan menyapa mereka dengan dua kegembiraan, yaitu: saat berbuka dan saat bertemu dengan Tuhan semesta alam.
Tentu saja kita bergembira pada saat berbuka, tetapi bukan karena terbebasnya nafsu syahwat dari belenggu lapar dan haus dengan berlimpahnya makanan-minuman beraneka macam dan rasa terhidang di meja makan. Kita bergembira karena bisa merasakan bahwa seteguk air dan secicip makanan merupakan nikmat yang luar biasa terasa setelah sepanjang hari kelaparan dan kehausan. Suasana berbuka puasa mengajarkan kita bahwa ternyata kita hanya mampu makan dan minum seperlunya saja selebihnya dapat menyakitkan.
Kegembiraan yang kedua adalah saat kita bertemu dengan Sang Pencipta dan Pemelihara alam semesta, kapan? Ramadhan datang menghadirkan kegembiraan itu saat ini juga! Ya, setiap saat Allah membuka diri untuk ditemui, tetapi tidak setiap saat kita membuka diri untuk Allah. Nah, Ramadhan datang membuat kita membuka diri untuk Allah. Pertama, Ramadhan bertanya: apakah kamu orang beriman? Ramai-ramai kita menjawab: ya, kami semua beriman! Kedua, Ramadhan mengajak: kalau begitu berpuasalah. Ramai-ramai pula kita mengangguk-angguk: ya, mari kita berpuasa. Ketiga, Ramadhan mengingatkan: aku juga membawa al-Qur’an, bacalah! Lantas ramai-ramai kita berlomba-lomba membaca Al-Qur’an dan ramai-ramai juga kita saling bertanya: sudah berapa juz?
Pada saat kita membaca ayat-ayat Al-qur’an, bukankah kita sedang bertemu dengan Allah? Seperti kita saat bertemu di FB: pertemuan tanpa wajah, tanpa kontak fisik, tetapi dengan segenap emosi dan kata. Begitu pula kita bertemu dengan Allah melalui dialog-dialog Qur’ani. Seperti Umar bin Abdul Aziz ra selalu membaca Al-Fatihah ayat demi ayat dan berhenti di ujung setiap ayat. Beliau ditanya apa sebabnya, lalu beliau berkata: agar aku bias menikmati jawaban Tuhanku.
Saudaraku, kalau kita gemar saling bertanya: sudah berapa juz? Bukankah lebih baik juga kita gemar saling bertanya: Allah bilang apa? Lantas kita akan saling memberi kabar gembira supaya kita teguh dalam kebaikan, dan juga kita akan saling member peringatan supaya kita sudahi kejahatan yang kita lakukan.
Ya Allah…
Betapa kami ingin bertemu dan bercakap-cakap dengan-Mu
Duhai…
Kebodohan inilah yang membuat kami lalai mendengar dan menikmati jawaban-Mu
Lalu bagaimanakah kami bisa merasakan kegembiraan Ramadhan-Mu?
Alhamdulillah….
Segala puji kami haturkan untukmu ya Allah.. hanya untuk-Mu hingga tak ada lagi yang tersisa untuk kami. Pantaskah kami dipuji, padahal Engkaulah yang membantu kami? Engkau perkenankan kami berbuat. Engkau tunjuki kami bagaimana kami harus berbuat. Dan… ketika kami kehilangan arah tidak tahu lagi harus apa dan kemana…Engkau perlihatkan kepada kami bahwa Engkau begitu dekat untuk melihat keadaan kami, mendengar keluhan kami, dan menyentuh kami dengan rahmat-Mu yang begitu luas.
Duhai…
Inilah Ramadhan.. dihadirkan untuk membebaskan kita dari belenggu kelebihan dan kekurangan yang memberati langkah-langkah kita menuju kepada-Nya. Ya! Semua kelebihan, juga kesempatan dan peluang, yang membuat kita terlena dalam kebahagiaan telah mengelukan lidah kita untuk merangkai doa kepada-Nya, dan telah menjauhkan kita dari sebagian besar masyarakat, menjadi terasing dengan kelebihan dan kebahagiaan kita sendiri. Dan begitu juga dengan kekurangan yang kita miliki, telah memburamkan penglihatan kita terhadap indahnya dunia, telah membuat langkah kita surut kebelakang, tenggelam dalam penyesalan berlarut-larut.
Bagaimanakah Ramadhan membebaskan kita dari belenggu kelebihan dan kekurangan itu? Dan membuat kita sebagai manusia merdeka yang tanpa beban apapun sama sekali? Beban itu muncul karena hasrat-hasrat atau nafsu-nafsu, baik yang bersifat ukhrowi maupun duniawi. Begitu bernafsunya kita terhadap materialitas membuat kita memacu diri dengan keras dan secepat-cepatnya. Seperti anak kecil yang pengen sekali menang lomba lari, ia berlari tak beraturan sambil terus melihat kebelakang, adakah yang menyusulnya? Apabila ada anak lain yang mendekat, ia sodorkan tangannya kesamping untuk menghalangi. Nafsu menjadi pemenang, nafsu terhadap penguasaan materialitas membuat hidup ini penuh dengan persaingan yang sangat keras, cara apapun bisa dilakukan untuk menang. Bagaimana dengan nafsu spiritualitas? Sama saja! Nafsu mendapatkan kerajaan-kerajaan surga yang penuh dengan bidadari-bidadari yang bertelekan diatas dipan emas, membuat kita saling menumpahkan darah atas nama Tuhan. Siapakah yang engkau bela? Tuhanmu atau nafsumu sendiri?
Nah, puasa mengajarkan kita untuk menahan dan mengendalikan hawa nafsu dari makan-minum (QS.2:187), perhatian (QS. 6:91), pendengaran (QS. 5:42), ucapan (QS. 5:63), dan perbuatan (QS. 5:62). Dalam kondisi menahan nafsu-nafsu itulah kita membaca Al-Qur’an sebagai kitab petunjuk kehidupan dan kemanusiaan. Dalam kondisi menahan nafsu-nafsu itulah kita membaca petunjuk bagaimana mengabdi kepada Allah dengan ibadah-ibadah ritual dan sosial. Dalam kondisi menahan nafsu-nafsu kita akan berkata di setiap akhir pembacaan ayat-ayat Al-Qur’an dengan ucapan: kami mendengar dan kami patuh. Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada-Mu lah tempat kembali (QS. 2:285). Begitulah Ramadhan, dengan puasa dan al-Qur’an membebaskan kemanusiaan kita dan membentuk kita menjadi manusia baru yang terbebas dari segala belenggu spiritual-material bagaikan bayi yang baru saja terlahir. Semoga kitalah manusia baru itu, amin.