Total Pengunjung

AYO MEMBACA ALQURAN SECARA BERMAKNA UNTUK MENATA KEHIDUPAN SEMESTA !!

Kamis, 07 Agustus 2008

Menjadi Muslim Apa Adanya


Muslim adalah orang yang berkata: aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan aku besaksi pula bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah. Perkataan itu bukanlah sekedar kata-kata yang terucap begitu saja sehingga menjadi kata yang tak berarti, baik bagi yang mengucapkannya maupun bagi yang mendengarkannya. Tapi kata-kata itu terucap atas dasar pengetahuan, kesadaran dan cinta.
Penyebutan seseorang dengan identitas muslim bukan akibat dari pengucapan dua kalimat syahadat itu, tapi akibat dari pengetahuan, kesadaran dan cinta yang membuatnya terdorong untuk mengucapkannya. Apa yang diucapkannya hanyalah bentuk lahir dari pengetahuan, kesadaran dan cinta yang tertanam di hatinya terhadap realias ketuhanan dan kenabian.
Pengetahuan tentang Tuhan yang diperoleh muslim dari seorang yang sengaja diutus Tuhan untuk mengajarkan pengetahuan itu, menumbuhkan kesadaran dalam dirinya. Sadar akan posisi dirinya di tengah-tengah alam semesta. Jika alam semesta tengah bergerak dengan teratur menurut hukum yang ditetapkan untuknya (kita sering menyebutnya hukum alam) maka orang itu juga menyadari bahwa ia juga bergerak berdasarkan hukum yang ditetapkan untuknya pula. Timbul kesadaran bahwa alam semesta, orang itu, dan kita bergerak berdasarkan satu ketetapan tertentu, menuju ke satu tujuan. Dari situ, timbullah cinta. Aktifitasnya adalah merindukan. Rindu akan satu tujuan yang dituju oleh semua bagian alam semesta, yaitu Tuhan.
Pengetahuan, kesadaran dan cinta itulah Allah, tuhan semesta alam yang membentuk kita menjadi muslim. Simbolnya adalah pengakuan terhadap keesaan Allah dan kenabian Muhammad SAW.
Makna menjadi muslim adalah menjadi orang yang tunduk dalam kepasrahan. Pasrah lahir-batin, rohani-jasmani. Kesaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah adalah simbol kepasrahan rohani. Sedangkan kesaksian bahwa nabi Muhammad adalah utusan Allah adalah simbol kepasrahan jasmani.
Tuhan adalah semua kecenderungan atau kegandrungan hati. Hati kita memiliki kecenderungan terhadap kekuatan, kekuasaan, kekayaan, kepandaian, kecantikan dan sebagainya. Jika semua itu atau sebagiannya tidak dimiliki maka hati cenderung ingin memilikinya. Apabila hati cenderung terhadap kekuasaan, maka kita selalu ingin meraih kekuasaan, sekecil apapun, atau paling tidak kita ingin dekat penguasa.
Setelah kesaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, semua kecenderungan hati itu menjadi hilang. Tidak ada kecenderungan selain Allah. Satu-satunya kecendeungan hati hanyalah Allah. Apabila hati menginginkan keindahan maka hati menginginkan Allah yang Maha Indah, dan seterusnya. Lantas hati menjadi pasrah kepada Allah karena Allah memiliki semua yang dinginkan hati. Hati yang pasrah senantiasa mengingat Allah. Oleh karenanya, hati menjadi tenang. Karena ia mengetahui, menyadari dan mencintai kecenderungan sejatinya yaitu Allah.

”(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS. 13:28)

Al Qur’an banyak menyebut hati dengan istilah Qalbu. Makna dasarnya adalah : membalik, kembali, pergi maju-mundur, berubah, naik-turun, mengalami perubahan. Singkatnya, hati adalah tempatnya keresahan. Hati menjadi resah gelisah karena menginginkan ini dan itu. Setelah menyatakan kesaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, hati menjadi tenang, karena tidak ada lagi ini dan itu, yang ada hanyalah Allah.
Mulai dari sini kita bisa mengatakan bahwa satu-satunya pekerjaan hati adalah senantiasa mengingat Allah. Kepasrahan hati adalah menyerahkan semua kecenderungannya kepada Allah, tiada yang lain selain dia.
Selain pasrah hati, muslim juga harus pasrah lahir. Karena itu, kesaksian pertama terangkai dengan kesaksian kedua, yaitu kesaksian tentang kenabian Muhammad SAW. Sebagai simbol penyerahan diri, kedua kalimat kesaksian itu harus dinyatakan sekaligus secara berurutan. Tidak boleh menyatakan yang pertama saja atau yang kedua saja, harus kedua-duanya secara berurutan
Setelah menyerahkan kecenderungan hati, muslim harus menyerahkan aktifitas tubuh. Dengan demikian, tidak ada aktifitas yang dilakukan oleh tubuh kecuali aktifitas yang telah Allah tetapkan melalui Nabi-Nya, Muhammad SAW, yang disebut dengan syariat. Dengan demikian, penyerahan diri seorang muslim adalah penyerahan total meliputi sisi rohani dan jasmani.
“Ketika Tuhannya berfirman kepadanya: "Tunduk patuhlah!" Ibrahim menjawab: "Aku tunduk patuh kepada Tuhan semesta alam". Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya`qub. (Ibrahim berkata): "Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam". (QS. 2 :131-132)

Kita perlu kembali menegaskan tentang pengucapan dua kalimat kesaksian sebagai simbol penyerahan diri dan kedua-duanya harus diucapkan sekaligus secara berurutan. Penegasan ini penting mengingat kabar yang disampaikan Al Qur’an mengenai orang-orang Arab badui. Mereka menyerahkan diri secara simbolik tanpa di dasari oleh pengetahuan, kesadaran dan cinta yang timbul di dalam hati. (QS 49:14)
Mungkin, kita akan menjadi muslim seperti orang-orang Arab Badui itu ; penyerahan diri sebatas penyerahan jasmani tanpa disertai dengan penyerahan rohani. Tubuh kita sibuk dengan segala aktifitas syariat dan untuk itu keringat dan darah boleh saja tertumpah.
Atau mungkin, kita bisa saja menjadi muslim yang sebaliknya, menyerahkan diri rohani tanpa diri jasmani. Mendekat kepada Tuhan tetapi menjadi asing bagi makhluk-makhluk Tuhan.
Dari kedua muslim yang disebutkan dia atas, manakah model yang memenuhi tujuan penciptaannya, yaitu menjadi hamba Tuhan sekaligus menjadi wakil-Nya, bertanggung jawab atas semua urusan pengelolan bumi ? tidak satu pun !
Muslim model pertama tidak akan mendapatkan janji Allah, bahwa dia akan mendapatkan penguasaan bumi bilamana dia mengabdi kepada Allah dengan tidak menyekutukannya dengan apapun. Mengapa ? karena muslim model pertama ini, mengabdi secara fisik sedangkan hatinya dipenuhi kecenderungan selain Allah. Tentang muslim model kedua, bagaimana dia bisa menjadi penanggung-jawab bumi sedangkan dirinya saja terasing dari komunitas bumi ?
Sang penanggung-jawab bumi adalah manusia yang menyerahkan hatinya hanya kepada Allah dan pada saat yang sama ia juga menyerahkan badannya kepada syariat Allah yang disampaikan-Nya melalui Nabi Muhammad SAW. Hatinya tertuju pada Allah, dan badannya mengikuti gerak langkah Muhammad SAW.
Penyerahan rohani yang disimbolkan dengan pengucapan kalimat kesaksian pertama di dahulukan daripada penyerahan jasmani yang disimbolkan dengan pengucapan kalimat kesaksian kedua.
Manusia terdiri dari dua diri, yaitu diri rohani dan diri jasmani Keduanya harus ada untuk bisa disebut manusia. Walaupun demikian, rohani lebih utama daripada jasmani. Rohani ditiupkan langsung dari roh Tuhan sedangkan jasmani berasal dari tanah liat yang diberi bentuk. Rohani naik ke langit sedangkan jasmani terpendam di dalam bumi.
Rohani menjadi penting karena disitulah Allah memandang manusia dan menampakkan realitas-Nya. Banyak teks-teks suci yang menerangkan bahwa rohani lebih penting daripada jasmani.
Nabi berkata melalui kabar dari Imam Muslim : “ Allah tidak melihat badanmu atau bentukmu, melainkan keadaan hatimu. Allah berfirman : “ dan tidak ada dosa atasmu jika kamu berbuat salah, tetapi apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS.33:5) “Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak disengaja, tetapi Allah menghukum kamu disebabkan sumpah yang disengaja oleh hatimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha penyantun.” (QS2:225) “Allah tahu apa yang ada di dalam hatimu.”(QS.33:51). “Orang-orang munafik itu takut, jika diturunkan sebuah surat yang mengungkapkan apa-apa yang tersirat dalam hati mereka.”(QS.9:64)
Nabi berkata dalam hadits Qudsi : “langit-Ku dan bumi-Ku tidak memelukku, namun hati hamba-Ku yang lembut dan sabar dengan imannya benar-benar merengkuh diri-Ku.”

Allah berfirman :
“ maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.” (QS. 22:46)
“…Memang hati mereka telah kami tutup sehingga mereka tidak dapat memahaminya…” (QS.18:57)
“ Apakah mereka tidak merenungkan isi Al Qur’an, atau adakah hati mereka yang terkunci (QS. 47:24)
“ Sesungguhnya di situ terdapat peringatan bagi mereka yang memiliki hati dan menggunakan pendengarannya, sebab mereka menyaksikan menyaksikannya sendiri” (QS.50:37)
“ Janganlah kamu turutkan orang yang hatinya telah kami alpakan dari mengingat kami, orang yang hanya mengikuti hawa nafsunya saja, dan keadaan orang itu sudah keterlaluan” (QS.18:28). “ Sesungguhnya telah kami sediakan untuk penghuni neraka itu banyak jin dan manusia, mereka mempunyai hati tetapi tidak di gunakan untuk memahami ayat-ayat Tuhan.” (QS.7;179)
Nabi berkata : “Sesungguhnya Tuhan menghidupkan hati melalui cahaya kebijaksanaan.” “Keimanan telah ditetapkan Tuhan ke dalam hatinya, serta dikokohkan pula dengan ruh dari dirinya.” (QS.58:22)
“Dan kami tunjang pula mereka dengan petunjuk, dan kami teguhkan hati mereka.” (QS.18:13-14). “
“Dia-lah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mu'min supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada). Dan kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana,” (QS. 48:4)
”Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa. Maka orang-orang yang tidak beriman kepada akhirat, hati mereka mengingkari (keesaan Allah), sedangkan mereka sendiri adalah orang-orang yang sombong.” (QS. 16 :22)
“ Tuhanku, janganlah Engkau sesatkan hati kami setelah Engkau beri petunjuk, dan berilah ampunan-Mu” ( QS. 3:8 )
“Mereka yang hatinya dipenuhi oleh keragu-raguan, sehingga dalam keragu-raguan itu mereka terombang-ambing.” (QS. 9:45 )
Nabi berkata menurut kabar Imam Bukhari : “ Sesungguhnya setan itu mengalir dalam diri manusia seperti mengalirnya darah, maka aku khawatir bahwa dia akan memasukkan kejahatan ke dalam hatimu.”
Tuhan berfirman : “Mereka itu adalah orang-orang yang tidak dikehendaki Tuhan untuk disucikan hatinya, bagi mereka adalah kehinaan di dunia ini.” (QS. 5:41)

Nabi Ibrahim a.s berdoa :
”dan janganlah Engkau hinakan aku pada hari mereka dibangkitkan, (yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih,” (QS. 26 : 87-89)

Nabi Muhammad SAW berdoa : “ Wahai Tuhan, bersihkanlah dariku seluruh kesalahanku dengan air dari salju dan hujan, sucikan kesalahan-kesalahn dari hatiku sebagaimana Engkau menyucikan kotoran dari kain putih dan bebaskan aku dari kesalahan-kesalahan sebagaimana Engkau telah menghilangkan timur dari barat.” Nabi ditanya, “siapakah yang paling baik diantara orang-orang ?” Dia menjawab , ”Setiap orang yang hatinya bersih dan lidahnya berkata benar.” Mereka berkata : “Kami mengenali orang yang lidahnya berkata benar, tetapi siapakah yang hatinya bersih?” Dia berkata : “Dia adalah yang bertakwa dan suci, yang tidak mempunyai dosa, tidak berbuat salah, tidak mempunyai dendam dan tidak menyimpan rasa iri” (Ibnu Majah)

Jadi jelas, amal batiniah mendapat perhatian utama sebelum amal lahiriah. Pernah dikisahkan bahwa Allah mengampuni dosa orang yang telah membunuh sebanyak 100 orang disebabkan hatinya tulus bertobat kepada-Nya. Juga, seorang pelacur mendapat rahmat Allah hanya dikarenakan hatinya berbelas kasih terhadap seekor anjing.
Maka, dalam urutan penyerahan diri kepada Tuhan, seorang muslim menyerahkan hatinya terlebih dahulu, baru setelah itu ia menyerahkan tubuhnya, dan akhirnya jiwa raganya tunduk pasrah kepada Tuhan dengan segala ketetapan-Nya.
Sebenarnya, raga akan tunduk pasrah secara otomatis setelah jiwa tunduk pasrah terlebih dahulu. Karena gerak-gerik raga adalah simbol dari aktifitas jiwa. Spiritualitas mempengaruhi materialitas. Tubuh tidak bergerak sendiri, melainkan hati menyetir kemana ia harus bergerak. Jika hatinya baik, maka menjadi baiklah seluruh aktifitas tubuhnya. Dan sebaliknya, jika hatinya buruk maka menjadi buruklah seluruh aktifitas tubuhnya. Dan jika hati tunduk pasrah, maka tubuhpun ikut tunduk pasrah.
Disini kita bisa memahami kenapa kesaksian kedua tentang Nabi Muhammad baru dapat terucap setelah kesaksian pertama, yaitu tentang ke-Esaan Allah. Kesaksian pertama menjadi dasar bagi munculnya kesaksian kedua.
Ada orang yang hanya bertumpu pada kesaksian kedua saja tanpa yang pertama. Oleh karenanya kita sering melihat kondisi umat yang terjebak pada situasi ritual yang kering tanpa makna, berjalan tanpa arah dan tujuan, berdiri tanpa pijakkan. Apa hasilnya ? Praktek keberagaman umat meningkat seiring meningkatnya problem kemanusiaan seperti kemiskinan, kebodohan, kekerasan, ketidak-adilan, penjarahan harga diri dan harta benda, dan sebagainya.
Pengelolaan bumi oleh manusia menjadi tidak berjalan sebagaimana mestinya. Itu karena Manusia menghamba kepada hamba. Jasadnya tampak menyembah satu Tuhan, tapi sebenarnya, hatinya dipenuhi oleh banyak Tuhan. Jasadnya tampak pasrah kepada ketetapan Tuhan tetapi hatinya berontak di bawah kendali kecenderugan-kecenderungan selain Tuhan.
Atau sebaliknya, ada orang yang hanya bertumpu pada kesaksian pertama saja tanpa diikuti oleh yang kedua. Hatinya tunduk pasrah kepada Tuhan tetapi jasadnya menolak ketetapan Tuhan yang disampaikan-Nya melalui nabi-Nya.
Muslim sejati adalah orang yang menyerahkan dirinya apa adanya sesuai dengan fitrah penciptaannya. Fitrah adalah sesuatu yang asli. Sudah begitu dari sananya. Aslinya, dia diciptakan dari tanah liat yang diberi bentuk sebagai struktur lahir kemudian ditiupkan ruh Tuhan ke dalamnya sebagai batinnya. Begitu pula dia memahami realitas dirinya sebagaimana aslinya. Dan ketika dia dihadapkan pada ketentuan penyerahan diri kepada Tuhan, maka dia menyerahkan lahir batin itu.
Barangkali, makna seorang muslim tidak bisa di tangkap dengan pasti. Barangkali juga, tidak ada simbol yang muncul sebagai tanda dari makna itu. Mungkin, kita juga tidak begitu suka dengan segala bentuk simbol. Oleh karena kita ingin menyimpan makna itu dengan rapi dan dalam tersembunyi. Kalau demikian, bagaimana seorang muslim bisa dikenali ? Atau bagaimana dengan kebanggaan ketika kita berkata : saksikanlah sesungguhnya aku ini seorang muslim, bisa diwujudkan dengan rendah hati ?!
Kepasrahan yang timbul dari pengetahuan, kesadaran, lalu cinta, mampu memadamkan yang satu dan menghidupkan yang lain. Yang satu itu menjadi padam, lemah tak berdaya agar yang lain bisa hadir dengan segala kehendak dan kekuatannya. Yang satu itu pasrah agar bisa dikuasai oleh yang lain. Jika yag satu itu masih nyata dengan hasrat dan kehendaknya, lalu bagaimanayang lain bisa menguasai sepenuhnya. Kepasrahan hanya ada jika yang satu menerima kehendak sepenuhnya dari yang lain. Yang satu itu adalah kita dan yang lain itu adalah Tuhan.
Dengan demikian, setelah kepasrahan, kita mulai berhenti ber-aku, tidak ada lagi aku, aku dalam berkata, aku dalam berbuat, aku dalam berpikir, aku dalam merasa. Kita memberi semua ruang hanya kepada Tuhan.
Pengetahuan akan realitas tersebut menumbuhkan kesadaran dan akhirnya : cinta. Cinta membuat kita berhenti, agar yang kita cintai bisa berbuat semaunya. Cinta menutupi segalanya hingga yang nampak hanyalah yang dicintai semata. Dimanakah kita yang mencinta ? Tertutupi oleh yang dicintai.
Maka, biarlah Dia yang tercinta yang menentukan simbol-simbol cinta. Sekehendaknya Dia juga, apakah Dia hendak membungkus rapat gejolak cinta atau akan mengungkapkannya untuk diketahui.

Dalam kepasrahan ada cinta
Dalam cinta ada rasa dan kehendak
Manakah milik yang mencinta dan yang dicinta ?
Ah, semuanya menyatu dalam cinta.
Aku mendekati-Nya untuk mencintai, Dia mencariku untuk dicintai
Aku mencintai dengan jeritan; cintai aku
Dia dicintai dalam keluasan cinta-Nya yang sangat.
Mendekat, mencari, melihat, mendengar
Siapakah ?
Sang kekasih
Siapakah ?
Yang mencintai sekaligus dicintai

ENGKAU TERLAHIR DARI RAHIM

Suatu shubuh, aku dibangunkan suara Mas Larto, kakak iparku, dengan tergesa-gesa,
“No, Mba Neng udah lahiran, namanya siapa?”
Rupanya nagih janji, kalau anaknya nanti lahir aku harus sumbang nama, siapa tahu nama yang kuberikan terdengar bagus dan artinya pas.
“Laki atau perempuan?”
“Perempuan.”
“Yasmin Nabila.”
“Panggilannya apa?”
“Mimin.”
“Hah? Kok Mimin sih?”
“Ya udah terserah panggilannya apa aja.”
Sahutku malas-malasan, ngantuk.
Yasmin adalah nama bunga melambangkan feminitas, sedangkan Nabila berarti cerdas. Kira-kira namanya berarti begini: perempuan yang menambah harum dengan kecerdasannya. Alhamdulillah, kecerdasannya mulai terlihat dari nilai-nilai raport di kelas-kelas awal sekolah dasar: angka delapan dan sembilan berebutan tempat, sedangkan angka sepuluh tetap milik gurunya.
Beberapa tahun kemudian, lahir adiknya, perempuan, kembali aku didaulat untuk memberi nama. Kutulis disecarik kertas: Billah Tazkiyah Nafsa. Penting kutulis, supaya nanti tidak salah tertulis di akta kekelahiran. Ada yang bilang namanya terlalu berat. Memang, maknanya juga dalam. Billah: bersama, oleh, dengan Allah. Tazkiyah: penyucian. Nafsa: jiwa.
Ah, apalah arti sebuah nama, demikian seorang penyair berucap, tetapi kita berkeyakinan bahwa nama adalah doa. Ada satu harapan ketika kita memberikan nama kepada seorang anak. Harapannya adalah semoga ia sesuai dengan namanya. Maka sudah semestinya setiap anak diberikan nama yang baik. Billah Tazkiyah Nafsa adalah sebuah doa untuk keponakanku yang nomor dua: semoga Allah menyucikan jiwanya.
Saat ibu bidan mengabarkan bahwa engkau mulai meretas kehidupan di rahim Bunda, Ayah mulai berembug dengan Bunda menginventarisir nama-nama indah sebagai doa yang akan selalu dipanjatkan dalam bahasa lisan dan tulisan.
“Kasih dia nama ARJUNA.” Kata Bunda.
“Artinya?”
“ARJUNA berasal dari kata ARJU LANA yang berarti harapan kita. Kita berharap anak kita nanti menjadi anak yang sholeh, pintar, berbakti kepada kedua orangtua (juga agama, bangsa dan negara) kalau besar jadi pengusaha sukses, kaya raya.”
“Waduh! Namanya panjang bener. Bahasa arabnya apa ya?”
Aku pernah melihat seorang anak kecil berseragam merah putih, tergopoh-gopoh menyeret tas kopernya yang beroda, berwarna biru laut, bergambar Sponge Bob cs. Lelaki kecil itu berkaca mata minus agak tebal. Tampaknya, tas koper kecil beroda itu berat sekali. Apa isinya? Buku-buku dan peralatan sekolah? Apa memang sebanyak itu? Dulu, waktu aku sekolah SD, teman-temanku hanya membawa sebuah buku tulis yang diselipkan separuh diikat pinggang belakang. Sekarang, anak-anak sekolah terpaksa biasa memanggul bawaan sekolah yang seabrek-ebrek. Apakah isinya bukan harapan-harapan ibu bapaknya yang dibebankan kepada anak-anak itu?
Setiap orang tua pasti menaruh harapan pada kehidupan anaknya. Mereka berharap kejayaan hidup dapat dilanjutkan oleh sang anak, bahkan sang anak harus bisa lebih berjaya daripada mereka. Bagi yang belum sempat mengecap kekayaan hidup, mereka berharap sang anak mampu mengangkat mereka dari lubang-lubang kemiskinan, menyokong kehidupan hari tua mereka. Harapan membuat sang anak menjadi sebuah aset yang harus dikelola benar agar menghasilkan untuk mereka.
Bunda, apakah kita juga adalah mereka yang mengikatkan bandul-bandul harapan dikaki-kaki anak kita? Tidak, Bunda. Biarkan sang buah hati berlari kencang kearah mana saja yang ia suka, memandang apa saja yang ia pilih,menggenggam apa saja yang ia inginkan. Buah hati kita adalah seorang yang bukan kita. Ia adalah milik dari dirinya sendiri, dengan masa depannya sendiri, dengan cerita hidupnya sendiri.
Bunda, kita adalah hamparan ketika kaki-kakinya masih lemah menapak, juga sandaran bagi punggungnya yang belum kuat tegak sendiri. Begitu dia dewasa, kita tidak bisa lagi menuntunnya memilihkan jalan-jalan yang harus dia lalui. Diawal kehidupannya nanti, mungkin tubuhnya adalah milik kita, bisa saja kita kontrol makanan dan minuman apa saja yang dia asup, tapi nanti dikehidupan selanjutnya, kita tidak tahu apa saja yang dia masukkan kedalam tubuhnya. Rumah ini bukan penjara bagi tubuhnya apalagi jiwanya.
Jangan ARJUNA Bunda, nama itu terlalu berat. Bukan untuk dia, tapi berat untuk kita. Sangupkah kita, disepanjang hidupnya, kita menyematkan begitu banyak harapan kita padanya? Harapan yang mungkin akan mengawang-awang dalam kenangan. Boleh kita berharap, tapi bukan untuk kita, melainkan untuk dia. Doa yang kita panjatkan adalah semata-semata untuknya.
“Jadi siapa dong namanya?”
“Kamil Aqluna Sultan.”
“Kalau perempuan?”
“Aura Aqluna Rahim.”
Mengapa Aura Aqluna Rahim, bukan nama yang lain? Begini, ketika kita berkata: Allah itu Esa, maka tiada yang lain selain Allah, termasuk kita sendiri. Kita hanyalah tanda bagi keberadaan Allah. Kita melihat seseorang, berikut dengan segala tingkah lakunya, berarti kita sedang melihat tanda yang akan mengantarkan kita kepada Allah. Kepada diri sendiri pun kita menyadari bahwa kita adalah tanda yang akan mengantarkan orang lain kepada Allah. Jadi, yang ada hanyalah Allah, selain-Nya hanyalah tanda-tanda-Nya.
Begitu pula dengan Aura Aqluna Rahim, ia menjadi tanda bagi keberadaan Allah. Itu berarti, ketika kita melihatnya maka yang teringat adalah Allah yang telah menciptakannya, ketika kita melihat tingkah lakunya maka yang teringat adalah Allah yang telah membimbingnya.
Aura Aqluna Rahim akan menjadi seperti kebanyakan anak cucu Adam lainnya yang bisa saja salah dan menjengkelkan atau bisa juga benar dan menyenangkan. Tetapi karena ia hanyalah sekedar tanda keberadaan Allah, maka semoga yang muncul dari kita adalah sabar dan syukur ketika merespon tingkah lakunya.
Juga, bukan tanpa maksud dinamakan Aura Aqluna Rahim. Namanya mengingatkan kita bahwa akal pikiran kita diliputi oleh ALLAH ARRAHIM, sehingga seharusnya tingkah laku kita, yang merupakan cerminan dari akal pikiran, menjadi tanda bagi keberadaan Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang.
Menjadi tanda bagi Allah yang maha pengasih dan penyayang membuat kita menjadi pengasih dan penyayang bagi setiap ciptaan Allah, yaitu manusia, hewan, tumbuhan dan alam semesta. Oleh karena alam semesta ini dipelihara Allah dengan sifat Rahman dan Rahim-Nya, maka Dia menghendaki kita sebagai khalifah-Nya supaya mengelola bumi ini dengan rahman dan rahim pula.
Itulah mengapa pesan pertama yang disampaikan oleh Al-qur’an adalahh Bismillahirrahmanirrahim dan kalimat itu pula yang dianjurkan Nabi SAW untuk dibaca sebagai awal setiap gerak dan arah. Dengan demikian, Islam sebagai agama rahmat bagi semesta alam dapat mewujud.
Anakku, sebagian yang Ayah tuliskan di atas diambil dari buku saku suvenir acara aqiqahan dirimu. Buku saku itu Ayah tulis agar orang-orang sekitar: keluarga, saudara, kerabat, dan masyarakat mengetahui maksud dari doa kami yang terkandung dalam namamu. Agar mereka juga berdoa dengan doa yang sama dan ikut menyediakan lingkungan tempat doa itu bersemai.
Melalui nama itu, kami ingin selalu berdialog denganmu, sebagai orang tua dan sahabat. Atau, disetiap saat engkau menuliskan namamu, kami ingin engkau mendengar bisikan kami: Aura, ikatan diantara kita adalah ALLAH ARRAHIM maka tetaplah engkau menyayangi kami sebagaimana kami tetap menyayangimu dan berdoalah selalu semoga ALLAH ARRAHIM senantiasa merahmati hidup kami sebagaimana kami merawat hidupmu diwaktu kecil. Dan karena pancaran kasih sayang ALLAH ARRAHIM itulah maka tidaklah pernah harta, pangkat dan jabatan memisahkan kita, dan biarlah segala sesuatu yang berada diatas debu tetaplah menjadi debu.

BUNDA, SIAPKAH KITA?

Setiap malam, aku selalu mengamati wajah anak perempuanku, Aura Aqluna Rahim. Hanya ketika dia tertidur aku bisa mencoba memahami anakku sendiri. Melalui air mukanya aku berusaha menyelami hatinya. Mampukah? Dia memang anak biologisku, darahku mengalir di dalam daging-daging tubuhnya. Aku bisa berkata kepada semua orang bahwa dia anakku. Apa yang dia makan, apa yang dia baca, dan siapa yang dia temani, semuanya masuk dalam pengawasanku. Tapi apakah relung-relung hatinya juga milikku? Bisakah aku memilihkan lintasan-lintasan perasaan untuk hatinya? Bisakah aku mengawasi gerak-gerik hatinya? Meskipun aku sadar bahwa aku tidak bisa berjalan-jalan di taman hatinya, rasa penasaranku tetap saja selalu mengajak mencari tahu. Melalui air mukanya mungkin saja aku bisa mengukur kedalaman hatinya. Semoga.
Setiap malam, saat menatapi wajahnya yang terlelap, aku tersadarkan bahwa semakin lama kedua tangan ini sudah tidak cukup lagi dapat menenangkannya dari kesedihan. Rumah ini juga tidak akan mampu lagi memberinya perlindungan dari ketakutan dan kecemasan. Itu karena dunianya telah semakin luas. Hati dan pikirannya telah mampu melesat jauh melebihi apa yang mampu dijangkau oleh kaki, tangan dan panca inderanya. Zaman yang akan dilaluinya tidak akan sama lagi dengan zamanku atau zamannya saat ini. Kadang aku begitu cemas memikirkan apa yang bisa dijadikannya pegangan saat melalui zaman itu. Dengan apa dia bersandar pada saat itu.
Anakku, engkau semakin besar, semakin lincah bergerak kesana kemari. Sebentar saja Ayah lengah, engkau hilang dari pandangan. Duhai anakku, semakin besar engkau semakin menyenangkan, juga mengkhawatirkan. Senang melihatmu tumbuh menjadi anak yang aktif dan selalu mau tahu tentang apa-apa yang ada di sekitarmu. Tapi Ayah juga khawatir engkau cedera, terluka. Sebisa mungkin Ayah mengawasimu, menjauhkan benda-benda yang mungkin bisa melukaimu, atau memegang badanmu agar engkau tidak terjatuh.
Kekhawatiran Ayah tentang keselamatanmu saat ini belum seberapa dibandingkan nanti, ketika engkau telah melewati masa balitamu, memasuki masa kanak-kanak, kemudian remaja dan terus dewasa. Melewati masa-masa itu, kekhawatiran Ayah akan semakin bertambah-tambah.
Anakku, kalau saat ini engkau begitu cepat hilang dari pandangan Ayah, bagaimana nanti saat kaki-kakimu sudah kuat berpijak, melangkah dan berlari. Bagaimana nanti saat tanganmu sudah jauh menjangkau dan erat menggenggam. Bagaimana nanti saat matamu sudah melihat indahnya pelangi membentang di langit luas sana. Bagaimana nanti saat telingamu sudah mendengar keinginan dan harapan yang berhembus-hembus dari sekitarmu atau bahkan dari dalam hatimu sendiri. Bagaimana nanti saat hatimu...ya hatimu sudah tidak lagi terbatasi oleh jarak dan waktu. Akankah Ayah tetap bisa mengawasimu? Menjauhkan benda-benda yang mungkin akan bisa melukaimu? Atau memegang badanmu agar engkau tidak terjatuh?
Bertambah umurmu, bertambah pula rasa khawatir Ayah padamu, anakku.
Kalau saat ini engkau terluka, mungkin Ayah bisa mengobatimu karena Ayah melihat air matamu dan mendengar tangismu. Tapi nanti, mungkin engkau tidak menitikkan air mata ketika engkau terluka, mungkin engkau tidak menangis bila engkau tersakiti. Bagaimanakah Ayah akan tahu anakku, bila yang terluka adalah hatimu, bila yang tersakiti adalah jiwamu.
Ya Allah, akulah hamba-Mu yang takut jika anakku nanti berjalan di bumi-Mu dalam keadaan lemah. Kedua tangannya tak kuasa melepaskan apa yang ada dalam genggamannya. Kedua matanya tak kuasa menahan silaunya keindahan dunia. Kedua telinganya tak kuasa membendung harapan-harapan yang senantiasa membisiki siang dan malam. Hatinya membuncah dengan keinginan. Dengan kedua kakinya dia berlari, tergesa-gesa, cepat sekali, demi mencapai apa yang dilihatnya dan didengarnya. Tapi ya Allah, apa yang diperolehnya hanyalah fatamorgana. Duhai, hatinya tentu nestapa, jiwanya tentu merana. Matanya menangis tanpa air mata, bibirnya menjerit tanpa suara. Akan ada di manakah aku saat itu ya Allah?
Bunda, lihatlah...dengan kedua kakinya yang mungil itu dia mencoba berdiri, bersandar pada sisi meja kecil. Kadang dia berdiri tiba-tiba, lantas kita sodorkan tangan kita siap menjadi sandaran tubuhnya agar tidak jatuh. Duhai Bunda, selama hidupnya dia akan tetap memerlukan tempat bersandar. Semakin tumbuh besar dan dewasa, semakin kokoh sandaran yang harus dia miliki.
Ya Bunda, lima atau sepuluh tahun pertama mungkin kita akan siap menjadi sandaran baginya. Tapi selanjutnya, akankah kita selalu siap menjadi sandaran baginya? Kuatkah kita menjadi sandaran baginya?
Saat ini pun kita masih membutuhkan tempat bersandar kala keletihan, kesedihan, kecemasan dan ketakutan datang mendera. Sedih dengan keputusan-keputusan yang salah. Sedih karena terlanjur membeli barang yang sebenarnya tidak kita butuhkan. Atau kita cemas dengan keadaan ekonomi rumah tangga kita yang belum menentu, sementara harga-harga begitu pastinya mendaki naik. Saat kita sedih dan cemas, kita membutuhkan tempat bersandar. Lalu bagaimanakah kita bisa menjadi sandaran hidup bagi buah hati kita? Apalagi nanti saat dadanya sudah begitu sesak dengan keinginan-keinginan dan pundaknya sudah begitu lelah memanggul sejumlah harapan-harapan.
Duhai Bunda, apakah kita juga akan ikut andil menyesaki dadanya dengan keinginan-keinginan kita? Apakah kita juga akan ikut andil membebani pundaknya dengan sejumlah harapan-harapan kita? Seperti kebanyakan orang tua yang begitu besar menaruh harapan anak-anaknya bisa memberi kebanggaan. Dimasukkan ke sekolah Favorit, harus belajar ini belajar itu, harus les ini les itu.
Ya Allah, begitu luas samudra kasih sayang-Mu, hingga tetes-tetes air mata keluh kesah dari hamba-hamba-Mu hilang begitu saja tersapu ombak cinta-Mu. Ampuni dosa-dosa kami ya Allah, ketika kami lupa bahwa Engkaulah tumpahan kesedihan dan kecemasan, ketika kami lupa bahwa Engkaulah tumpuan harapan dan keinginan. Ya Allah, rengkuhlah diri kami, sandarkan tubuh dan jiwa kami yang lemah ini pada keagungan-Mu.
Ya Allah, anugerah-Mu begitu besar kami rasakan ketika Engkau hadirkan di tengah-tengah kami bayi mungil yang menghiasi pandangan dan menyegarkan jiwa. Dengannya Engkau sematkan di dada kami perhiasan dunia. Ya Allah, dengan kemurahan-Mu dan luasnya rahmat-Mu, jadikan perhiasan itu sebagai penghantar berkah dan kenikmatan disepanjang hidup kami, jadikan sebagai obat tatkala kami sakit, jadikan penghibur tatkala kami lelah.
Ya Allah, anak kami adalah titipan dari-Mu. kami menyadari, Engkau akan meminta pertanggunganjawab dari kami, bagaimana kami menjaga titipan-Mu. Ya Allah, Engkaulah Tuhan yang Maha Mengetahui, tiada yang tersembunyi dari-Mu. Engkaulah Tuhan yang menerangi segala kegelapan, hanya dengan cahaya petunjuk-Mu kami mampu menunaikan amanah dari-Mu, kami tidak sanggup jikalau nanti dia menjadi teman yang melenakan kami dari mengingat-Mu atau menjadi musuh yang menyeret kami ke neraka-Mu.
Ya Allah, ampuni dosa-dosa masa lalu kami agar lidah kami ringan menuturkan kebenaran-Mu. Bersihkan hati kami dari noda-noda maksiyat hingga hati kami mampu memantulkan cahaya-Mu. Amin.
Setiap malam, saat menatap wajah kecilmu, kalimat-kalimat penuh keluh kesah, kekhawatiran, dan ketakutan seperti itulah yang merajai hatiku.
Ada apa ini? Dulu, saat awal menikah, aku berharap sekali memperoleh anak. Harapan berubah menjadi kebahagiaan saat istri mengandung. Dan puncaknya adalah ketika bidan menyodorkannya kepadaku untuk diadzani. Mungkin itu adzan yang paling merdu dan paling khusuk yang pernah aku kumandangkan. Dengan suara bergetar aku berbisik...
“Allah Maha Besar anakku, dengarlah...Allah Maha Besar.”
“Ya, Ayah. Kebesaran-Nya telah mecukupi kebutuhan-kebutuhanku saat aku tinggal di dalam rahim Bunda.”
“Aku, dan juga engkau, tetaplah bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rosul Allah.”
“Aku telah ikrarkan kesaksian itu Ayah. Tapi, lihatlah Ayah! Tipu daya telah berhembus pada diriku. Dan hembusannya semakin bertambah-tambah. Aku takut kesaksian itu akan sirna berhamburan.”
“Marilah senantiasa kita dirikan sholat, anakku. Sholat itulah yang akan membentengi kita dari hembusan-hembusan jahat itu.”
“Ya, Ayah. Semoga Allah selalu melimpahkan anugerah daya dan kekuatan kepada kita dalam meniti ketaatan pada-Nya.”
“Kebesaran-Nya akan mencukupi kebutuhan kita. Seperti saat engkau di dalam rahim Bunda, apakah di sana engkau merasa kekurangan? Tertimpa kesedihan atau terserang kecemasan?”
“Tidak, Ayah. Dimanakah kekurangan, kesedihan dan kecemasan? Sementara di sana Dia selalu meliputi, dan juga di sini.”
Kini, getar-getar kebahagiaan itu lambat laun berubah menjadi kecemasan, kecemasan yang sangat. Kecemasan yang melorotkan tulang-tulangku dari persendiannya sampai aku tidak kuat lagi berdiri dan mendongakan kepala sambil berkata: “lihatlah! Itulah anakku yang akan meneruskan jejak langkah hidupku.” Kecemasan itu terus menekanku untuk tetap bersimpuh, meratap. Apa yang aku ratapi? dia, anakku? Bukan! Tapi aku meratapi diriku sendiri.
Aku tidak mencemaskan bagaimana anakku mengarungi hidup ini. Aku juga tidak mengkhawatirkan kemana dia akan menjejakkan kakinya, melangkah menelusuri hidup ini. Dia hanyalah anak panah yang melesat menuju tujuannya sendiri. Sang pemanah telah membidikkannya, dan ketika dia melesat tidak ada yang mampu menyimpangkan arahnya. Jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan tentangnya karena dia berada ditangan sang pemanah yang mengetahui dengan tepat kemana harus dibidikan. Yang aku cemaskan adalah diriku. Ya Allah, sanggupkah aku menjadi busur-Mu?
Aku telah membaca riwayat yang bercerita tentang seorang Ayah yang dipanggil kembali, tidak jadi memasuki surga. Anaknya protes, mengapa dia masuk surga sedangkan aku sendiri, anaknya, masuk neraka? Seharusnya dia bertanggung jawab atas pendidikanku, tapi malah dia asyik masyuk sendiri dalam ibadahnya sementara aku dibiarkannya terlena dalam kubangan dosa. Akhirnya keduanya masuk neraka bersama-sama.
Lalu bagaimana denganku. Mampukah aku membimbingnya dan menjaga fitrahnya sebagai hamba-Mu, ya Allah? Mampukah aku tetap menjaga dialog-dialog tauhid itu seperti saat awal kedatangannya di dunia ini?
Setiap malam pada tahun pertama usianya, saat kutatap wajahnya lelap, hal-hal seperti itulah yang aku cemaskan.

SPIRITUAL PARENTING: Membangun Karakter, Mengungguli Kehidupan

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur terpanjatkan hanya kepada Allah SWT, Tuhan semesta alam, yang menciptakan segala sesuatu kemudian sibuk mengurusnya setiap hari. Salam serta shalawat senantiasa tercurahkan untuk Baginda Rosulullah SAW yang telah memberikan teladan bagaimana menjadi hamba yang mengabdi kepada Tuhan yang kekuasaan-Nya tak terbatas, pengetahuan-Nya meliputi, Dzat yang Maha Esa tiada duanya.
Kali ini kami harus mengucapkan terima kasih kepada banyak orang. Saking banyaknya, nama-nama mereka tidak dapat disebutkan satu persatu di sini. Diantara mereka ada yang kami kenal dan lebih banyak lagi yang tidak kami kenal. Mereka semua memiliki andil dalam menyelesaikan buku ini.
Orang bijak berkata, apa yang kita lakukan hari ini tidak terlepas dari apa yang kita lakukan kemarin, tapi dalam melakukan sesuatu kita tidak sendiri, banyak yang ikut andil dalam mewujudkan perbuatan kita. Kadang kita menjadi sebab bagi orang lain dan kadang pula kita menjadi akibat dari orang lain.
Apa yang dituliskan oleh para penulis merupakan buah dari pengalaman, baik itu berupa pengalaman bernalar maupun pengalaman berbuat. Pengalaman tidak terbentuk dengan sendirinya, ia merupakan hasil interaksi dengan pengalaman yang lain. Kita tidak bebas sendirian. Kita terikat dengan orang lain bahkan dengan semesta alam. Kita merupakan bagian dari cerita kehidupan yang terus bergulir episode demi episode, episode suka atau pun episode duka.
Seperti kedebong pisang hanyut terbawa aliran sungai, kami tidak berdaya mengikuti arus kehidupan, bukan kehidupan orang per orang tetapi kehidupan semesta. Pengalaman hanyut itulah yang membuahkan buku ini.
Sebagaimana layaknya buah, ia dapat dinikmati oleh siapa saja yang suka, oleh karenanya menimbulkan kepuasan yang menyegarkan. Bagi yang tidak suka, buah ini juga dapat dinikmati tapi harus dengan satu alasan: untuk menyembuhkan.
Alasan utama yang begitu kuat mendorong kami merampungkan buku ini adalah untuk membangun karakter tiga orang agar mampu mengatasi gelombang pasang surut kehidupan. Ketiga orang itu adalah kami berdua sebagai orang tua dan anak kami sebagai seorang anak. Sebagai orang tua, kami harus berisi agar kami bisa berbagi dengan anak kami. Apa yang bisa kami berikan jika kami hanyalah botol kosong? Maka untuk berisi, kami harus mengosongkan diri dan membiarkan untuk menerima apa yang dapat disampaikan oleh kehidupan di luar diri. Mengosongkan diri lalu membiarkan untuk menerima berarti mendengar, melihat dan membaca tanpa prasangka.
Allah menciptakan alam semesta ini, termasuk kita didalamnya, sebagai tanda-tanda yang mengantarkan kepada-Nya. Tanda-tanda itu tidak diam melainkan sibuk berbicara, menasehati, mengajarkan, memberi kabar gembira, memberi peringatan, tetapi tidak mesti dengan kata-kata. Ketika kita mengosongkan diri maka kita telah siap menerima curahan rahmat dan bimbingan-Nya agar kita tidak terombang-ambing lalu tenggelam, dikalahkan oleh kehidupan, yang ternyata kebanyakan isinya hanyalah ilusi yang sering dianggap nyata.
Merasa telah menjadi penuh dan cukup dengan pengalaman bernalar dan berbuat yang oleh karenanya kita sudah merasa benar, hanyalah membangun dinding beton yang menghalangi datangnya kebenaran lain yang boleh jadi membuat kebenaran yang telah kita yakini menjadi rapuh. Allah berfirman: “Mengabdilah kepada Tuhanmu sampai datang Al-yakiin.” Al-yakiin itu adalah kebenaran hakiki, yaitu kematian. Selama kita masih hidup, apakah kita yakin kebenaran itu telah penuh sehingga kita membatasi diri dari yang lain?
Kebenaran bisa datang dari mana saja, bahkan dari kejahatan sekalipun. Seringkali kita mampu melihat kebenaran ketika sekeliling kita menjadi gelap gulita, ketika kita merasa tidak lagi berdaya.
Maka buku ini mengajak para pembaca untuk mengisi kehidupan dengan kekosongan agar hikmah bisa lebih terserap, lalu setelah terisi kita bisa berbagi dengan sekitar, terutama keluarga kita sendiri. Akan tetapi, sekali lagi, sebelum Anda terisi, bersediakah Anda terlebih dahulu menjadi kosong? Jika bersedia, kami ucapkan selamat membaca.

Lebak, 20 Juli 2008
Penulis