Total Pengunjung

AYO MEMBACA ALQURAN SECARA BERMAKNA UNTUK MENATA KEHIDUPAN SEMESTA !!

Kamis, 30 April 2009

MEMBACA SYAHADAT: Syarat Penegakkan Khilafah

Ada dua hal yang tidak diketahui para Malaikat ketika mereka menyampaikan pertanyaan mengapa manusia diciptakan sebagai wakil-Nya, yaitu: Pertama, perintah berdzikir yang menjadikan manusia terus-menerus terhubung dengan Allah. Kedua, perintah bersyahadat yang menjadi landasan berpijak bagi gerak fikir, rasa dan perbuatan manusia.

Pada catatan ini saya ingin menjelaskan bagaimana dzikir dan syahadat, secara bersama-sama, dapat mengantarkan manusia menjadi wakil-Nya.

Begini,

Kita perlu kembali menegaskan tentang pengucapan dua kalimat syahadat sebagai simbol penyerahan diri dan kedua-duanya harus diucapkan sekaligus secara berurutan. Penegasan ini penting mengingat kabar yang disampaikan Alqur'an mengenai orang-orang Arab Badui. Mereka menyerahkan diri secara simbolik tanpa didasari pengetahuan-kesadaran-dan cinta yang timbul di dalam hati (Qs. 49:14)

Mungkin, kita akan menjadi muslim seperti orang-orang Arab Badui itu: penyerahan diri sebatas penyerahan jasmani tanpa disertai dengan penyerahan rohani. Tubuh kita sibuk dengan segala aktifitas syariat dan untuk itu keringat dan darah boleh saja tertumpah. Atau mungkin, kita bisa saja menjadi muslim yang sebaliknya, menyerahkan diri rohani tanpa diri jasmani. Mendekat kepada Tuhan tetapi menjadi terasing bagi makhluk-makhluk Tuhan.

Dari kedua model muslim yang disebutkan di atas, manakah model muslim yang memenuhi tujuan penciptaannya, yaitu menjadi hamba Tuhan sekaligus juga menjadi wakil-Nya, bertanggung-jawab atas semua urusan pengelolaan bumi? Tidak satu pun !

Muslim model pertama tidak akan mendapatkan janji Allah, bahwa dia akan mendapatkan amanah pengelolaan bumi bilamana dia mengabdi kepada Allah dengan tidak menyekutukan-Nya dengan apapun (Qs.24:55). Mengapa? karena muslim model pertama ini, mengbdi secara fisik sedangkan hatinya dipenuhi banyak kecenderungan selain Allah. Tentang muslim model kedua, bagaimana dia bisa menjadi penanggung jawab bumi sedangkan dirinya saja terasing dari komunitas bumi.

Sang penanggung jawab bumi adalah manusia yang menyerahkan hatinya hanya kepada Allah dan pada saat yang sama ia juga menyerahkan badannya kepada syariat Allah yang disampaikan-Nya melalui Nabi Muhammad saw. Hatinya: tertuju pada Allah, dan badannya: mengikuti gerak langkah Muhammad saw.

Mengapa penyerahan rohani yang disimbolkan dengan pengucapan kalimat kesaksian pertama didahulukan daripada penyerahan jasmani yang disimbolkan dengan pengucapan kalimat kesaksian kedua?

Manusia terdiri dari dua diri, yaitu diri rohani dan diri jasmani. Keduanya harus ada untuk bisa disebut manusia. Walaupun demikian, rohani lebih utama daripada jasmani. Rohani ditiupkan langsung dari Ruh Tuhan sedangkan jasmani berasal dari tanah liat yang diberi bentuk. Rohani naik ke langit sedangkan jasmani terpendam di dalam bumi.

Rohani menjadi penting karena disitulah Allah memandang manusia dan menampakkan realitas-Nya. Banyak teks-teks suci yang menerangkan bahwa rohani lebih dipentingkan daripada jasamani. Nabi saw berkata melalui kabar Imam Muslim: "Allah tidak melihat badanmu atau bentukmu, melainkan kedalam hatimu." Allah berfirman: "dan tidak ada dosa atasmu jika kamu berbuat salah, tetapi apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah mha pengampun lagi maha penyayang." (Qs. 33:5). "Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak disengaja, tetapi Allah menghukum kamu disebabkan sumpah yang disengaja oleh hatimu. Dan Allah maha pengampun lagi maha penyantun." (Qs. 2:225). "Orang-orang munafik itu takut, jika diturunkan sebuah surat yang mengungkapkan apa-apa yang tersirat dalam hati mereka." (Qs. 9:64). Nabi saw brkata dalam hadits Qudsi: "langit-ku dan bumi-Ku tidak memeluk-Ku, namun hati hamba-Ku yang lembut dan sabar dengan imannya benar-benar merengkuh diri-Ku."

Jadi jelas, amal batiniah mendapat prhatian utama sebelum amal lahiriah. Maka, dalam urutan penyerahan diri kepada Tuhan, seorang muslim menyerahkan hatinya terlebih dahulu, baru setelah itu ia menyerahkan tubuhnya, dan akhirnya jiwa raganya tunduk pasrah kepada Tuhan dengan segala ketetapan-Nya.

Sebenarnya, raga akan tunduk pasrah secara otomatis setelah jiwa tunduk pasrah terlebih dulu. Karena gerak-gerik raga adalah simbol dari aktifitas jiwa.Spiritualitas mempengaruhi materialitas. Tubuh tidak bergerak sendiri, melainkan hati menyetir kemana ia harus bergerak. Jika hatinya baik, maka menjadi baiklah seluruh aktifitas tubuhnya. Dan sebaliknya, jika hatinya buruk maka menjadi buruklah seluruh aktifitas tubuhnya. Dan jika hati tunduk pasrah, maka tubuhpun ikut tunduk pasrah.

Disini, kita bisa memahami mengapa kesaksian kedua tentang kenabian Muhammad saw baru dapat terucap setelah kesaksian pertama, yaitu tentang keesaan Allah. Kesaksian pertama menjadi dasar bagi munculnya kesaksian kedua. Ada orang yang hanya bertumpu pada kesaksian kedua saja tanpa yang pertama. Oleh karenanya kita sering melihat kondisi umat yang terjebak pada situasi ritual yang kering tanpa makna, berjalan tanpa arah dan tujuan, berdiri tanpa pijakkan. Apa hasilnya? praktek keberagamaan umat eningkat seiring meningkatnya problem kemanusiaan seperti kemiskinan, kebodohan, kekerasan, ketidak adilan, penjarahan harga diri dan harta benda, dan sebagainya.

Pengelolaan bumi oleh manusia menjadi tidak berjalan sebagaimana mstinya. Itu karena manusia menghamba kepada hamba. Jasadnya tampak menyembah satu Tuhan, tapi sebenarnya hatinya dipenuhi oleh banyak Tuhan. Jasadnya tampak pasrah pada ketetapan Tuhan tetapi hatinya berontak di bawah kendali kecenderungan-kecenderungan selain Tuhan. Atau sebaliknya, ada orang yang hanya bertumpu pada kesaksian pertama saja tanpa diikuti oleh yang kedua. Hatinya tunduk pasrah kepada Tuhan tetapi jasadnya menolak ketetapan Tuhan yang disampaikan-Nya melalui rosul-Nya.

Muslim sejati adalah orang yang menyerahkan dirinya apa adanya sesuai dengan fitrah penciptaannya. Fitrah adalah sesuatu yang asli. Sudah begitu dari sananya. Aslinya, dia diciptakan dari tanah liat yang diberi bentuk sebagai struktur lahirnya kemudian ditiupkan ruh Tuhan kedalamnya sebagai struktur batinnya. begitupula dia memahami realitas dirinya sebagaimana aslinya. Dan ketika dia dihadapkan pada ketentuan penyerahan diri kepada Tuhan, maka dia menyerahkan lahir-batinnya itu.

Begitulah syahadat, begitulah ia tersusun, dan begitulah ia diucapkan: secara lengkap dan berurutan agar pengucapan syahadat menjadi fungsional bagi penataan kehidupan dan kemanusiaan. Lalu, bagaimanakah kaitan antara syahadat dan dzikir, jika kedua-duanya secara bersama-sama menjadi pilar penegakkan khilafah?

Perhatikan,

Kaitan antara keduanya adalah kalimat kesaksian pertama merupakan materi dzikir utama dibandingkan materi-materi dzikir lainnya. Kesaksian pertama itu adalah LA ILAHA ILLAH. Sedangkan kalimat kesaksian kedua, yaitu: MUHAMMAD ROSULULLAH, merupakan cara mewujudkan kalimat tauhid itu menjadi akhlak. Bagimana? dengan meneladani akhlak Rosul saw. Allah berfirman: "Sesungguhnya telah ada pada diri Rosulullah saw itu suri teladan yang baik bagimu, yaitu bagi orang yang mengharap rahmat Allah dan kedatangan hari kiamat dan dia banyak berdzikir kepada Allah." (Qs. 33:21).

Ujung ayat tersebut jelas mengatakan bahwa orang yang berdzikir kepada Allah lah yang berkemampuan meneladani akhlak rosul saw. Ini juga berarti kalimat kesaksian kedua baru dapat terucap setelah kalimat kesaksian pertama . Setelah kedua kalimat kesaksian itu terucap dan terbukti, barulah dapat terwujud janji Allah dalam Qs. 24:55, bahwa Dia akan memberikan amanat pengelolaan bumi kepada manusia dengan syarat: "hendaknya mereka tetap mengabdi kepada-Ku (kesaksian kedua) dan tidak menyeketukan Aku dengan apa pun (kesaksian pertama)."

Nah barangkali, ketidakmampuan muslim Indonesia menegakkan khilafah sampai hari ini disebabkan dua hal:
1. Muslim Indonesia tidak banyak berdzikir, malah lebih banyak memperebutkan makna dzikir sehingga tidak berkemampuan meneladani akhlak Rosul saw.
2. Muslim Indonesia masih menjadikan ideologi-ideologi kelompok/partai sebagai sekutu-sekutu Tuhan.
Kedua hal itu adalah kenyataan bahwa sesungguhnya kita belum menegakkan syahadat sebagai bukti dan menegakkan dzikir sebagai proses internalisasi pengetahuan suci kedalam perilaku harian. Dan khilafah tetap menjadi impian....

Selasa, 28 April 2009

MEMBACA SYAHADAT: SIMBOL PENYERAHAN LAHIR-BATIN

Muslim adalah orang yang berkata: aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad saw adalah utusan Allah. Perkataan itu bukanlah sekedar kata-kata yang terucap begitu saja sehingga menjadi kata yang tak berarti, baik bagi yang mengucapkannya maupun bagi yang mendengarkannya. Tapi kata-kata itu terucap atas dasar pengetahuan-kesadaran-dan cinta.

Penyebutan seseorang dengan identitas muslim bukan akibat dari pengucapan dua kalimat syahadat itu, tapi akibat dari pengetahuan-kesadaran-dan cinta yang membuatnya terdorong untuk mengucapkannya. Apa yang diucapkannya hanyalah bentuk lahir dari pengetahuan-kesadaran-dan cinta yang tertanam di hatinya terhadap realitas ketuhanan dan kenabian.

Pengetahuan tentang Tuhan yang diperoleh muslim dari seorang yang sengaja diutus Tuhan untuk mengajarkan pengetahuan itu, menumbuhkan kesadaran dalam dirinya. Sadar akan posisi dirinya di tengah-tengah alam semesta. Jika alam semesta tengah bergerak dengan teratur menurut hukum yang ditetapkan untuknya (Qs. 64:1), maka ia juga menyadari bahwa ia juga bergerak berdasarkan hukum yang ditetapkan untuknya pula. Timbul kesadaran bahwa alam semesta, ia dan kita bergerak berdasarkan satu ketetapan tertentu menuju ke satu tujuan. Dari situ, timbullah cinta. Aktifitasnya adalah merindukan. Rindu akan satu tujuan yang dituju oleh semua bagian alam semesta, yaitu Tuhan.

Pengetahuan-kesadaran-dan cinta itulah yang membentuk kita menjadi muslim. Simbolnya adalah pengakuan terhadap keesaan Allah dan kenabian Muhammad saw.

Makna menjadi muslim adalah menjadi orang yang tunduk dalam kepasrahan. Pasrah lahir-batin, rohani-jasmani. Kesaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah adalah simbol kepasrahan rohani. Sedangkan kesaksian bahwa Muhammad saw adalah utusan Allah adalah simbol kepasrahan jasmani.

Tuhan adalah semua kecenderungan atau kegandrungan hati. Hati kita memiliki kecenderungan terhadap kekuatan, kekuasaan, kekayaan, kepandaian, kecantikan dan sebagainya. Jika semua itu atau sebagiannya tidak dimiliki maka hati cenderung ingin memilikinya. Apabila hati kita cenderung terhadap kekuasaan, maka kita selalu ingin meraih kekuasaan, sekecil apapun, atau paling tidak kita ingin dekat dengan penguasa.

Setelah kesaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, semua kecenderungan hati itu menjadi hilang. Tidak ada kecenderungan selain Allah. Satu-satunya kecenderungan hati hanyalah Allah. Apabila hati menginginkan kekayaan maka itu berarti hati menginginkan Allah yang maha kaya. Apabila hati menginginkan keindahan maka hati menginginkan Allah yang maha indah, dan seterusnya. Lantas hati menjadi pasrah kepada Allah karena Allah memiliki semua yang diinginkan hati. Hati yang pasrah senantiasa berdzikir kepada Allah. Oleh karenanya, hati menjadi tenang (Qs. 13:28). Karena ia mengetahui, menyadari dan mencintai kecenderungan sejatinya yaitu Allah.

Al-Qur'an banyak menyebut hati dengan istilah Qalbu. Makna dasarnya adalah: membalik, kembali, pergi maju-mundur, berubah, naik-turun, mengalami perubahan. Singkatnya, hati adalah tempatnya keresahan. Hati menjadi resah dan gelisah karena meginginkan ini-itu. Setelah menyatakan kesaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, hati menjadi tenang, karena tidak ada lagi ini-itu, yang ada hanyalah Allah.

Mulai dari sini kita bisa berkata bahwa satu-satunya pekerjaan hati adalah senantiasa tetap berdzikir kepada Allah. Kepasrahan hati adalah menyerahkan semua kecenderungannya kepada Allah, tiada yang lain selain Dia. Pada saat itulah hati menjadi tenang dan merasa dalam keadaan baik-baik saja.

Setelah muslim menjadi tenang, selanjutnya apa? apakah muslim diciptakan hanya untuk menjadi tenang dan merasa baik-baik saja? Apakah menjadi muslim hanya untuk berkata: Sudahlah tenang saja, tetap khusuk dalam lautan cinta kasih ilahi, biarkan mereka memperebutkan dunia, karena sesungguhnya mereka tidak tahu seperti apa dunia itu. Begitukah? Lalu siapa yang menjadi wakil-Nya?

Selain pasrah hati, muslim juga harus pasrah lahir. Karena itu, kesaksian pertama terangkai dengan kesaksian kedua, yaitu kesaksian tentang kenabian Muhammad saw. Sebagai simbol penyerahan diri, kedua kalimat kesaksian itu harus dinyatakan sekaligus secara berurutan. Tidak boleh menyatakan yang pertama saja atau yang kedua saja, harus kedua-duanya secara berurutan.

Kesaksian pertama adalah komitmen muslim untuk menjadi hamba Allah dengan sesungguhnya. Dan kesaksian kedua adalah komitmen muslim untuk menjadi wakil Allah dengan sesungguhnya.

Kesaksian pertama membuat muslim menjadi tenang. Sedangkan kesaksian kedua menggerakkan muslim untuk bertindak menenangkan orang-orang dan menyebarkan rasa tenang itu kepada semesta. Dengan begitu, barulah muslim bisa mendengar Dia berfirman: "Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas dan diridhai-Nya. Kemudian berbaurlah dengan hamba-hamba-Ku, setelah itu barulah bisa memasuki surga-Ku." (Qs. 89:27-30).

Kini kita bisa berkata bahwa membaca syahadat adalah memasuki alam kesadaran sebagai hamba Allah dan wakil-Nya, kemudian dengan kesadaran itu bergerak membangun kehidupan surgawi bersama hamba-hamba-Nya.

Minggu, 26 April 2009

PERILAKU DZIKIR: Kholiq-Makhluq-Akhlaq (habis)

DZIKRON KATSIIRON: Proses Pembentukan Akhlaq Melalui Internalisasi Pengetahuan

Sejauh perjalanan saya mencari makna dzikir, saya mendapati dari QS 2:152 sebuah hubungan pertautan yang sangat erat antara Kholiq dan Makhluq. Dalam hubungan tersebut terjalin komunikasi terus-menerus diantara keduanya. Biasanya, komunikasi yang dilakukan secara intens dimaksudkan untuk mewujudkan satu tujuan tertentu. Nah, tujuan apakah yang ingin dicapai dengan terjalinnya pertautan dan komunikasi terus-menerus antara Allah sebagai Sang Kholiq dan manusia sebagai makhluk-Nya?

Saya mengira, tujuan itu berkaitan dengan rencana Allah ketika Dia menjawab keberatan para malaikat mengenai penciptaan manusia sebagai wakil-Nya di bumi. "Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: " Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang wakil di muka bumi." Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan di muka bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan menyucikan Engkau." Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." (QS. 2:30)

Apakah yang tidak diketahui oleh malaikat dari rencana Allah menciptakan manusia sebagai wakil-Nya di bumi? Kelak manusia memiliki sarana komunikasi yang sangat intens dengan Kholiqnya. Keduanya, yaitu Kholiq dan Makhluq, saling berhubungan menghasilkan sebuah pertautan yang sangat erat. Untuk itu, Allah berkata: "Berdzikirlah kepada-Ku, niscaya Aku akan berdzikir kepadamu." (QS. 2:152).

Dari ayat tersebut, saya memahami sebuah makna tersirat: seolah-olah Dia berkata: ingatlah kepada-Ku, niscaya Aku akan ingat kepadamu, namun ketahuilah bahwa Akulah yang ingat kepadamu terlebih dulu sehingga kamu bisa mengingat-Ku. Bagaimanakah kamu bisa mengingat-Ku jika Aku tidak mengingatmu? maka bersyukurlah, jangan kamu ingkari.

Hubungan ingat-mengingat itulah yang disebut berdzikir. Perilaku berdzikir memunculkan pertautan yang sangat erat antara keduanya. Dengan berdzikir, Allah tidak hendak melepaskan hamba-Nya sendirian menunaikan amanat penghambaan dan kekhalifahan. Dia mengetahui bahwa tugas itu begitu berat dan sulit, semua makhluq-Nya yang lain menolak mengemban tugas itu kecuali makhluq yang satu ini yang dikenal suka berbuat zholim dan bertindak bodoh, yaitu manusia (QS. 33:72).

Hubungan itu dimulai ketika Dia mengajarkan kepada manusia seluruh nama-Nya beserta obyek-obyek, realita-realita dan kualitas-kualitas yang merujuk pada seluruh nama-Nya itu. Manusia itu tidak hanya diajarkan pengetahuan tentang nama-nama tetapi juga diajarkan hubungan referensial antara nama dan obyek yang dinamai. Keseluruhan pengetahuan yang diajarkan-Nya kepada manusia itu disodorkan kepada malaikat dan Dia berkata: "Jelaskan kepada-Ku seluruh pengetahuan ini jika kalian benar." (QS. 2:31)

Para malaikat tidak mampu menjelaskan. Hanya manusia yang menerima pengajaran-Nya yang mampu menjelaskan. Kemudian manusia itu menjelaskan seluruh obyek-obyek, realita-realita dan kualitas-kualitas yang keseluruhannya merujuk kepada seluruh nama-Nya. (Qs. 2:33)

Pada proses selanjutnya, Sang kholiq meberi perintah kepada makhluq-Nya itu untuk terus-menerus menginternalisasikan pengetahuan yang diajarkan-Nya melalui dzikir yang dilakukan berulang-ulang. Dzikir yang dilakukannya mencakup semua makna dzikir dan dilakukan berulang-ulang, baik secara kuantitas (sebanyak-banyaknya) maupun secara kualitas (sedalam-dalamnya). (QS. 33:41).

Sampai di sini, kita bisa memaknai dzikir sebagai pertautan yang terus-menerus antara Kholiq dan Makhluq (QS. 2:152). Pertautan itu merupakan proses internalisasi pengetahuan ke dalam diri makhluq yang kemudian berdampak pada perilaku harian yang disebut Akhlaq. Pada akhirnya dzikir mengantarkan Makhluq kepada Akhlaq sang Kholiq. Pada saat makhluq berakhlaq Kholiq, pada saat itulah ia telah berfungsi sebagai hamba-Nya sekaligus juga wakil-Nya.

Jumat, 17 April 2009

PERILAKU DZIKIR: Kholiq-Makhluq-Akhlaq (4)

DZIKRULLAH: Menunaikan Amanat Penghambaan dan Kekhalifahan

Setelah memahami iman sebagai sebuah siklus yang tidak pernah terputus dari proses mengetahui-sadar berbuat- cinta, barulah seorang muslim dapat berdzikir kepada Allah. Sebagai permulaan, kita dapat mengartikan Dzikir: menyebut yang maknanya dekat dengan mengingat. Kita dapat berkata bahwa berdzikir kepada Allah adalah menyebut nama Allah. Banyak yang tidak puas dengan pengertian itu, khususnya orang-orang yang mengelompokkan diri sebagai muslim yang berfikir. Mereka berpendapat bahwa dzikir bermakna lebih daripada menyebut, karena bila hanya menyebut-nyebut, dzikir tidak berdampak bagi upaya seorang muslim menjadi rahmatan lil alamin. Menurut mereka, dzikir harus diartikan sebagai upaya merenungi dan memikirkan ajaran-ajaran Allah. Jadi, majelis dzikir adalah majelis ilmu bukan majelis ratapan: memanggil-manggil nama-Nya sambil mengucurkan air mata.

Saya sependapat dengan mereka para muslim yang berpikir itu, tetapi saya juga duduk bersama mereka yang berdzikir kepada Allah dengan cara menyebut nama-Nya. Bagi saya, dzikir yang ditegakkan di atas landasan iman yang terus berproses sebagai sebuah siklus adalah dzikir yang juga berproses menuju makna puncaknya yaitu Al-Qur'an yang terwujud sebagai akhlak. Alqur'an adalah Dzikr (QS. 15:9) dan Alqur'an menurut kabar Aisyah adalah akhlak rosul saw sedangkan rosul saw adalah teladan bagi para muslim. Itu berarti seorang muslim dituntut untuk menjadi seorang yang berakhlak Alqur'an. Bagaimana caranya? Berdzikirlah kepada Allah.

Baiklah, kita akan memulai proses awalnya dulu, yaitu berdzikir dengan menyebut nama-Nya. Allah berfirman: "sebutlah nama Tuhanmu dan beribadahlah kepada-Nya dengan penuh ketekunan." (QS. 73:8). Menyebut nama-Nya bisa dilakukan di dalam hati atau secara lisan. "Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, diwaktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai." (QS. 7:205)

Ketika kita menyebut kata kuda atau mendengar oran lain menyebut kata kuda, apakah yang ada di pikiran kita? Bagi orang yang berpengetahuan minim tentang kuda, yang ada di pikirannya adalah sebuah gambar tentang kuda. Sedangkan bagi orang yang berpengetahuan lebih luas, yang da dipikirannya adalah tidak hanya gambar kuda semata tetapi juga kualitas-kualitasnya. Dan bagi orang yang sangat mencintai kuda, ia memikirkan gambaran kuda yang lebih luas lagi. Bahkan gambar di pikirannya itu akan tampak melalui senyum diwajahnya, mata yang berbinar-binar. Lebih jauh lagi, ia kan menjelaskan secara demonstratif apa itu kuda. Caranya menjelaskan akan membuat kita terkesan, hingga pada suatu hari kita bertemu lagi dengannya, ia akan langsung mengingatkan kita pada kuda.

Nah, apakah yang ada didalam pikiran kita ketika kita menyebut atau mendengar nama Allah disebut? Membayangkan lafadznya? itu berarti kita menyebut atau mendengar tanpa mengetahui apa-apa tentang-Nya, tanpa iman kepada-Nya.

Jadi, jangan cepat berkata bahwa orang yang menyebut-nyebut nama-Nya adalah perbuatan sia-sia tanpa makna. Jangan cepat berkata itu adalah dzikir kosong. Jangan melihat bentuk luarnya saja yang sibuk komat-kamit tetapi lihatlah juga proses kognisi yang terjadi dilam pikiran orang itu. Proses kognisi yang berulang-ulang akan menyentuh wilayah afektif dan psikomotorik.

Menurut Aristoteles, kita adalah apa yang kita lakukan berulang-ulang. Jika Aristoteles benar, siapakah kita ketika kita menyebut nama-Nya berulang-ulang di atas landasan iman yang tidak terputus: mengetaui-sadar berbuat-cinta?

Itulah yang membuat saya tidak begitu saja meremehkan atau menyalahkan seorang muslim yang duduk diam dan dengan khusyu menyebut-nyebut nama-Nya. Tetapi tidak sebatas itu saja kan? memang tidak sebatas itu. Bagi orang yang berdzikir, ada sebuah harapan yang digantungkan kepada Allah.

"Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya didalamnya, pada waktu pagi dan petang. Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak pula oleh jual-beli dari mengingat Allah, dari mendirikan sholat, dan dari membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang dihari itu hati dan penglihatan mejadi guncang. Mereka mengerjakan yang demikian itu supaya Allah memberikan balasan kepada mereka dengan balasan yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan, dan supaya Allah menambah karunianya kepada mereka. Dan Allah memberi rezeki kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya tanpa batas." (QS. 24: 36-38)

Seorang muslim berdzikir kepada Allah dengan harapan Allah menambah karunia dan rezeki. Salah satu rezeki-Nya adalah bertambah pengetahuan-semakin sadar berbuat lebih baik lagi-cinta yang semakin dalam. "Maka ingatlah kepada-Ku, niscaya Aku ingat pula kepadamu dan bersyukurlah kepada-Ku dan jangan kamu mengingkari." (QS. 2:152)
.
Bagaimana Allah mengingat kita? dengan membantu kita memahami ayat-ayat-Nya, memahami makna dan tujuan berdzikir: menyebut, mengingat, mengambil pelajaran. Untuk apa? "Berdzikirlah kepada-Ku" adalah perintah agar seorang muslim tetap tunduk dan patuh sebagai hamba-Nya, disetiap tempat dan keadaan. "Aku berdzikir kepadamu" adalah bantuan-Nya agar kita dapat mewujudkan tugas kekhalifahan, yaitu sebagai wakil-Nya.

Senin, 13 April 2009

PERILAKU DZIKIR: Kholiq-Makhluq-Akhlaq...(3)

Membaca Mantra, Melindungi Pikiran

Pada waktu-waktu tertentu, saya melakukan perjalanan ke Rangkasbitung, Banten naik kereta api. Ada yang menganggap perjalanan itu sebgai The Train to Hell. Bagaimana tidak? selama perrjalana itu, segala macam penderitaan muncul oleh sebab penumpang yang penuh sesak berjejal-jejal yang seakan-akan turun satu naik seribu. Saking penuhnya, sulit bagi orang yang berdiri menaruh kakinya dan sulit juga bagi orang yang duduk menaruh pantatnya. Pada saat seperti itu, semua penumpang saling berbagi: udara, rasa, dan bau. Belum lagi ditambah dengan ayam, bebek dan barang-barang pasar lainnya yang kut juga berbagi.

Saking padatnya, saya percaya tidak ada yang bisa bergerak bepindah tempat kecuali tiga jenis manusia, yaitu 1) manusia karcis alias kondektur. Karena tugasnya, mereka di bekali semacam ilmu melipat kaki dan melenturkan tubuh. Seruan mereka cuma satu: karcis...karcis...karcis. Di tempat itu, karcis tidak selalu bermakna karcis, buktinya ada penumpang yang memberikan sesuatu yang bukan karcis dan diterima. Pantas kalau begitu, perusahaan kereta api Indonesia selalu tidak punya uang untuk meremajakan armadaya, stasiunnya, atau pintu-pintu perlintasan kereta. Menumpang kereta api di wilayah ini seperti memasuki lorong waktu, kita kembali diajak kemasa silam, masa dimana Indonesia belum merdeka. 2) Manusia asongan. Manusia jenis ini adalah manusia ironi. Disatu sisi mereka dianggap mengganggu kenyamanan menikmati penderitaan, tapi disisi lain, mereka dianggap pahlawan. Pada saat kita terjebak, tidak bsa bergerak, mungkin terasa akan mati kehausan, mereka muncul, entah bagaimana caranya, dengan menawarkan beraneka macam minuman dingin. Manusia asongan lainnya, yang mungkin tidak ada yang akan menganggapnya pahlawan pada saat itu adalah manusia yang mengangsong karung mengumpulkan gelas dan botol plastik. Bayangkan, dengan berpakaian kotor dan berkarung gembel mereka menerobos begitu saja! dan jenis yang terakhir adalah 3) Manusia copet. Aha! inilah kelompok manusia 'pemberani dan kreatif'. Tidak seperti perampok atau penjahat lainnya, mereka beraksi disiang bolong ditengah keramaian, diantara orang-orang sadar, dan tidak menyakiti korbannya. Mereka beraksi dan tiba-tiba ada yang kehilangan. Selanjtnya, kitalah yang memutuskan apakah kita akan menyakiti diri dengan mengeluh, mengutuk dsb, ataukah bersikap ikhlas? Saya memang memuji mereka dan mencela diri kita sendiri. Mereka pemberani sedangkan kita penakut. Mereka beraksi dan kita cuma diam, cuek dan tidak peduli. Baru kemudian kita ramai-ramai mengutuk dan berkomentar macam-macam setelah jatuh korban dan mereka telah berlalu.

Kembali kepada The Train to Hell, perjalanan menuju neraka. Bagi saya, neraka adalah simbol penderitaan. Dan memang perjalanan ini menyajikan penderitaan terlengkap, dan puncaknya ketika hujan turun. Tidak ada pintu, tidak ada jendela. Hujan menyerbu masuk sementara para penumpang tidak bisa lagi menghindar lebih ke dalam. Alhasil, keadaan menjadi basah, dingin sekaligus juga panas dan gerah. Pada saat itu juga, mayoritas penumpang sungguh tidak percaya kepada fatwa MUI yang mengharamkan merokok di tempat umum. Jadilah perjalanan ini benar-benar menuju ke neraka.

Benarkah demikian?

Sesungguhnya, biarpun kereta itu mogok selama 1-2 jam, keadaan menderita seperti yang saya gambarkan belum tentu dirasakan oleh semua penumpang. Saya percaya, ada banyak penumpang yang tetap merasa tenang, damai dan sejahtera meskipun berada di tempat yang selayaknya menderita.

Seringkali, digerbong yang penuh sesak itu, pandanga mata saya selalu saja berhasil menangkap pesona keindahan dari ciptaan Tuhan yang maha indah: gadis cantik yang tetap saja manis meski belum sempat tersenyum. Pada saat seperti itu, neraka dipikiran saya berubah menjadi surga, meskipun keadaan disekitar saya tetap bising, padat dan melelahkan. Pikiran saya yang sudah terpaku kepada gadis cantik itulah yang meniadakan kondisi menjengkelkan yang secara obyektif terus terjadi.

Ketika saya sedang memikirkan gadis cantik itu, termasuk juga memikirkan bagaimana caranya agar saya berhasil mendekat, datang dengan tergesa-gesa pikiran saya yang lain, yaitu tentang gadis yang sudah tidak gadis lagi tetapi masih saja cantik yang menanti di rumah. Di dalam pikiran saya, gadis yang sudah tidak gadis itu bertanya: "aa pulang jam berapa?" Belum sempat saya jawab, pikiran lain datang lagi yaitu tentang gadis lain yang masih polos wajah, pikiran hati, dan usianya. Gadis polos itu sibuk bertanya-tanya: "ayah mana? ayah mana?"

Ketiga pikiran tentang tiga gadis itu terus berebut tempat menguasai ruang-ruang di pikiran saya Jadi, mana sempat saya memikirkan segala bentuk penderitaan yang muncul di gerbong kereta itu. Ketiga pikiran itu membawa saya ke gerbong lain yang tiada lagi lalu lalang manusia dan bahasaya. Gerbong itu hanya berisikan tiga orang gadis yang berebut tempat dipikiran saya. Tetapi, itu sama-sama melelahkan, sama-sama menimbulkan penderitaan, karena tetap saja perjalanan terasa panjang dan lama sekali. Penderitaan yang saya alami bukan disebabkan oleh kondisi yang terjadi di luar diri tetapi oleh kondisi yang terjadi di dalam diri. Dan tetap saja kedua kondisi itu sama-sama melelahkan.

Bagaimana ini?

Alhamdulillah saya seorang muslim. Oleh karenanya saya bisa mendengar Dia berkata: "ingatlah kepadaKu, Aku akan mengingatmu." (QS. ?:?). Dengan memberimu rasa tenang dan damai (Qs. 13:28). Sebagai seorang muslim, saya harus percaya, tunduk, dan patuh terhadap perkataan-Nya. Maka, langsung saja saya hadirkan pikiran saya yang ke-4 yaitu memikirkan-Nya terus-menerus. Dan seketika itu juga ketiga pikiran saya tadi mundur teratur. Tetapi ketiganya tidak pergi begitu saja. Mereka menunggu, ketika pikiran ke-4 lali, mereka kembali berebut masuk. Maka saya berusaha menjaga agar pikiran ke-4 itu tetap hadir dan memenuhi seluruh ruang pikiran saya.

Apa yang kita pikirkan tentang-Nya? nama-nama-Nya? jaran-ajaran-Nya? atau merenungi ciptaan-ciptaan-Nya? Dalam kondisi yang melelahkan, terus terag saya tidak sanggup memikirkan ajaran-ajaran-Nya atau merenngi ciptaan-ciptaan-Nya. Untuk itu saya harus mengeluarkan energi yang cukup besar, sementara pada saat yang sama saya membutuhkan energi yang cukup mampu membuat saya bertahan dalam 'perjalanan menuju ke neraka' ini.

Kondisi seperti itu membuat saya memilih memikirkan-Nya dengan menyebut nama-nama-Nya di dalam pikiran saya. Saya menjadikan nama-nama-Nya sebagai mantra yang saya baca berulang-ulang seiring dngan pengaturan keluar-masuk nafas. Dengan begitu, saya menjadi manusia cuek terhadap alam sekitar. Saya memasuki alam saya sendiri yang bukan alam manusia-manusia di gerbong kereta itu, juga bukan alam gadis-gadis itu. Dengan begitu, pikiran saya tidak lagi peduli dengan pesan-pesan yang disampaikan mata, telinga atau indra-indra lainnya. Mata ini memang senang sekali mencari obyek keindahan, tetapi maaf, pikiran ini sedang sibuk dengan sesuatu, dan tidak ada ruang lagi untuk sesuatu yang lain.

Dengan menyebut nama-nama-Nya, saya melindungi pikiran dari serbuan berbagai macam pikiran selain-Nya, dan dari situlah saya beroleh ketenangan. Tetai tentu saja, ini baru permulaan. Menjadi tenang bukanlah tujuan penciptaan. Seorang muslim menyadari bahwa ia diciptakan sebagai wakil Allah, salah satu tugasnya adalah menenangkan manusia lainnya, seluruhnya. Namun untuk itu, ia harus mendapatkan ketenangan terlebih dahulu baru bisa menenangkan oran lain. Menjadi tenang untuk menenangka.

Jumat, 10 April 2009

PERILAKU DZIKIR: Kholiq-Makhluq-Akhlaq...(2)

DZIKIR DALAM IMAN YANG BERMAKNA

Dari surah Al-Ahzab (33): 41, kita telah menukan syarat dzikir yang pertama, yaitu dzikir harus dilakukan dalam keadaan beriman. Iman adalah serangkaian pengetahuan yang memberikan kesadaran untuk berbuat dan pada akhirnya menimbulkan cinta. Kemudian cinta mendorongnya untuk mengetahui lebih jauh lagi, lalu memberikan kesadaran yang lebih tinggi lagi untuk berbuat yang lebih baik lagi dan akhirnya menimbulkan cinta yang lebih dalam lagi. Rumusannya begini: mengetahui-sadar-cinta-mengetahui-sadar-cinta-mengetahui-sadar-cinta...dst.

Jadi, iman bukan sebuah hasil akhir sudah itu selesai, tetapi iman adalah sebuah proses yang terus bergerak untuk menjadi, seperti proses penciptaan manusia dan alam semesta yang terus bergerak. Itulah mengapa dikabarkan bahwa Allah sibuk setiap hari (QS. 55:29). Karena itu, tidak wajar jika kita mengaku beriman kepada Dzat yang maha sibuk sementara kita diam menikmati iman dan merasa baik-baik saja.

Allah swt menghendaki kita tetap berada dalm siklus iman yang terus berputar membesar atau berada dalam garis iman yang terus lurus memanjang. Dia berfirman: "Hai orang-orang yang beriman berimanlah kepada Aollah, Rosul-Nya, Kitab yang diturunkan kepada Rosul-Nya dab kitab yang diturunkan sebelumnya. Dan barang siapa yang kafir kepada Allah, Malaikat-Malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rosul-Nya dan hari akhir, maka sungguh dia telah berada dalam kesesatan yang terlalu jauh." (QS. 4:136) Maka, tetaplah berada dalam iman agar dapat memasuki iman yang lebih dalam melalui proses yang tidak pernah terputus (QS. 95:6, 84:25).

Sebagian orang mungkin ada yang jenuh membicarakan iman. Sebabnya, pembicaraan tentang iman sudah pasti akan selalu mengarah kepada wilayah langit, dan selanjutnya memihak kepentingan langit, lalu permasalahan bumi terabaikan. Ada orang yang asyik berhubungan dengan kehidupan langit lantas dia menjadi lupa dengan kehidupan bumi. Banyak orang yang serius menata dirinya untuk diterima dalam kehidupan langit sampai dia terasing dari kehidupan sekitarnya di bumi.

Kemerosotan dunia Islam dianggap karena disebabkan oleh perhatian, kehidupan dan perilaku umat Islam terfokus kepada masalah iman, yang dianggap untuk memenuhi kepentingan Tuhan, sementara banyak kepentingan manusia belum terselesaikan, dan lalu menjadi terabaikan. Kita banyak mendengar tentang komunitas dan kegiatan keagamaan yang diselenggarakan, seperti majelis zikir, istighosah, pengajian-pengajian komunitas, training-training spiritual dsb. Pada waktu yang sama, problema-problema kemanusiaan seperti kejahatan, kebodohan, kemiskinan, kekerasan dalam rumah tangga dsb, tampaknya tak ada habis-habisnya terjadi di masyarakat. Mengapa pada saat semua wajah asyik memandang langit, bumi menjadi terlupakan. Padahal kita adalah penanggung jawab bumi.

Menarik kembali perhatian orang dari langit ke bumi tidak berarti mengalahkan kepentingan langit dan memenangkan kepentingan bumi. Rosulullah saw mengajarkan, siapa yang tidak menyayangi penghuni bumi tidak akan disayang oleh penghuni langit. Saat hati menengadah ke langit harusnya wajah tetap senantiasa menatap bumi.

Kita tidak ingin melakukan pemisahan hubungan antara langit dan bumi. Begitu juga dengan dunia dan akhirat, Tuhan dan manusia. Langit selalu melindungi bumi dan bumi senantiasa patuh dan tunduk kepada langit. Langit mencurahkan apa yang ia miliki kepada bumi dan bumi menerimanya. Dunia bukanlah tempat yang terpisah dari akhirat. Akhirat hanyalah satu fase kehidupan yang aan dilalui bilamana fase kehidupan dunia telah selesai terlewati. Bagaimana bentuk kehidupan manusia di akhirat tergantung dari bagaimana bentuk pergumulan manusia di dunia.

Tuhan memang mengabarkan bahwa akhirat lebih baik daripada dunia. Tapi kabar itu tidak lantas membuat kita memilih akhirat dan lalu membuang dunia. Dunia adalah perjalanan eskalatif menuju akhirat. Dunia adalah ladang akhirat, begitu kata nabi. Menjadi sukses di dunia agar menjadi sukses pula di akhirat. Menjadi buta di dunia berarti menjadi buta di akhirat. Siapa yang tidak menemukan Tuhan di dunia tidak akan menemukan Tuhan di akhirat. Siapa yang tidak merasakan surga di dunia tidak akan merasakan surga diakhirat.

Jadi, Iman yang kita bicara di sini menjadi penting karena berfungsi sebagai dasar tegaknya dzikir untuk membangun kekhalifahan manusia di bumi. Karena itu, iman harus bermakna bagai penyelesaian masalah-masalah kehidupan bumi dan kemanusiaan. Dengan begitu, Dzikir seorang muslim akan bernilai guna bagi menyebarnya rahmat untuk semesta alam. Iman yang bermakna menjadikan dzikir bukan hanya untuk kepentingan pribadi semata tetapi juga untuk kepentingan seluruh manuisa dan semesta. Menjadi damai dan sejahtera, sebagai buah dzikir, adalah awal tindakan selanjutnya, yaitu mendamaikan dan mensejahterakan umat manusia seluruhnya.

Seorang muslim menyadari bahwa menjadi wakil Allah di bumi adalah tugas yang teramat berat. Bagaimana mensejahterakan orang lain sementara dirinya sendiri belum sejahtera? Jangan takut dan jangan bersedih, Allah bersama kita. Dia berfiman: "Ingatlah Aku maka Aku akan mengingatmu." Melalui ayat itu kita memahami kehendak-Nya: berdzikirlah kepada-Ku maka aku akan membantumu menyelesaikan tugasmu sebagai wakil-Ku.

Begitulah, jika kita telah dapat menyelesaikan problema kemanusiaan, terutama kemanusiaan kita sendiri, maka itu menjadi tanda bahwa Allah membantu kita, itu juga berarti dzikir yang kita lakukan benar-benar bermakna. Jika tidak, bagaimanakah iman dan kemanakah dzikir sehingga Allah belum berkenan membantu? Jadi sekali lagi, kita menatap langit agar kita tidak tersesat ketika menyusuri jalan-jalan di bumi. Kita menyebut nama-nama-Nya agar kita mampu 'menghadirkan-Nya' dalam menyelesaikan problema kemanusiaan.

Senin, 06 April 2009

PERILAKU DZIKIR: Kholiq-Makhluq-Akhlaq

Bagian Pertama: Makna dan Syarat Dzikir

Dalam batasan tertentu, dzikir dilihat sebagai The Repetitic Magic Power, yaitu kekuatan ajaib dari penyebutan sesuatu yang berulang-ulang. Dalam batasan itu, perilaku dzikir dapat ditemui pada tradisi agama manapun, bahkan di luar tradisi agama, dzikir kerap kali dipraktekkan.

Sebagai makhluk dengan kemampuan serba terbatas, manusia membutuhkan kekuatan eksternal yang berfungsi sebagai sugesti/pendorong untuk mengokohkan niat/tekad. Oleh karenanya, ada orang-oarang yang merapal kata, frasa, atau kalimat tertentu sebagai mantra. Dalam kajian Linguistik, bahasa memang difungsikan, salah satunya, sebagai mantra.

Pada kenyataannya, dzikir memang berfungsi memberikan kekuatan bagi pelakunya atau paling tidak membawa pelakunya pada suatu kesadaran tertentu. Pembuktian oleh rasa itulah yang menyebabkan dzikir seringkali digunakan oleh, mulai dari tarekat atau komunitas agama sampa komunitas bisnis seperti MLM atau pelatihan-pelatihan motivasi. Kenyataan itu menunjukkan bahwa dzikir adalah perilaku yang sangat manusiawi.

Apabila kita menengok sejarah, maka kita menemukan seorang sahabat Rosulullah saw, Bilal bin Robah, telah merapal sebuah kata: Ahad...Ahad...Ahad. Dengan kata tersebut, dia beroleh kesanggupan melalui siksaan yang begitu berat yang dilakukan oleh kafir Quraisy. Dengan kata tersebut dia berusaha mempertahankan keyakinannya. Saya teringat masa kanak-kanak, dulu saya pernah merapal sebuah mantra juga: saya tidak takut. Dengan mantra tersebut saya mendapatkan keberanian melalui jalan gelap yang disitu terdapat pohon besar yang dianggap angker.

Dari sini kita bisa berkata bahwa berdzikir adalah menyebut atau mengingat sesuatu, dengan berulang-ulang, sehingga memberikan dampak psikologis kepada pelakunya. Dampak psikologis itu dapat dilihat dari tampak luar keadaan dirinya dan tingkah lakunya. Ambillah Bilal bin Robah sebagai contoh atau nabi Yakub as, seperti yang diceritakan dalam Al-Qur'an: "Mereka berkata: Demi Allah, kamu senantiasa mengingat Yusuf, sehingga kamu mengidap penyakit yang berat atau termasuk orang-orang yang binasa." (QS. 12:85).

Nah sekarang, perhatikan keadaan kita sendiri. Apakah dzikir yang kita lakukan telah berdampak secara psikologis yang dapat dilihat dari tampak luar keadaan diri atau perilaku? Jika tidak, maka jangan berkata: saya telah berdzikir. Yang kita lakukan hanyalah mengigau, yaitu menyebut-nyebut sesuatu tanpa sadar.

Lalu, bagaimana seharusnya seorang Muslim berdzikir? Allah berfirman: "Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan mengingat nama) Allah, dzikir yang sebanyak-banyaknya." (QS. 33:41). Dari ayat itu kita mendapatkan tiga syarat dzikir, yaitu:
1) Dzikir harus dilakukan dalam keadaan beriman. Iman adalah serangkaian pengetahuan yang memberikan kesadaran untuk berbuat dan pada akhirnya menimbulkan Cinta.
2) Yang menjadi obyek dzikir adalah Allah: nama-nama-Nya, ajaran-ajaran-Nya, dan ciptaan-ciptaan-Nya.
3) Dzikir dilakukan berulang-ulang sampai menjadi kebiasaan. Dengan begitu, seluruh anggota tubuh, hati dan pikiran tidak perlu lagi dipaksa untuk berdzikir. Mereka akan senantiasa berdzikir tanpa batasan waktu dan tempat.

----------------
Sumber Bacaan:
Al-Qur'an dan Terjemah
1. Dzikir bermakna menyebut: (2:235) (12;42,85) (33:41)
2. Dzikir mengingat Allah: (11;114) (20:42) (22:40) (24:36) (38:32)
3. Kondisi ketika berdzikir: (3:191) (4:103) (7:205)
4. Memperbanyak dzikir: ((3:410 (8:45) (20:34) (26:227) (33:21) (33:35) (33:41) (62:10)

Sabtu, 04 April 2009

Berhenti Sejenak...(3)

CAHAYA PERJALANAN

Baiklah, kita telah sepakat melanjutkan perjalanan...Tapi nanti dulu, perlu disadari bahwa perjalanan ini akan sangat panjang sekali, mungkin akan sepanjang cerita kehidupan kita. Dan kita akan sering keluar masuk ke wilayah-wilayah gelap yang alan membuat kita jerih untuk melanjutkan perjalanan. Banyak bisikan yang datang dari berbagai sisi membuat kita terombang-ambing dalam kebimbangan, apakah ini jalan yang lurus? atau barang kali kita telah menyimpang jauh dari tujuan? Mereka berbisik: jangan berjalan terlalu jauh nanti kamu tersesat. Bisikan itu membuat nyali kita ciut dan pada akhirnya membuat kita tidak beranjak kemana-mana, tidak ke sini dan tidak juga ke sana.

Biarlah kita meniru Ibrahim as yang terus berjalan menemukan kebenaran tanpa takut tersesat. Ia berkata: inilah Tuhanku! Padahal bukan dan ternyata memang bukan. Beberapa kali ia berkata: inilah Tuhanku! dan beberapa kali pula ia salah, bahwa Tuhan bukan seperti yang disangkanya. Tekadnya mencari kebenaran membuatnya tidak takut tersesat. Yang dibutuhkan hanyalah percaya bahwa Tuhan akan membimbingnya kepada-Nya sampai akhirnya ia benar-benar menemukan, bahwa tiada Tuhan selain Allah.

Maka, begitulah seharusnya kita ketika mencari kebenaran. Jangan menjadi pengecut! Jadilah pemberani seperti Nabi Ibrahim as. Beliau terus-menerus mencari meski harus memasuki wilayah-wilayah yang dianggap oleh banyak orang sebagai wilayah gelap. Bahkan, seluruh kehidupan kita ini adalah kegelapan. Maka, berhenti atau meneruskan perjalanan, tetap saja kita berada di wilayah gelap. Jikalau kita memilih berhenti berjalan, bisikan-bisikan itu akan tetap datang: apakah hanya untuk ini kamu diciptakan?

Memasuki wilayah gelap tidak cukup bermodalkan keberanian semata, kita membutuhkan cahaya. Tapa cahaya, saya khawatir kita mengenali sesuatu tidak apa adanya, seperti sebuah kisah tentang orang-orang yang mengenali seekor gajah di tempat gelap. Akhirnya, seekor gajah yang utuh apa adanya didefinisikan tidak apa adanya. Mereka berteriak dengan seyakin-yakinnya: Gajah ini panjang seperti ular! padahal mereka hanya mengenali gajah dari sisi belalainya saja. Maka, kita memerlukan cahaya yang terang benderang untuk menemukan jalan yang sesungguhnya, hingga pada akhirnya kita menemukan identitas sebagai muslim yang utuh apa adanya.

Untuk melanjutkan perjalanan ini, saya hanya memiliki sedikit cahaya yang kadang menyala dan kadang meredup. Oleh karena itu, saya memerlukan anda sebagai teman seperjalanan. Cahaya anda akan membuat perjalanan bertambah terang. Apalagi, anda berkenan mengundang teman-teman lainnya bergabung dalam perjalanan ini, cahaya kita akan lebih menyala bertambah terang.

Sesungguhnya, setiap orang telah melakukan pergumulan kehidupannya masing-masing. Apa pun bentuk pergumulan itu, tentu menghasilkan cahaya. Dan apabila kita tetap bersama-sama, maka kita memiliki cahaya yang berlapis-lapis. Dengan demikian kita tidak lagi mempersoalkan, berada dimanakah kita? berada di depan, di tengah, di belakang, atau di pinggir. Karena berada di manapun, kita tetap berada di dalam lingkaran cahaya.

Cahaya apakah itu? Sang guru, Syekh Abdul Qodir Jaelani berkata: cahaya itu adalah Al-Qur'an dan As-Sunnah. Tentunya yang dimaksud oleh Syekh adalah Al-Qur'an dan As-Sunnah yang dibaca dan dipahami untuk mengeja ayat-ayat semesta. Tanpa dibaca dan dipahami, ayat-ayat Al-Qur'an dan As-Sunnah hanya menjadi seprti pohon, batu, arca, dan ayat-ayat semesta lainnya yang diagungkan, dipuja dan disembah layaknya Tuhan. Padahal ayat-ayat itu hanyalah tanda-tanda yang digunakan sebagai cahaya untuk menemukan ayat-ayat atau tanda-tanda lainnya, hingga pada akhirnya, kumpulan ayat/tanda itu akan mengantarkan kita, para musafir, kepada tujuan sebenarnya. Dan tanda bukanlah tujuan.

Ada komentar menarik yang dituliskan oleh Dian Novriadi, SAHABAT KLIK saya di FB, dia bilang begini, "CAHAYA itu ILMU dan ILMU itu PENGETAHUAN ,terserah darimana mas mau mencari CAHAYA itu.saya stuju dengan memahami GAJAH ,akan tetapi kita mesti berusaha memahami secara utuh dan LENGKAP. bisa jadi kesadarn itu datang dari NIAT dari dalam diri kita untuk berusaha belajar MENGENAL DIA, ada empat pilihan....MENGENAL dari DZATNYA,SIFATNYA ASMA'NYA aTau AF'AL NYA,kira2 kita mampu untuk mengenal DIA di sisi mana...? ,maka kita mseti mau belajar BELAJAR bila ingin mengenal DIA (menuntut ILMU itu WAJIb bagi laki2 maupun wanita ,dapat atau tidaknya PELAJARAN dalam menuntut ILMU,itu URUSAN YANG MAHA KUASA)"

Nah sekarang, barulah benar-benar kita siap melanjutkan perjalanan menemukan identitas sebagai MUSLIM apa adanya, yaitu seorang manusia yang diciptakan utuh dalam bentuk rohani-jasmani, spiritual-material, duniawi-ukhrowi. Dengan sisi rohaninya, ia menjadi hamba Allah tanpa batasan waktu dan tempat, dan dengan sisi jasmaninya ia menjadi wakil Allah sebagai penanggung jawab bumi (dalam istilah Sachiko Murata) atau pengemban amanah (dalam istilah Laleh Bahtiar), untuk mewujudkan kesejahteraan bersama.

Lanjutkan!

Rabu, 01 April 2009

Berhenti Sejenak...(2)

BULATKAN TEKAD, SUCIKAN HATI, LANJUTKAN PERJALANAN

Suatu kali, Chuban Bustami, seorang teman di FB, mengirimkan gift berupa satu nama dari Al-Asma Al-Husna, yaitu Al-Jabbar: Maha Memaksa. Saya terus bertanya-tanya sendiri, mengapa Al-Jabbar, bukan nama-Nya yang lain? Apakah ia memilihnya begitu saja dengan tanpa bermaksud apa-apa? Mungkin ia begitu, tetapi Allah tidak begitu. Perbuatan-Nya tidak pernah terjadi sia-sia, tidak pernah tanpa maksud, melainkan ada satu tujuan tertentu. Rabbanaa maa khalaqta hadza baathila. Tanpa pernah menanyakan kepada sang pemberi, saya biarkan gift itu tertempel di wall profile saya, dengan harapan suatu hari nanti, saya memahami mengapa Al-Jabbar datang menyapa.

Di waktu yang lain, seorang teman di FB juga, Zainal Ahmad, datang secara pribadi tanpa bertemu muka. Ada satu fokus yang kami perbincangkan sampai akhirnya saya menemukan dari kalimat-kalimatnya 3 buah kata yang menghentak saya: nah ini dia: KHOLIQ-MAKHLUQ-AKHLAQ. Saya coba merangkai ketiga kata tersebut dalam benak saya: ketika KHOLIQ menyapa MAKHLUQ, maka Dia akan bertajalli dalam bentuk AKHLAQ.

Pada waktu yang lain lagi, saya bertanya-tanya lagi dalam hati: siapakah Al-Jabbar? Lalu saya mencari-Nya dibuku Laleh Bahktiar yang berjudul meneladani akhlak Allah melalui Al-Asma Al-Husna, dan saya menemukan di halaman 48:

"....Maha Memaksa (Al-Jabbar)....(QS. Al-Hasyr [59]: 23)
Maha Memaksa adalah sifat Allah yang memiliki kekuatan kehendak yang menguasai segala makhluq dan segala sesuatu, sementara tak ada kekuatan kehendak yang menguasai-Nya. Tak ada yang bebas dari kekuatan ini. Kehendak Allah itu mutlak dan hal ini menjadikan kebesaran Allah berada di atas segala wujud lain. Melalui kehendak-Nya, Allah memaksa makhluk-Nya untuk mematuhi nasihat-nasihat-Nya yang positif (amar bi al ma'ruf) atau perintah-Nya dan mencoba mencegah perkembangan yang negatif (nahy 'an al-munkar) atau larangan-Nya. Nasihat ini merupakan bagian dari sifat naluriah yang terkandung dalam makhluk dan benda. Nasihat ini membuat makhluk cenderung mengikuti kehendak Allah. Pada tingkat tertinggi kecenderungan ini, ia akan menyadari jiwanya, yang kemudian digunakannya untuk bersaksi tentang Sang Pencipta. Tentu Allah sanggup memaksa semua makhluk, tetapi tak ada yang memaksa Dia. Tak ada seorang pun di dunia ini yang mendekati kekuatan Allah dan ketakterjangkauan-Nya. Menurut Al-Ghazali, sifat ini paling baik menggambarkan Muhammad saw."

dan dihalaman 99:

"Dengan menjelmakan bagian dari sifat Maha Memakasa (Al-Jabbar), ia menemukan bahwa dengan menyempurnakan kehendak Allah, ia akan memiliki kesadaran yang diperlukan untuk memahami apa yang ingin dilakukannya, menemukan kekuatan kehendaknya, dan bertindak.
Tekad ksatria ruhani menuju yang Maha Memaksa adalah bergerak menuju penyembuhan dengan mulai menyucikan hatinya, menghiasinya dengan perbuatan terpuji. Ia kini memasuki proses kreatif dan melalui proses ini ia bertekad untuk menciptakan kembali atau mewujudkan fitrah Allah yang dibawanya sejak lahir."

Akhirnya, yang harus kita lakukan setelah menemukan identitas sebagai hamba Allah dan wakil-Nya adalah membulatkan tekad mewujudkan identitas tersebut dengan mulai menyucikan hati dan menghiasi diri dengan perbuatan terpuji.

Saya, Chuban Bustami, Zainal Ahmad dan Laleh Bakhtiar belum pernah bertatap muka dan suara sampai saat ini, namun Allah swt, dengan cara-Nya, menghendaki kami bertemu di jalan menuju kepada-Nya, subhanallah, semoga Allah merahmati mereka.

Dan...perjalanan MENJADI MUSLIM APA ADANYA kembali dimulai.....