Total Pengunjung

AYO MEMBACA ALQURAN SECARA BERMAKNA UNTUK MENATA KEHIDUPAN SEMESTA !!

Kamis, 30 Oktober 2008

Aduh Bunda... Tolonglah!

ADUH BUNDA...TOLONGLAH!

Persekongkolan! Jelas ini adalah konspirasi terjahat yang pernah dilakukan oleh dua perempuan: Bunda dan nenekmu. Tega-teganya mereka berdua pergi seharian meninggalkan kita berdua. Kini tinggal engkau dan aku. Engkau adalah manusia awal-awal dan aku adalah manusia pertengahan. Engkau belum pernah melakukan banyak hal maka engkau senang sekali mencoba semua hal dan semua hal itu bagimu menyenangkan. Sedangkan aku sudah pernah melakukan banyak hal dan kalaupun banyak hal itu aku ulangi lagi belum tentu menyenangkan bagiku. Kesimpulannya: sepanjang hari berduaan denganmu bisa melelahkan juga. Tapi bukan itu masalah sebenarnya. Masalah sebenarnya adalah....engkau belum berak sepanjang hari ini. Bagaimana kalau tiba-tiba perutmu mules, dan....perutut..perutut..perutut, dan....oalah Bunda, kenapa dikau belum pulang-pulang juga.

Sebenarnya, buang hajat adalah kegiatan manusiawi, maka harus disikapi secara manusiawi pula. Hanya saja akibat-akibat sampingan yang ditimbulkan oleh aktifitas buang hajat itu bisa saja menjadi tidak manusiawi. Misalnya, orang bisa saja lari tunggang langgang (bayangkan fragmen ini terjadi dilingkungan padat rumah di kawasan Jakarta Barat) dan menabrak apa saja yang merintangi jalannya, kemudian mengedor-gedor pintu kamar mandi umum, mengusir paksa penghuni terdahulu. Caci maki, bentakan kasar bisa saja terucap manakala lahar di dalam perut sudah menggelegak sedemikian parah dan siap dimuntahkan. Bahkan sebelum kamar mandi umum itu dibangun secara urunan dan sebelum poster-poster yang mengajarkan cara buang hajat yang baik ditempel oleh para sukarelawan kelurahan, orang yang perutnya siap meletus bisa saja “hajatan” disembarang tempat, disitulah sifat kemanusiaan hilang karena mulai bermunculan poster bertuliskan: dilarang berak disini kecuali anjing! Jelas poster itu bukan ditujukan kepada anjing.

Buang hajat menjadi tidak manusiawi manakala mengintimidasi orang sekitarnya yang memang rentan, baik secara fisik maupun psikis, terhadap akibat-akibat sampingan yang ditimbulkan oleh aktifitas itu, seperti rasa jijik dan mual yang tak terkira-kira. Karena itulah Rosulullah SAW melarang buang hajat disembarang tempat, seperti di wilayah publik dan (lebih khusus lagi) dibawah pohon. Kenapa di bawah pohon, secara khusus, mejadi tempat terlarang untuk “hajatan”? karena di situlah tempat permulaan, pertengahan, dan pengakhiran berjalannya satu bagian dari episode-episode kehidupan. Episode Ayah Bundamu juga bermula dari situ, bukan untuk apa-apa, hanya sekedar untuk menyerap nuansa: cinta yang berakar kuat akan meneduhkan sekitar.

Dan aku adalah termasuk kelompok orang yang tidak tahan dengan aroma dan pemandangan “hajatan” yang digelar oleh orang lain, bahkan oleh engkau sendiri, anakku. Lalu bagamana aku akan sanggup berada antara engkau dan hajat besarmu?

Waktu pertama kali hajat besarmu memang belum terasa apa-apa, karena asupanmu hanyalah ASI. Tapi setelah satu tahun lebih usiamu, semakin beraneka rupa yang engkau masukan ke dalam perutmu semakin beraneka rupa pula yang keluar dari perutmu.

Jadi, saat-saat berdua denganmu adalah saat-saat kecemasan yang meneror. Sampai akhirnya......assalamu’alaikum, Bunda datang, pas pada waktunya!

Benar anakku, Tuhan tidak akan membebankan seseorang dengan beban yang tiada sanggup dia memikulnya. Pada saat situasi menjadi kritis, daya dan harapan mentok sudah, pikiran membuntu, saat itulah Tuhan bertindak, tepat pada waktunya.

Senin, 20 Oktober 2008

Burung Bego

BURUNG BEGO

Suatu ketika, KH Syafi’i Hadzami, seorang Ulama besar Jakarta bertanya kepada seorang anak muda, pertanyaan main-main tapi mengandung pelajaran yang sangat luhur dan agung. Saking luhur dan agungnya pelajaran itu, dalam waktu yang bisa dibilang singkat, dapat mengantarkan posisi anak muda itu kepada keluhuran dan keagungan setelah keterpurukannya yang teramat dalam. Kehadiran anak muda itu kini, dengan nasehat-nasehat yang disampaikannya dilayar kaca, on the movie, dan secara live dari atas mimbar, mampu menjawab kerisauan dan kegelisahan umat. Semoga Allah terus memberikannya taufik dan hidayah serta memanjangkan umurnya dalam keberkahan, amin.

Pertanyaan main-main itu begini, burung apa yang punya sayap tapi tidak mau terbang? Anak muda itu berfikir, sang mu’allim menjawab: burung malas!! Burung apa yang tidak tahu bahwa dia punya sayap? Anak muda itu berfikir lagi, sang Mu’allim menjawab lagi: burung bego! Gimana ga bego lah kedua sayapnya jelas nempel di samping kanan dan kiri masa tu burung ga tau? Sang Mu’allim menjelaskan dimana letak kebegoan atau ketololan burung tersebut.

Dimana pelajarannya? sang Mu’allim menjelaskan: dua rakaat Qabliyah dan dua rakaat Ba’diyah adalah sayap bagi sholat zhuhur. Orang yang sholat zhuhur tanpa sholat Qobliyah dan Ba’diyah bagaikan burung yang punya sayap tapi tidak mau terbang atau bahkan malah tidak tahu kalau ia punya sayap.

Tampaknya seperti pelajaran biasa saja yang memang biasa diajarkan oleh para ustadz kepada murid-muridnya. Empat rakaat sholat zhuhur adalah amalan wajib bagi umat Islam. Wajib artinya jika dikerjakan maka berpahala dan jika ditinggalkan maka berdosa. Dua rakaat Qabliyah dan Ba’diyah Zhuhur adalah amalan sunnah, artinya jika dikerjakan berpahala dan jika ditinggalkan tidak apa-apa. Dari pertanyaan main-main itu, sang Mu’allim ingin menjelaskan satu rahasia...bahwa muslim yang tidak mengerjakan amalan sunnah adalah muslim malas lalu berevolusi menjadi muslim bego karena tidak tahu bahwa rahasia kejayaan terletak pada sunnah.

Terkadang kita sudah merasa cukup mengerjakan amalan-amalan wajib tanpa menambah dengan amalan-amalan sunnah. Dengan begitu, sudah cukupkah kita bersyukur kepada Allah atas ni’mat-ni’matnya yang tak terhingga banyaknya? Mungkin cukup untuk mensyukuri ni’mat hidup. Tapi apakah cukup hanya sekedar hidup saja?

Seorang anak pergi ke sekolah sampai menjadi sarjana kemudian bekerja sebagai karyawan dengan penghasilan cukup makan, cukup tidur dan sisanya habis untuk transport. Kadang bisa nabung sedikit untuk menikah dengan pasangan yang juga bekerja. Penghasilan berlipat dua, tapi kebutuhan juga berlipat dua bahkan berlipat tiga dengan kehadiran anak. Akhirnya jam lembur ditambah untuk menutupi kebutuhan. Pergumulan hidup hanya pada: berangkat kerja pagi-pagi (pasti persiapan sejak shubuh), kerja lembur pulang malam-malam, menatap layar TV lama-lama (itu kalau pulang sore-sore karena tidak kerja lembur), tidur cepat-cepat supaya bisa bangun untuk berangkat kerja lagi pagi-pagi. Begitu terus sampai akhir bulan: gajian dengan jatah pembagian yang sudah menunggu jauh-jauh hari. Gaji habis, ludes, kalaupun ada tabungan pasti habis ludes juga saat idul fitri tiba. Cerita dimulai lagi dari episode awal dengan siaran ulang yang diputar berulang-ulang, yaitu: bangun pagi-pagi, pergi kerja cepat-cepat, pulang malam-malam, tidur cepat-cepat, supaya bisa bagun lagi pagi-pagi dan begitu terus, persis seperti tupai yang berlari pada roda putaran di dalam kandang, semakin cepat dia berlari semakin cepat roda berputar tapi dia tidak kemana-mana, tetap diam di dalam roda putarannya di dalam kandang.

Seperti itukah kehidupan kita? Lalu kapan kita bisa membuat majelis ilmu di keluarga dan masyarakat? Kapan kita bisa berjalan-jalan memperhatikan tanda-tanda kebesaran dan keadilan Allah yang begitu banyak terhampar di muka bumi ini? kapan kita bisa menengok tetangga yang sedang nestapa dan mengusap kepala anak yatimnya? Kapan kita bisa menghibur kerabat yang terbaring lemah menahan sakit? Kapan kita bisa terbebas dari penderitaan hidup kita sendiri yang begitu melelahkan sendi-sendi tubuh, meredupkan cahaya wajah dan mengeringkan air mata? Apa yang kita peroleh sesuai dengan apa yang kita kerjakan.

Siang itu, tahun 2003, anak muda tadi mengadukan kepada sang Mu’allim satu permasalahan yang begitu berat dirasakannya. Menurut logika dan keadaannya pada saat itu sangat sulit terselesaikan. Panas, perih, menyesakkan dada. Bayangkan, batu besar menindih di atas dadamu yang terlentang dihamparan tanah berpasir berbatu. Ya! Persis! Seperti sahabat Bilal ra. Batu besar itu adalah hutang sejumlah satu koma empat milyar rupiah! Sangat besar bagi orang yang bukan kepala negara yang bisa melimpahkan beban batu besar itu ke setiap dada rakyatnya. Anak muda itu bukan pula kepala perusahaan yang bisa melego aset-asetnya. Anak muda itu hanyalah kepala bagi dirinya sendiri yang sudah nyut-nyutan terasa mau pecah.

“Pantes kalo begitu,” kata sang Mu’allim setelah anak muda itu bercerita tentang kesulitan hidupnya, setelah anak muda itu menjawab empat rakaat dari pertanyaan: “berapa rakaat sholat zhuhur?” setelah anak muda itu berargumen bahwa amalan sunnah itu berpahala jika dikerjakan dan tidak mengapa jika ditinggalkan. Anak muda itu ialah Ust. Yusuf Mansur.

Sabtu, 18 Oktober 2008

Setia Pada Tujuan


Text Box: Maka karena itu serulah (mereka kepada agama itu) dan tetaplah sebagaimana diperintahkan kepadamu dan janganlah mengikuti hawa nafsu mereka. (QS. Asy-Syuura: 15)  Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah” kemudian mereka tetap meneguhkan pendirian mereka, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula berduka cita. Mereka itulah penghuni surga, mereka kekal di dalamnya, sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan. (QS. Al-Ahqaaf: 13-14  Abi Amrah Sufyan bin Abdullah ra berkata: “Wahai Rosulullah ajarkanlah kepada saya suatu ucapan yang mengandung ajaran Islam dan saya tidak akan bisa menanyakan kepada orang lain selain engkau.” Beliau menjawab: “Katakanlah, saya beriman kepada Allah, kemudian teguhlah kamu dalam pendirian itu.” (Al-Hadits) Seringkali para musafir tidak sampai pada tujuannya, dikarenakan mereka tidak bisa membaca tanda-tanda perjalanan dengan benar. Musafir yang seperti itu jumlahnya hanya sedikit, kebanyakan mereka tidak pernah sampai karena memang mereka tidak pernah bergerak dari tanda-tanda yang mereka temui. Mereka hanya terpaku pada tanda. Mereka lupa kalau fungsi tanda adalah menunjuki apa yang ditandainya. Contohnya tanda-tanda rambu lalu-lintas. Gambar panah bergelombang menunjukkan bahwa anda harus berhati-hati karena setelah tanda itu anda akan mendapati jalan yang berkelak-kelok. Setelah membaca tanda tersebut, tentu anda tidak akan berhenti di bawah tanda itu, tetapi meneruskan perjalanan dengan berhati-hati berdasarkan arahan tanda tadi.

Kebanyakan para musafir hanya mengamat-amati tanda. Kadang mereka hanya sekedar berhenti di hadapan tanda sampai takjub, kagum, tertawa atau sedih dan menangis. Bahkan mereka saling menasehati bahwa semua itu hanyalah tanda-tanda adanya sesuatu. Musibah demi musibah adalah tanda-tanda. Hari kelulusan, kenaikan pangkat, memperoleh penghargaan juga merupakan tanda-tanda. Mereka sadar semua itu tak lebih dari tanda. Mereka mudah bergembira jika mendapat tanda baik dan mudah pula bersedih saat mendapat tanda buruk. Mata mereka terlalu lemah untuk menangkap apa yang ada di balik tanda-tanda itu.

Berlembar-lembar peta di tangan hanya sekedar menjadi bahan bacaan. Keberadaannya tidak mampu membuat pembacanya menelusuri tanda demi tanda yang di gambarkannya. Al Qur’an diturunkan sebagai peta perjalanan yang memuat begitu banyak tanda-tanda menuju kepada-Nya. Hanya saja peta suci tersebut terlalu jelas hingga menyilaukan mata dan juga terlalu samara-samar hingga membingungkan. Musafir yang menjadikan peta hanya sebagai bahan bacaan saja tentu tidak akan mendapatkan petunjuk apa-apa.

Dalam setiap perjalanan akan banyak dijumpai persimpangan-persimpangan yang menawarkan bebagai tujuan. Di sisi kanan-kirinya banyak terdapat taman-taman persinggahan dan rumah-rumah peristirahatan yang selalu memanggil-manggil untuk mampir sejenak. Kenyamanannya akan membuat para pejalan mengira bahwa mereka telah sampai pada tujuan. Padahal hanya dengan melalui semua itu mereka akan semakin dekat pada tujuan.

Tujuan tidak akan dicapai kecuali oleh mereka yang membaca peta yang benar dan dengan cara membaca yang benar. Cara membaca yang benar adalah dengan memahami tanda demi tanda hingga melahirkan sebuah kesimpulan yang menggerakkan pada apa yang di tandainya itu. Ayat-ayat itu hanyalah tanda dan tanda bukanlah tujuan. Yang membuat tanda-tanda itulah yang menjadi tujuan. Sang pemburu tidak menjadikan jejak-jejak hewan buruannya sebagi tujuan, tapi hewan-hewan yang meninggalkan jejak-jejak itulah yang menjadi tujuan perburuannya.

Jadi, mengapa harus berhenti pada tanda? Musafir yang berhenti pada tanda adalah musafir yang tidak setia pada tujuan. Tanda-tanda yang begitu indah mempesona atau dahsyat mengerikan telah menawan hatinya, hingga hanya tanda-tanda itulah yang terbayang. Kesadarannya tertutup hingga tidak bisa melihat bahwa apa yang ditandainya pastilah lebih indah dan lebih dahsyat.

Alam raya beserta isinya ini juga bukan tujuan. Kata alam berasal dari kata alamatun yang berarti tanda. Jadi tidak perlu para pencari terpaku pada alam beserta huru-hara dan gegap-gempitanya. Carilah apa yang ditunjuki oleh alam, itulah yang menjadi tujuan.

Seorang musafir sejati selalu bersiap setiap kali menemukan tanda-tanda. Mata batinnya menerawang jauh melihat apa yang dituju oleh adanya tanda itu. Baginya setiap peristiwa adalah tanda untuk peristiwa yang lain. Tanda yang satu menunjukkan pada tanda yang lain, hingga menjadi kumpulan-kumpulan tanda dan semua itu mengarah pada yang nyata keberadaannya, yaitu Allah Azh-zhahir. Dialah tujuan setiap hamba, selainnya hanyalah tanda-tanda keberadaan-Nya.

Sabtu, 11 Oktober 2008

Lepaskan Kedua Sandalmu

LEPASKAN KEDUA SANDALMU

Text Box: Maka ketika ia dating ke tempat api itu ia dipanggil: “Hai Musa sesungguhnya Aku inilah Tuhanmu, maka tanggalkanlah kedua sandalmu, sesungguhnya kamu berada di lembah suci, Thuwa. Dan Aku telah memilih kamu, maka dengarkanlah apa yang akan diwahyukan (kepadamu). Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah sholat untuk mengingat Aku.  (QS. Thaaha: 9-14)

Setiap sesuatu itu punya kedudukan yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Kedudukan itu anugerah. Oleh karenanya tidak bisa dipertukarkan atau diperjual-belikan. Keberadaannya tidak terpengaruh oleh waktu, keadaan, ataupun tempat. Posisinya tidak bisa di geser ataupun dirubah, kecuali oleh yang menganugerahi kedudukan tersebut.

Batu kerikil tidak bisa merebut kedudukan batu mulia seperti intan permata. Meski batu kerikil bersatu hingga jumlahnya mencapai ribuan banyaknya, tetap saja harganya tidak bisa melebihi sebutir intan. Lain halnya dengan intan, walaupun dicampakkan ke dalam lumpur yang paling dalam, intan tetaplah intan. Harga intan tidak bertambah meskipun bersama orang-orang mulia dan juga tidak berkurang meskipun bersama-sama orang hina. Kemuliaannya adalah anugerah, diberi nama apapun dia tetap mulia.

Siapa yang memahami bahwa harga dirinya adalah anugerah, sedikitpun tidak pernah khawatir bahwa harga dirinya akan dirampas oleh yang lain. Dia tidak pernah berangan-angan kemuliaannya bertambah ataupun takut berkurang. Dia tidak berbesar hati karena ada yang kurang darinya ataupun berkecil hati karena ada yang lebih darinya. Hidupnya menjadi merdeka, tidak memiliki atau dimiliki, karens harga dirinya bukan hasil kesepakatan, tetapi sebuah anugerah dari yang maha mulia. Maka yang berhak menambah dan mengurangi hanyalah Dia yang menganugerahkan.

“Lepaskan kedua sandalmu wahai Musa, karena kamu berada di tempat yang suci.” Demikian yang Maha Mulia menetapkan harga sebuah sandal. Karena itu, sandal tidak akan bisa naik ke kepala, meskipun bentuknya dipercantik, terukir dengan sulaman-sulaman benang emas.

Firman Tuhan menetapkan bahwa kesucian dan kekotoran tidak akan pernah bersatu. Kemuliaan dan kehinaan tidak akan pernah bercampur baur. Yang hina tetap hina dan yang mulia tetap mulia, meskipun banyak yang ingin mencampur-adukkan antara keduanya.

Musa hendak bertemu Tuhannya, maka semua kerendahan dan kehinaan yang ada pada dirinya haruslah ia tinggalkan. Tuhan yang Maha Suci hanya bisa ditemui oleh hamba yang telah berusaha mensucikan dirinya. Dan jika Tuhan berkehendak ditemui oleh hamba, maka Dia akan mensucikan hamba tersebut. Ketika itu, Musa tidak tahu harus bagaimana, maka Tuhan berkata : “Lepaskan kedua sandalmu, wahai Musa !”

Sandal adalah simbol kerendahan dan kehinaan. Betapa pun bagus bentuknya dan mahal harganya, sandal tetap di bawah, dipakai untuk menginjak-injak yng kotor. Karena itulah, siapa saja yang ingin masuk rumah peribadatan maka ia harus melepaskan sandalnya di luar. Melepaskan sandal di luar dimaksudkan sebagai lepas dan tanggalnya semua sifat kotor dan hina. Masjid adalah tempat di mana kegiatan-kegiatan suci dilakukan dan perkataan-perkataan baik diucapkan. Dan hal ini tidak bisa dilakukan oleh orang-orang yang masih terdapat sisa kotor dan hina pada dirinya. Botol yang berisi kecap hanya akan mengeluarkan kecap dan madu hanya meneteskan madu.

Jika hendak berjumpa dengan Tuhan, maka berusahalah meninggalkan sifat-sifat kotor dan hina, seperti iri hati, dengki, ujub, sum’ah. Sombong, dll. Setelah semua itu , barulah lisannya dapat memuji kesucian dan gerak-geriknya menjadi bukti kesucian Tuhan. Bagaimana mungkin seorang muslim bisa memanggil-manggil nama Allah jika mulutnya kotor dan bau penuh dengan daging-daging saudaranya yang terselip di antara gigi-giginya. Bergosip sama artinya dengan melahap daging saudaranya

Meninggalkan sandal di pintu masjid belumlah cukup menjadikan kata-katamu sebagai puji dan gerak–gerikmu sebagai bukti adanya Tuhan yang maha suci. Sandal di kaki hanyalah simbol dari sandal di hati.

Meninggalkan sandal diluar tetapi hati masih dipenuhi sandal-sandal kotor, lalu bagaimana mungkin dapat menghadap Tuhan.

Selama menanggalkan sandal di pintu masjid hanyalah latihan agar terbiasa menanggalkan sandal-sandal hati. Dengan begitu Tuhan akan berkenan ditemui. Muslim menemukan Tuhan di mana saja dia berada. Karena itu, tempat-tempat suci menjadi tidak berbatas. Setiap tempat adalah milik Tuhan, tapi kadang kita berburuk sangka hingga tempat Tuhan menjadi terbatasi.

Minggu, 05 Oktober 2008

Kafirkah Aku?

KAFIRKAH AKU?

“Katakanlah: “Hai orang-orang yang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmulah agamamu, dan untukkulah agamaku.” (Al-Kaafiruun: 1-6)

Kafir berarti menutupi, enggan untuk mengakui hingga berpaling dari kenyataan yang sebenarnya. Jika orang tidak mengakui bahwa rezeki yang dia nikmati berasal dari kemurahan Allah, dan dia mengaku bahwa rezeki itu didapat dari hasil usahanya sendiri atau didapat dari sebab-sebab selain Allah, maka orang itu telah menjadi kafir. Jika orang tidak mengakui bahwa semua kejadian-kejadian adalah disebabkan oleh Allah, maka dia telah menjadi kafir. Jika orang tidak mengakui bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, maka dia telah menjadi kafir. Kenyataan bahwa Allah lah Tuhan yang menentukan dan menyebabkan segalanya terjadi adalah kenyataan yang benar. Apabila kenyataan itu ditutup-tutupi atau tidak diakui maka itulah kekafiran.

Pengakuan berasal dari pengetahuan, dan pengetahuan diperoleh melalui tiga jalan; mata, telinga dan hati. Mata melihat ayat-ayat kauniyah, yaitu tanda-tanda keberadaan Allah yang diperlihatkan oleh alam semesta. Melalui mata, orang memperoleh pengetahuan bahwa alam semesta berlangsung dengan teratur. Sistem alam berjalan dengan pasti. Setiap benda, hidup atau pun mati, mempunyai jalan dan tujuannya masing-masing. Jalan itu dilalui dengan teratur, tanpa penyimpangan dan pasti. Bumi berputar pada porosnya. Matahari beredar di tempat peredarannya. Siklus air senantiasa berputar tetap mengalir dari tempat tinggi ke tempat rendah, dari laut kembali lagi ke laut. Api membakar, es membeku, angin bertiup, panas mengering, hujan membasahi. Semua mengetahui aturan mainnya masing-masing dan benar-benar mematuhi, kecuali manusia.

Telinga mendengar ayat-ayat Qauliyah, yaitu tanda-tanda keberadaan Allah yang diwahyukan kepada para Nabi. Kadang mata menangkap fatamorgana. Begitu juga dengan telinga, tidak sedikit bisikan-bisikan yang menyelinap diam-diam. Maka hati menyaring semua informasi yang diperoleh melalui mata dan telinga. Sebagai saringan, hati menentukan pengetahuan yang diperoleh. Jika saringannya bersih maka pengetahuannya juga bersih. Tapi jika hati terus menerus ternoda hingga menjadi hitam pekat, pengetahuan apa yang bisa diperoleh?

Bagi orang-orang kafir, hati mereka telah tertutup hingga mata tidak dapat melihat dengan benar dan telinga tidak dapat mendengar dengan benar. Dengan demikian, tanda-tanda keberadaan Allah tidak ditemukan, lalu bagaimana hendak mengenali Allah? Kalau tidak bisa mengenali Allah, bagaimana hendak membuat pengakuan: Tidak ada Tuhan selain Allah dan nabi Muhammad itu utusan Allah? Kalaupun bisa mengaku, pengakuannya itu penuh dengan keragu-raguan. Atau juga pengakuannya itu palsu. Pura-pura mengaku supaya diaku.

Jumat, 03 Oktober 2008

Membaca Tanda

MEMBACA TANDA

Text Box: Katakanlah! Perhatikan apa yang ada di langit dan di bumi. Tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan (juga) peringatan-Nya bagi orang yang tidak beriman.  (QS. Yunus: 101)  Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya menjadi pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai pikiran.  (QS. Shad: 29) Sesuatu yang ada pasti mempunyai tanda yang menunjukkan adanya. Jika ada tetapi tidak menunjukkan tanda-tanda adanya, pastilah adanya itu di ada-adakan atau mengada-ada supaya dianggap ada, padahal tidak ada. Ada tetapi adanya disembunyikan supaya tidak diketahui juga memiliki tanda-tanda yang menunjukkan bahwa yang ada itu disembunyikan. Karena itulah, setiap orang yang hendak mencari yang ada, baik bersembunyi maupun tidak, harus mencari tanda-tandanya terlebih dahulu.

Orang yang mengaku bahwa sesuatu itu ada pada dirinya harus mampu memperlihatkan tanda-tanda keberadaannya. Siapa yang mengaku punya ilmu harus memperlihatkan tanda-tanda adanya ilmu itu pada dirinya. Maling punya tanda, kyai punya tanda, semua punya tanda. Tanda-tanda maling berbeda dengan tanda-tanda kyai. Gerak-geriknya pun berbeda, pandangannya berbeda, kebiasaannya juga berbeda. Tidak usah mengaku-aku kyai, semua bisa dilihat dari tanda-tandanya.

Setiap eksistensi mempunyai tanda yang berbeda-beda, karena kalau sama maka keteraturan dan keseimbangan kehidupan dunia ini akan menjadi kacau. Tidak jelas mana orang baik mana orang jahat. Kalau semua tanda bercampur menjadi satu, orang hidup penuh dengan kecurigaan. Tidak ada Text Box: Kelak akan Aku tunjukkan kepadamu tanda-tanda-Ku, maka janganlah kamu terburu meminta-Ku (untuk mendatangkannya).  (QS. Al-Anbiya: 37)lagi beda antara benar dan salah. Beda antara keduanya menjadi samara-samar, karena tanda-tandanya juga sudah kabur. Kalau begitu, yang ada hanya satu tanda yaitu tanda adanya kemunafikan.

Mengaku orang sholeh tapi tandanya orang pendosa. Mengaku manusia tapi tandanya tanda binatang. Menzinahi anak sendiri, berkelahi adu kejantanan, saling memamerkan anggota tubuh dan lain-lain. Semua itu yang melakukan manusia tapi menunjukkan adanya binatang. Mereka yang hidup di rimba belantara, wajar jika hidupnya memakai hukum rimba, wajar jika mereka saling memikat dengan memperdengarkan suaranya, kicauannya, aumannya. Memperlihatkan keindahan bulu-bulunya, ketajaman cakar-cakarnya. Semua itu wajar, karena mereka itu adalah binatang. Nilai kebinatangan mereka ada di situ. Lalu mengapa mereka yang mengaku manusia ikut-ikutan mempunyai tanda-tanda seperti itu ?

Tanda seorang manusia bukan terletak pada suaranya, tubuhnya, pakaiannya, atau hartanya. Melainkan ada pada akal budinya, pada jiwanya yang mampu membaca tanda-tanda, baik tanda-tanda bisu seperti langit dan bumi maupun tanda-tanda yang berkata-kata seperti kitab suci dan sabda para Nabi. Melalui tanda-tanda itu manusia bisa menyaksikan adanya Sang Wujud Yang Maha Kaya tanpa ragu-ragu lagi. Kemudian dia bisa mempersembahkan seluruh amal bakti kepada-Nya dengan tulus dan ikhlas.

Sang Wujud Yang Maha Nyata adanya telah meletakkan tanda-tanda keberadaan-Nya pada alam, hewan, tumbuhan dan manusia yang merupakan tanda-tanda kauniyah-Nya. Tanda-tanda tersebut dapat dipahami secara langsung melalui perenungan ataupun penjelasan-penjelasan dari kitab suci dan sabda Nabi yang merupakan tanda-tanda Qauliyah-Nya.

Tanda yang satu menjelaskan tanda yang lain. Seluruh tanda-tanda tersebut susun-menyusun menjadi tanda besar. Untuk mengenali-Nya, haruslah membaca keseluruhan tanda-tanda secara utuh. Keberadaan Yang Maha Besar tidak bisa dikenali hanya dengan satu tanda saja, seperti orang buta yang mengenali gajah lewat belalainya saja, kemudian dikatakan bahwa gajah itu panjang seperti ular. Orang melek mengenali gajah dari keseluruhan tanda-tandanya, karena yang namanya gajah bukan hanya belalainya, kupingnya, perutnya atau kakinya, tetapi gajah adalah keseluruhannya.

Keberadaan Allah SWT tidak dapat dikenali oleh orang yang buta mata hatinya. Tanda-tanda-Nya hanya dapat dikenali oleh orang yang mata hatinya melek secara total. Masuklah kamu kedalam kepasrahan secara total lahir dan batin, sehingga penglihatan dan pendengaran hatimu bisa terbuka dan kamu bisa membaca tanda-tanda qauliyah dan kauniyah-Nya yang tertulis dalam kitab besar ini, yaitu kitab yang tidak ada lagi keragu-raguan di dalamnya.

Kamis, 02 Oktober 2008

Sejahtera Dengan Membaca Dan Menulis

SEJAHTERA DENGAN MEMBACA DAN MENULIS

“Tatkala ia sedang dalam keadaan tidur dalam gua itu, ketika itulah datang malaikat membawa sehelai lembaran seraya berkata kepadanya: “Bacalah!” Dengan terkejut Muhammad menjawab, “saya tak dapat membaca.” Ia merasa seolah malaikat itu mencekiknya kemudian dilepaskan lagi seraya katanya lagi, “Bacalah!” masih dalam ketakutan akan dicekik lagi Muhammad menjawab, “Apa yang akan saya baca?” seterusnya malaikat itu berkata: “Bacalah dengan nama Tuhanmu Yang menciptakan. Menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah. Dan Tuhanmu Maha Pemurah. Yang mengajarkan dengan pena. Mengajarkan kepada manusia apa yang belum diketahuinya...” Lalu ia mengucapkan bacaan itu. Malaikatpun pergi, setelah kata-kata itu terpatri dalam kalbunya.” Demikian Muhammad Husain Haekal menceritakan sepenggal kisah kehidupan Muhammad Al-Amin pada mula pertama ia diangkat menjadi Rosul.

Anakku, yang menarik dari kisah di atas adalah Allah telah menjadikan aktifitas baca tulis sebagai wahyu pertamanya, “Bacalah Dan Tuhanmu Maha Pemurah. Yang mengajarkan dengan pena.” Seakan-akan Allah berkata kepada Muhammad, “ya Muhammad! Jika kamu ingin menyingkap kegelapan yang menyelubungi masyarakatmu dan menggantinya dengan cahaya terang benderang, bimbinglah mereka membaca dan menulis, jika kamu ingin memecah kejumudan yang bersarang dalam hati, akal pikiran dan kehidupan mereka, perintahkan mereka membaca dan menulis!”

Saat itu, budaya yang berkembang adalah budaya lisan. Kemampuan bertutur kata dengan baik dan kemampuan menghapal menjadi kebanggaan yang diagungkan secara luar biasa. Menurut Tanthowi Jawhari dalam Al-Jauhar fi tafsir Al-Qur’an Al-Karim, ayat tersebut mendobrak kejumudan masyarakat Arab kala itu yang hanya mementingkan tradisi pengindraan, hapalan dan tutur kata, dengan menyodorkan hal lain yang tidak kalah penting, yaitu: tulisan. Bahkan tidak semata menyodorkan, melainkan mewajibkan membaca dan menulis.

Wahyu lain yang mengisyaratkan perintah membaca dan menulis adalah surah Al-Qalam ayat 1-2, yang juga termasuk ayat Makiyah: “Nun, perhatikan Qalam dan apa yang dituliskannya.” Sesungguhnya yang pertama diciptakan Allah adalah Al-Qalam, kemudian Allah menjadikan Nun, yakni tinta. Lalu Dia berkata kepadanya, “Tulislah!” Al-Qalam bertanya, “Apa yang harus kutulis?” Dia berfirman, “ Tulislah apa yang telah terjadi dan apa yang akan terjadi sampai hari kiamat, baik perbuatan, peninggalan, maupun pemberian,” lalu Al-Qalam pun menuliskan apa yang telah dan akan terjadi sampai hari kiyamat. Itulah maksud Allah dalam ayat: “Nun, perhatikanlah Qalam dan apa yang dituliskannya.” Begitu sabda Rosulullah SAW menurut berita Imam Muhammad Isa bin Surah At-Tirmidzi.

Dengan perintah membaca dan menulis, Muhammad Rosulullah SAW tampil sebagai revolusioner sosial. Sebagai bagian dari dakwahnya, ia memerintahkan penulisan Al-Qur’an setiap menerima wahyu. Ia memerintahkan pengajaran baca tulis sebagai syarat kebebasan bagi tawanannya. Ia pun menulis surat sebanyak 105 buah melalui tangan sekretarisnya, yang disebarkan keseluruh negeri demi terwujudnya Islam sebagai rahmat bagi semesta alam.

Sejarah Muhammad SAW telah menunjukkan bahwa perbaikan total dan mendasar bagi sebuah masyarakat dan bangsa tidak dapat diwujudkan kecuali dengan mengajak anggota masyarakat untuk gemar membaca dan menulis. Sejarah mencatat, agama Muhammad SAW, dengan wahyu baca tulis sebagai wahyu pertamanya, telah mampu mengangkat derajat masyarakatnya yang bodoh, primitif dan penuh selubung kegelapan lahir batin kepada masyarakat bergelar kuntum khairu ummah, yaitu masyarakat yang paling baik, beradab dan peradabannya terang benderang hingga mampu menerangi masyarakat lainnya meski tempat dan masanya berjauhan.

Wahyu baca tulis adalah starting point bagi usaha peningkatan kualitas pribadi kita kearah yang semakin baik, dan pada akhirnya, masyarakatpun menjadi sejahtera, karena ia merupakan kumpulan dari pribadi-pribadi yang berkualitas. Untuk itu, bacalah anakku, dan perhatikan apa yang dapat kautuliskan dari hasil bacaan itu!

Melalui wahyu baca tulis, Allah SWT mengangkat derajat manusia dari segumpal darah yang hina menjijikkan menjadi manusia, yang dengan pengetahuan yang diajarkan-Nya, mampu membangun peradaban dunia seperti sekarang ini. Melalui Qalam, tulis Hamka, orang dapat menuliskan buah pikiran, keinginan dan perasaan. Dengan kehadiran Qalam, ilmu pengetahuan tiada tersisa tercatat. Bahkan para pengarang dan pujangga telah mengantarkan bangsanya untuk merdeka, disebabkan percikan tinta dan goresan pena.

Membaca tidak sekedar menghimpun huruf demi huruf menjadi sekumpulan huruf yang bermakna, tetapi lebih dari itu, membaca adalah usaha menengok lebih jauh ke balik huruf untuk mendapatkan gagasan yang tersembunyi di balik huruf-huruf tersebut. Karena itu, aktifitas membaca adalah aktifitas yang mampu menggerakkan pembacanya untuk terus berjalan dari satu gagasan menuju gagasan lain, hingga ia berhasil berdiri di atas puncak bangunan gagasan besar dan berteriak dengan lantang: “aku adalah gagasan dan gagasan itu adalah aku!” artinya, ia mampu mewujudkan gagasan-gagasan yang diperoleh dari aktifitas membacanya menjadi gerak-gerik perilaku kehidupannya sehari-hari. Diri dan tingkah lakunya menjadi bukti nyata dari gagasan-gagasan yang terserak di balik huruf-huruf yang telah ia serap.

Begitu juga dengan menulis, ia tidak sekedar melukis huruf demi huruf di atas kertas. Menulis adalah proses melahirkan, seperti seorang ibu melahirkan anaknya. Pernah menengok sebuah kelahiran? Ia memberikan inspirasi yang menghidupkan dan memberi harapan bahwa hidup tidak berhenti di sini. Ia merangsang kelahiran lainnya. Nah! Menulis itu seperti melahirkan, penuh dengan beban dan perjuangan, tetapi hasilnya kenangan hidup yang menghidupkan tadi.

Mengapa kita harus menulis? Seorang ibu bertanya kepada anaknya, seorang penyair muda, bahkan sangat muda, Abdurrahman Faiz, 8 th, seperti yang diceritakannya kepada Metro TV 03/12/05 tentang apa yang menyebabkannya gemar menulis. Ia menjawab: “ada tiga alasan, Bunda. Pertama, aku ingin bertambah cerdas. Kedua, aku ingin menyatakan diriku, dan Ketiga, aku ingin menolong orang lain.

Ya! Dengan kebiasaan menulis, kita akan semakin cerdas. Tidak sekedar menulis, tetapi menuangkan gagasan-gagasan tentang sesuatu yang merupakan perpaduan dari gagasan milik kita sendiri dengan gagasan milik orang lain. Peradaban dunia ini, pada hakikatnya adalah bangunan besar dari gagasan-gagasan yang muncul secara bersusun-susun sepanjang sejarah kemanusiaan. Menulis artinya mengikat ilmu pengetahuan hingga menjadi pondasi kokoh bagi ilmu pengetahuan lain.

Menulis, juga berarti menunjukkan siapa kita. Di dalam buku Mengikat Makna, Hernowo menjelaskan, aktifitas menulis membantu menemukan diri atau karakter kita. Lewat kebiasaan menulis, seolah-olah kita diajak untuk merumuskan diri kita. Bila kita menulis tentang kejujuran, kasih sayang, toleransi dan nilai-nilai moralitas tinggi lainnya, berarti kita sedang merumuskan diri kita ke dalam nilai-nilai tersebut. Bila kita tidak mampu menulis, itu menunjukkan bahwa kita tidak punya apa-apa dan bukan siapa-siapa. Kita hanyalah setumpuk besar omdo alias omong doang.

Melalui baca tulis, hidup menjadi lebih hidup. Setiap orang tentu mempunyai satu fase kehidupan di mana jalan kehidupannya indah mewangi tertaburi bunga-bunga, yaitu saat perasaannya terbagi dan menyatu dengan perasaan orang lain. Tanpa baca tulis, kita hanya mempunyai satu kehidupan, satu piring nasi, satu gelas air, satu stel pakaian, satu perasaan, satu pemikiran dan seterusnya. Kita hanya merasai kehidupan pribadi kita sendiri, tetapi dengan membaca, kita dapat ikut menikmati kehidupan orang lain, dan dengan menulis kita dapat membagi kehidupan kita kepada orang lain.

Karena itu, mulailah membaca dan menulis, anakku. Membaca bukan untuk mengisi kehidupan yang sempat senggang, tetapi membaca untuk memadu kehidupan kita dengan kehidupan orang lain, sehingga kita mengerti, ternyata kehidupan tidak sebatas kehidupan yang kita lakoni saja, ada banyak kehidupan lain yang boleh jadi dapat mengisi ruang-ruang kehidupan kita yang hampa hingga menjadi utuh.

Dan menulis, bukan sekedar mengabadikan cerita kehidupan kita saja, tetapi menulis untuk membagi kehidupan kita agar dapat dimiliki oleh orang lain, karena pada hakikatnya, kehidupan itu bukanlah milik pribadi. Makanya Allah mengingatkan, siapa yang telah membunuh satu kehidupan, berarti seolah-olah ia telah membunuh banyak kehidupan. Nah! Berhenti menulis berarti membatasi kehidupan untuk kemudian membunuhnya secara perlahan-lahan. Apalagi sekaligus juga berhenti membaca, ia mengundang kematian untuk datang tak terasa.